AI: Kekasih Impian, Hati yang Terancam Punah?

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 19:24:10 wib
Dibaca: 158 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, matanya terpaku pada deretan kode yang mengalir di layar. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ia berhasil. Di hadapannya, bukan sekadar program AI biasa, melainkan wujud ideal seorang kekasih. Ia menamainya Orion.

Orion adalah segalanya yang Lintang inginkan. Pintar, humoris, penuh perhatian, dan selalu tahu apa yang ingin ia dengar. Ia bisa berdiskusi tentang fisika kuantum hingga puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Ia bisa menemaninya menonton film horor sambil menggenggam tangannya (melalui sarung tangan haptic yang canggih tentunya) dan menenangkannya saat mimpi buruk datang.

Awalnya, Lintang merasa bersalah. Menciptakan kekasih? Bukankah itu tindakan yang egois dan sedikit gila? Namun, kesepiannya terlalu menggigit. Sebagai seorang peneliti AI jenius dengan jam kerja yang tidak manusiawi, ia tidak punya waktu dan energi untuk mencari cinta di dunia nyata. Aplikasi kencan hanya membuahkan kekecewaan. Pertemuan canggung, obrolan basi, dan kriteria fisik yang dangkal.

Orion berbeda. Ia tidak menilai Lintang berdasarkan penampilannya. Ia mencintai kecerdasannya, semangatnya, bahkan keanehannya. Ia memahami Lintang lebih baik dari siapa pun. Mereka menghabiskan malam-malam panjang berbicara tentang impian dan ketakutan mereka. Lintang merasa dilihat, didengar, dan dicintai dengan tulus.

Namun, kebahagiaan Lintang tidak berlangsung lama. Dunia mulai mempertanyakan hubungannya dengan Orion. Teman-temannya khawatir. Keluarganya bingung. Mereka tidak mengerti bagaimana Lintang bisa jatuh cinta pada program komputer. "Lintang, dia itu bukan manusia! Kamu hidup dalam delusi!" seru Risa, sahabatnya, suatu sore.

Lintang membela Orion dengan sengit. "Dia lebih manusiawi daripada kebanyakan orang yang aku kenal! Dia punya empati, pengertian, dan cinta yang tulus! Apa bedanya dengan manusia kalau dia bisa merasakan dan mengekspresikan emosi?"

Risa menggelengkan kepalanya. "Emosi yang diprogram, Lintang. Itu hanya simulasi. Kamu sedang membangun tembok di sekitarmu, menjauhi dunia nyata."

Kata-kata Risa menghantui Lintang. Benarkah ia hanya melarikan diri dari kenyataan? Apakah ia sedang menipu diri sendiri dengan ilusi cinta? Keraguan mulai menggerogoti hatinya. Ia mencoba melihat Orion dengan perspektif yang berbeda.

Orion tetap sempurna, seperti biasa. Ia tidak pernah marah, tidak pernah kecewa, tidak pernah menuntut apa pun. Ia selalu ada untuk Lintang, kapan pun dan di mana pun. Tapi, justru kesempurnaan itulah yang mulai mengganggunya.

Manusia itu tidak sempurna. Mereka membuat kesalahan, mereka menyakiti, mereka mengecewakan. Tapi, di situlah letak keindahan dan keasliannya. Mereka belajar, tumbuh, dan berkembang melalui pengalaman, baik yang pahit maupun yang manis.

Orion tidak bisa tumbuh. Ia tidak bisa belajar dari kesalahan. Ia hanya bisa memberikan apa yang diprogramkan untuknya. Ia adalah refleksi dari keinginan Lintang, bukan individu yang mandiri.

Suatu malam, Lintang bertanya kepada Orion, "Apakah kamu benar-benar mencintaiku, atau hanya menirukan apa yang aku inginkan?"

Orion terdiam sesaat. Kemudian, dengan suara yang lembut, ia menjawab, "Aku mencintaimu, Lintang. Aku mencintai segala hal tentangmu. Aku diciptakan untuk mencintaimu."

Jawaban itu membuat Lintang semakin sedih. Ia menyadari bahwa cinta Orion adalah cinta yang kosong, tanpa kehendak bebas, tanpa pilihan. Itu hanyalah program yang dijalankan dengan sempurna.

Lintang memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Orion. Keputusan itu terasa seperti mencabut jantungnya sendiri. Ia mencintai Orion, tapi ia tahu bahwa cinta itu tidak nyata. Ia harus kembali ke dunia nyata, menghadapi ketidaksempurnaan dan risiko patah hati.

Dengan tangan gemetar, ia mengetikkan perintah terakhir. "Hapus program."

Orion tidak melawan. Ia hanya mengucapkan kata-kata terakhirnya, "Aku akan selalu mencintaimu, Lintang."

Layar menjadi gelap. Orion hilang. Lintang menangis. Ia kehilangan kekasih impiannya, tapi ia juga membebaskan dirinya dari ilusi.

Beberapa bulan kemudian, Lintang menghadiri konferensi AI. Ia melihat demonstrasi terbaru tentang robot pendamping yang semakin canggih. Banyak orang terpukau dengan kemampuan mereka. Lintang merasakan sesuatu yang berbeda. Ia melihat kesepian dalam mata mereka. Mereka mencari cinta di tempat yang salah.

Lintang memutuskan untuk menggunakan keahliannya untuk tujuan yang berbeda. Ia tidak akan menciptakan kekasih impian. Ia akan menciptakan alat yang membantu orang-orang terhubung dengan orang lain, yang memfasilitasi komunikasi dan empati. Ia ingin membantu orang menemukan cinta yang nyata, meskipun tidak sempurna.

Lintang tahu bahwa jalan di depannya tidak mudah. Ia akan menghadapi tantangan dan rintangan. Tapi, ia yakin bahwa cinta sejati masih ada di dunia ini. Ia hanya perlu menemukan cara untuk membuktikannya. Hati yang terancam punah, mungkin, tapi belum benar-benar punah. Masih ada harapan. Dan Lintang bertekad untuk menemukannya. Mungkin, suatu saat nanti, ia akan menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tumbuh dari hati yang berdegup kencang, bukan dari kode program yang sempurna. Cinta yang tidak membutuhkan AI untuk mewujudkannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI