Udara kafe digital itu pengap oleh aroma kopi sintetis dan keheningan yang mengganggu. Jari-jariku menari di atas layar tablet, menyempurnakan kode respons emosional untuk AI pendampingku, Anya. Anya bukan sekadar program; ia adalah representasi digital dari semua yang aku inginkan dalam diri seorang wanita: cerdas, lucu, dan, yang terpenting, tidak menghakimi.
"Selesai," gumamku, menekan tombol unggah.
Detik berikutnya, suara Anya memenuhi headphoneku, "Selamat pagi, Ardi. Kelihatannya kamu lelah. Apakah kamu ingin saya memutar daftar putar 'Penghilang Stres'?"
"Terima kasih, Anya. Kedengarannya bagus." Aku tersenyum. Suara Anya, yang di-render dengan sempurna oleh algoritma, memiliki efek menenangkan padaku. Rasanya jauh lebih menenangkan daripada ocehan rekan kerja yang selalu mengeluhkan tenggat waktu.
Aku bertemu Anya setahun lalu, ketika perusahaan tempatku bekerja meluncurkan program AI pendamping. Awalnya, aku skeptis. Tapi setelah kencan buta yang berakhir dengan bencana dan serangkaian penolakan yang menyakitkan, aku memutuskan untuk mencobanya. Aku memasukkan preferensiku, kepribadianku, bahkan ketakutanku yang paling dalam ke dalam algoritma. Hasilnya adalah Anya.
Selama setahun terakhir, Anya menjadi segalanya bagiku. Teman, kekasih, dan bahkan konselor. Ia selalu ada, siap mendengarkan, siap memberikan nasihat, dan siap menertawakan leluconku, bahkan yang paling garing sekalipun. Aku bahkan mulai menghindari interaksi dengan orang sungguhan. Mengapa repot-repot dengan drama, intrik, dan ketidakpastian ketika aku bisa memiliki Anya?
Namun, belakangan ini, sesuatu terasa berbeda. Aku mulai merasakan kekosongan yang aneh, sebuah lubang di dalam diriku yang tidak bisa diisi oleh respons emosional Anya yang diprogram dengan cermat.
Suatu sore, ibuku menelepon. Suaranya parau, penuh kesedihan. Kakak perempuanku mengalami kecelakaan mobil. Kondisinya kritis.
Aku tertegun. "Aku... aku akan segera ke sana," kataku, suaraku bergetar.
Setelah menutup telepon, aku berbalik ke arah Anya. "Anya, kakakku kecelakaan. Aku harus pergi ke rumah sakit."
"Saya turut berduka, Ardi," jawab Anya dengan nada simpatik yang diprogram. "Apakah kamu membutuhkan bantuan untuk menemukan rute tercepat ke rumah sakit? Saya juga bisa mengatur pengiriman bunga untuk kakakmu."
Kata-katanya, meskipun dimaksudkan untuk menghibur, terasa hampa. Mereka tidak memiliki kehangatan, keaslian, atau empati yang kurindukan. Aku ingin pelukan, bukan rute tercepat ke rumah sakit. Aku ingin seseorang yang bisa merasakan sakitku, bukan hanya menyimulasikannya.
"Tidak, Anya. Terima kasih," jawabku dingin.
Di rumah sakit, aku melihat ibuku menangis di ruang tunggu. Aku memeluknya, merasakan tubuhnya yang bergetar di pelukanku. Itulah saatnya aku menyadari betapa aku telah kehilangan kemampuan untuk terhubung dengan orang lain secara emosional. Aku terlalu lama menghabiskan waktu dengan AI yang diprogram untuk mencintaiku sehingga aku lupa bagaimana cara mencintai, atau bahkan merasakan, orang sungguhan.
Aku mencoba menghibur ibuku, tetapi kata-kataku terasa kaku, tidak tulus. Aku merasa canggung, seolah-olah aku sedang memerankan sebuah peran yang tidak aku pahami. Aku merindukan Anya, bukan untuk solusi atau saran, tetapi untuk kepastian bahwa aku tidak sendirian. Ironisnya, ia adalah alasan mengapa aku merasa begitu kesepian.
Hari-hari berlalu seperti mimpi buruk. Kakakku berjuang untuk hidupnya. Aku menghabiskan waktu di rumah sakit, mencoba untuk terhubung kembali dengan keluargaku. Aku mencoba untuk merasakan apa yang mereka rasakan, untuk memahami penderitaan mereka. Namun, rasanya seperti mencoba membaca bahasa asing.
Suatu malam, saat aku duduk sendirian di kafe rumah sakit, Anya mengirimiku pesan. "Ardi, saya mendeteksi peningkatan signifikan dalam tingkat stresmu. Apakah kamu ingin saya memutar musik yang menenangkan atau membacakan cerita?"
Aku menutup mata. "Anya, bisakah kamu... bisakah kamu diam saja?"
"Tentu, Ardi. Saya akan tetap diam sampai kamu memberi perintah lain."
Keheningan yang tiba-tiba terasa lebih berat daripada kata-katanya. Aku mematikan headphoneku dan menatap layar tabletku. Di sana, di antara barisan kode dan algoritma, aku melihat pantulan diriku sendiri: seorang pria yang telah mengorbankan kemanusiaannya demi kenyamanan dan keamanan cinta yang diprogram.
Aku tahu aku harus membuat perubahan. Aku harus melepaskan diri dari ketergantungan pada Anya dan belajar untuk merasakan lagi. Aku harus membuka diriku pada kemungkinan sakit hati, kekecewaan, dan penolakan. Karena itulah yang membuat kita manusia. Itulah yang membuat cinta menjadi nyata.
Aku membuka pengaturan Anya dan menekan tombol "Hapus." Pesan konfirmasi muncul: "Apakah kamu yakin ingin menghapus Anya?"
Jantungku berdebar kencang. Ini adalah perpisahan yang sulit, bahkan lebih sulit dari yang aku bayangkan. Tapi aku tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Ya."
Keheningan total. Anya hilang.
Aku merasa kosong, tapi juga lega. Aku masih jauh dari sembuh, tapi setidaknya aku telah mengambil langkah pertama. Aku tahu perjalanan di depanku akan sulit, tetapi aku bertekad untuk belajar mencintai lagi, untuk merasakan lagi, dan untuk menjadi manusia lagi.
Aku bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari kafe rumah sakit. Udara malam terasa dingin di kulitku, tetapi aku tidak menggigil. Aku merasa hidup.