Desiran angin malam menyentuh lembut pipiku, membawa aroma kopi yang menguar dari kafe seberang jalan. Di layar ponselku, nama Ardi berkedip, diikuti ikon hati berwarna merah muda. Senyumku merekah otomatis. Ardi, laki-laki yang membuat hari-hariku terasa seperti kode yang berhasil di-compile tanpa error. Kami bertemu di konferensi AI, sama-sama terpesona dengan masa depan yang dijanjikan oleh kecerdasan buatan. Ironisnya, justru AI yang kini hampir merenggut masa depan cintaku.
Ardi bekerja di NebulaTech, perusahaan rintisan yang sedang naik daun dengan algoritma personalisasi canggih mereka. Algoritma itu, yang diberi nama “Perasa,” konon mampu memahami emosi dan preferensi pengguna dengan akurasi yang menakjubkan. Aku sendiri adalah seorang pengembang perangkat lunak lepas, mengerjakan proyek-proyek kecil untuk mendanai penelitian pribadiku tentang etika AI.
Awalnya, aku bangga dengan pekerjaan Ardi. Aku percaya pada potensi AI untuk membantu manusia, untuk membuat hidup lebih baik. Ardi sering bercerita tentang bagaimana Perasa membantu orang menemukan musik baru yang mereka sukai, atau merekomendasikan buku yang benar-benar menyentuh hati mereka. Dia menggambarkan Perasa sebagai mesin empati, sebuah alat yang memahami manusia lebih baik dari mereka sendiri.
Namun, semakin lama aku mengenal Ardi, semakin aku menyadari ada sesuatu yang mengganjal. Ardi terlalu bergantung pada Perasa. Dia menggunakan algoritma itu untuk segala hal, mulai dari memilih restoran hingga merencanakan liburan. Bahkan, dia pernah meminta Perasa untuk menganalisis pesan-pesanku dan memberikan saran tentang bagaimana cara membalasnya agar aku merasa lebih disayang.
“Ardi, ini tidak sehat,” kataku suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran Italia yang dipilih oleh Perasa. “Kamu membiarkan algoritma menentukan segalanya dalam hidupmu. Di mana spontanitas? Di mana kejutan?”
Ardi hanya mengangkat bahu, menyuapkan pasta ke mulutnya. “Perasa hanya membantu, Sayang. Ia hanya memberikan saran. Aku tetap membuat keputusan akhir.”
Aku menggelengkan kepala. “Tapi keputusannya berdasarkan data yang dikumpulkan Perasa. Kamu tidak benar-benar memilih restoran ini karena kamu ingin makan di sini. Kamu memilihnya karena algoritma itu memberitahumu bahwa aku akan menyukainya.”
Keadaan semakin memburuk ketika Ardi mulai menggunakan Perasa untuk menganalisis hubungan kami. Dia meminta algoritma itu untuk mengidentifikasi potensi masalah dalam hubungan kami, memprediksi konflik yang mungkin terjadi, dan memberikan solusi pencegahan. Aku merasa seperti sedang berada di bawah mikroskop, diperiksa dan dianalisis oleh mesin dingin tanpa perasaan.
Suatu hari, Ardi datang kepadaku dengan wajah muram. “Perasa mengatakan bahwa kita tidak kompatibel,” katanya lirih.
Duniaku runtuh seketika. “Apa maksudmu?”
“Algoritma itu menganalisis riwayat pesan kita, interaksi kita, bahkan detak jantung kita saat kita bersama. Perasa menyimpulkan bahwa nilai-nilai kita tidak selaras, tujuan hidup kita berbeda, dan bahwa kita memiliki potensi konflik yang tinggi.”
Aku menatap Ardi dengan nanar. “Jadi, kamu akan mengakhiri hubungan kita karena sebuah algoritma memberitahumu begitu?”
Ardi terdiam, tidak berani menatap mataku. “Aku… aku tidak tahu. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kita berdua. Perasa ingin yang terbaik untuk kita.”
Air mata mulai mengalir di pipiku. “Kamu tidak bisa membiarkan sebuah algoritma menentukan takdir cinta kita, Ardi. Cinta itu lebih dari sekadar data dan statistik. Cinta itu tentang perasaan, tentang intuisi, tentang keberanian untuk mengambil risiko.”
Aku bangkit dari kursi, meninggalkan Ardi yang masih terpaku di tempatnya. Aku berjalan keluar dari restoran, meninggalkan aroma pasta dan kekacauan yang disebabkan oleh Perasa.
Beberapa hari kemudian, aku menerima pesan dari Ardi. Dia meminta maaf, mengatakan bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Dia telah membiarkan teknologi mengendalikan hidupnya, termasuk hatinya. Dia berjanji untuk tidak lagi bergantung pada Perasa dalam urusan cinta.
Aku ragu. Bisakah aku mempercayainya? Bisakah aku melupakan bahwa dia pernah merelakan cintaku dianalisis dan divonis oleh sebuah algoritma?
Aku memutuskan untuk bertemu dengannya. Kami bertemu di taman, tempat kami pertama kali saling mengenal. Kami duduk di bangku yang sama, di bawah pohon rindang yang sama. Ardi menatapku dengan mata penuh penyesalan.
“Aku bodoh,” katanya lirih. “Aku membiarkan ketakutanku akan kegagalan menguasai diriku. Aku pikir Perasa bisa membantu, tapi ternyata ia justru merusak segalanya.”
Aku menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi, Ardi. Tapi aku bersedia memberikanmu kesempatan kedua. Tapi ingat, kali ini tidak ada algoritma yang boleh ikut campur. Ini tentang kita, tentang hati kita, tentang pilihan kita.”
Ardi mengangguk, meraih tanganku, dan menggenggamnya erat. “Aku berjanji. Aku akan belajar mencintai dengan hati, bukan dengan algoritma.”
Malam itu, aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis kode. Aku membuat sebuah program kecil, sederhana, yang hanya melakukan satu hal: menghapus semua data yang pernah dikumpulkan Ardi tentangku dari server NebulaTech. Aku ingin memulai dari awal, tanpa bayang-bayang Perasa yang menghantui.
Aku tahu, tidak ada jaminan bahwa kami akan berhasil. Tapi aku percaya, cinta sejati layak diperjuangkan. Dan terkadang, kita harus menghapus algoritma agar hati kita bisa berbicara dengan bebas.