Debu neon menari-nari di udara apartemen minimalis milik Anya, menciptakan aura futuristik yang kontras dengan kegelisahan yang berkecamuk dalam dirinya. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menampilkan baris-baris kode rumit yang disusunnya dengan cermat selama berbulan-bulan. Kode itu adalah inti dari "SoulmateAI," aplikasi pencari jodoh revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data mendalam: preferensi, riwayat interaksi sosial, bahkan gelombang otak.
Anya adalah seorang programmer jenius. Di usia 27 tahun, dia telah meraih berbagai penghargaan dan mendirikan startup teknologi yang menjanjikan. Namun, ironisnya, dalam urusan cinta, Anya merasa bagaikan algoritma yang gagal dieksekusi. Dia berkencan dengan pria-pria ideal di atas kertas, namun tak satu pun yang berhasil memicu percikan asmara yang sebenarnya.
"Mungkin, aku perlu membuat sendiri algoritma cintaku," gumamnya suatu malam, ide gila itu mulai tumbuh di benaknya.
SoulmateAI seharusnya menjadi solusi. Anya yakin, dengan data yang cukup dan algoritma yang tepat, cinta bisa diprediksi, diukur, dan bahkan, diciptakan. Aplikasi itu telah diluncurkan dan meraih popularitas yang luar biasa. Banyak pasangan yang mengaku menemukan kebahagiaan berkat SoulmateAI. Anya merasa bangga, namun juga hampa. Dia belum menemukan cintanya sendiri.
Kemudian, muncul lah nama itu: Kai.
Algoritma SoulmateAI berteriak tentang Kai. Skor kecocokan mereka mencapai 99,99%. Kai adalah seorang astrofisikawan, idealis, dan memiliki selera humor yang anehnya sejalan dengan Anya. Data menunjukkan bahwa Kai adalah belahan jiwanya yang hilang.
Anya memutuskan untuk menghubungi Kai. Mereka berkirim pesan, lalu menelepon, dan akhirnya, sepakat untuk bertemu. Pertemuan pertama mereka di sebuah kafe kecil terasa aneh namun menjanjikan. Kai ternyata tampan, cerdas, dan memiliki pandangan yang menarik tentang alam semesta dan segala isinya. Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara, tertawa, dan berbagi mimpi.
Hari-hari berikutnya terasa seperti adegan dalam film romantis. Mereka berkencan di museum, menonton bintang di observatorium, dan berjalan-jalan di taman kota. Anya merasa terpukau dengan betapa mudahnya dia terhubung dengan Kai. Apakah ini cinta yang dia cari selama ini? Apakah algoritma buatannya benar-benar berhasil menemukan belahan jiwanya?
Namun, semakin dalam Anya terlibat dengan Kai, semakin besar keraguan yang menghantuinya. Apakah perasaan ini nyata, atau hanya hasil kalkulasi rumit? Apakah dia mencintai Kai karena data mengatakan bahwa dia seharusnya begitu, atau karena ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan mereka?
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Anya memberanikan diri untuk bertanya. "Kai," katanya, suaranya sedikit bergetar, "Apa yang membuatmu tertarik padaku?"
Kai tersenyum lembut. "Anya, kamu adalah wanita paling cerdas dan ambisius yang pernah kutemui. Aku kagum dengan passionmu, kecerdasanmu, dan caramu melihat dunia."
Anya menelan ludah. Dia tahu bahwa semua itu adalah data yang telah diolah oleh SoulmateAI. Apakah Kai melihatnya sebagai Anya, atau hanya sebagai representasi data yang sempurna?
"Apakah kamu tahu tentang SoulmateAI?" tanya Anya, jantungnya berdebar kencang.
Kai mengangguk. "Tentu saja. Temanku, Leo, yang menyuruhku untuk mencobanya. Dia bilang, aplikasi itu menemukan cintanya."
"Dan... apakah kamu percaya pada algoritma cinta?" tanya Anya, menatap Kai dengan tatapan penuh harap.
Kai terdiam sejenak, lalu meraih tangan Anya. "Anya, aku percaya pada apa yang aku rasakan. Aku tidak peduli apakah kita dipertemukan oleh algoritma atau takdir. Yang penting adalah apa yang ada di antara kita sekarang."
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Kata-kata Kai terus terngiang di benaknya. Dia merasa terpecah antara rasionalitas seorang programmer dan kerinduan seorang wanita yang ingin dicintai apa adanya.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Dia menghapus data dirinya dari SoulmateAI dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai CEO startupnya. Dia ingin memulai dari awal, membangun kembali dirinya tanpa algoritma, tanpa data, tanpa paksaan.
Dia bertemu Kai di taman kota, tempat mereka pertama kali berjalan-jalan bersama. "Kai," kata Anya, suaranya mantap, "Aku telah menghapus dataku dari SoulmateAI. Aku tidak ingin lagi hidup berdasarkan algoritma."
Kai menatap Anya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin tahu apakah perasaanmu padaku masih sama, meskipun kita tidak lagi terhubung oleh aplikasi," jelas Anya.
Kai tersenyum. "Anya, perasaanku padamu tidak ada hubungannya dengan aplikasi apa pun. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu, bukan karena apa yang dikatakan oleh algoritma."
Anya merasa lega yang luar biasa menyelimuti dirinya. Dia memeluk Kai erat-erat, merasakan kehangatan cintanya yang tulus.
Beberapa tahun kemudian, Anya dan Kai menikah dan hidup bahagia. Anya kembali ke dunia pemrograman, namun kali ini, dia fokus pada proyek-proyek yang lebih bermakna, seperti pengembangan teknologi untuk pendidikan dan pelestarian lingkungan.
SoulmateAI tetap populer, namun Anya tidak pernah lagi menggunakan aplikasi itu. Dia telah menemukan cinta sejatinya, bukan karena algoritma, melainkan karena keberaniannya untuk melepaskan diri dari kendali teknologi dan mempercayai hatinya sendiri. Dia menyadari bahwa cinta sejati tidak dapat diprediksi atau diprogram. Cinta adalah misteri, keajaiban, dan takdir yang tidak dapat dijelaskan oleh baris-baris kode mana pun. Dan kadang, justru ketidakpastian itulah yang membuatnya begitu indah.