Deretan kode berpendar redup di layar laptopku, memantulkan cahaya biru ke wajah yang semakin hari semakin pucat. Bukan karena kurang piknik, tapi karena terlalu banyak begadang. Begadang merangkai algoritma, bukan untuk mencari profit perusahaan, melainkan untuk mencari tahu: apakah dia juga merindukanku?
Dia. Anya. Seorang ahli botani yang lebih mencintai tumbuhan daripada manusia, kecuali mungkin aku. Kami bertemu di konferensi AI dan Konservasi Alam, sebuah ironi yang indah. Aku, seorang programmer yang sibuk mengoptimalkan algoritma, dan dia, seorang ilmuwan yang berusaha menjaga alam tetap alami. Kami berdebat sengit, tertawa terbahak-bahak, dan entah bagaimana, benih-benih aneh bernama cinta mulai tumbuh di antara kami.
Hubungan kami unik, dibangun di atas fondasi logika dan dedaunan kering. Kami tidak pernah secara eksplisit menyatakan cinta. Semuanya tersirat dalam obrolan tentang neuron jaringan saraf yang meniru pertumbuhan akar, atau tentang bagaimana kode genetik mirip dengan bahasa pemrograman. Lalu, Anya pindah ke Kalimantan untuk penelitian jangka panjang tentang hutan hujan tropis. Sejak saat itu, jarak membentang bukan hanya secara geografis, tapi juga secara emosional.
Pesan singkatnya menjadi semakin jarang. Panggilan videonya dipenuhi suara jangkrik dan monyet, bukan tawanya yang renyah. Aku mulai meragukan segalanya. Apakah aku terlalu naif menganggap hubungan ini serius? Apakah Anya sudah menemukan kebahagiaan baru di antara pepohonan raksasa dan sungai-sungai yang berkelok?
Di saat itulah, aku terdorong untuk membuat Algoritma Rindu. Sebuah program yang menganalisis semua interaksi kami: pesan teks, surel, riwayat panggilan, bahkan unggahan media sosial. Tujuannya sederhana: mengukur tingkat kerinduannya padaku berdasarkan pola komunikasi dan ekspresi emosionalnya. Kedengarannya konyol, aku tahu. Tapi, aku sudah kehabisan akal. Logika adalah satu-satunya bahasa yang kupahami.
Algoritma ini sangat kompleks. Aku memasukkan data tentang frekuensi kata, penggunaan emoji, perubahan nada bicara, waktu respons, bahkan tingkat kebahagiaan yang tercermin dalam senyumnya di foto. Aku melatih model ini dengan data dari hubungan lain yang kukenal, berusaha membuatnya seakurat mungkin.
Setelah berbulan-bulan bekerja, Algoritma Rindu akhirnya selesai. Dengan jantung berdebar, aku memasukkan data terbaru Anya. Prosesnya terasa lama sekali, setiap baris kode yang berjalan terasa seperti detik yang menghukumku. Akhirnya, hasilnya muncul di layar.
Angka. Sebuah angka desimal yang mewakili tingkat kerinduannya. Angka itu tidak besar. Jauh dari kata menggembirakan. Algoritma itu mengindikasikan bahwa Anya memang merindukanku, tapi tidak sebesar yang kuharapkan. Mungkin dia terlalu sibuk. Mungkin dia sudah melupakanku. Mungkin… mungkin aku salah.
Perasaan kecewa menusuk dadaku. Semua usaha ini, semua begadang, semua harapan, hanya menghasilkan angka yang menyakitkan. Aku merasa bodoh. Terlalu bodoh untuk mempercayai bahwa cinta bisa dikalkulasi.
Aku menutup laptop dengan kasar dan berjalan ke balkon apartemen. Udara malam yang dingin menusuk kulitku, sedikit menenangkan gejolak emosi di dalam diriku. Dari sini, aku bisa melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mirip dengan bintang-bintang di langit.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Nama Anya muncul di layar. Aku terdiam. Haruskah aku mengangkatnya? Apa yang harus kukatakan?
Aku menarik napas dalam-dalam dan menjawab panggilan itu. "Halo?"
Suara Anya terdengar lemah, tapi familiar. "Hai, …" Dia berhenti sejenak. "Aku tahu ini sudah larut, tapi aku tidak bisa tidur."
"Aku juga," jawabku pelan.
"Aku… aku merindukanmu." Suaranya nyaris berbisik.
Hatiku berdegup kencang. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa tercekat di tenggorokanku.
"Aku tahu ini sulit," lanjut Anya. "Jarak ini… membuat segalanya rumit. Tapi aku ingin kamu tahu, aku masih memikirkanmu. Setiap hari. Aku melihat pohon-pohon raksasa di sini dan aku teringat tentang bagaimana kita berdebat tentang keindahan algoritma dan keajaiban alam."
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak tahu mengapa, tapi kata-katanya terasa jauh lebih berarti daripada angka yang dihasilkan oleh algoritmaku.
"Aku membuat kesalahan," kataku akhirnya. "Aku mencoba mengukur perasaanmu dengan kode. Aku bodoh."
Anya tertawa kecil. "Kamu memang bodoh. Tapi aku suka kebodohanmu itu."
Kami terdiam beberapa saat, hanya suara hembusan napas yang terdengar di telepon.
"Aku akan kembali," kata Anya kemudian. "Setelah proyek ini selesai, aku akan kembali. Aku janji."
"Sungguh?"
"Sungguh. Aku menyadari satu hal. Hutan hujan itu indah, tapi tanpa kamu, semuanya terasa hampa."
Aku tersenyum. Senyum yang tulus, bukan senyum yang dikalkulasi. "Aku akan menunggumu," kataku.
Malam itu, aku menghapus Algoritma Rindu. Aku menyadari bahwa cinta tidak bisa diukur dengan angka. Cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang perasaan, tentang keyakinan, tentang pengorbanan. Dan yang terpenting, cinta adalah tentang kepercayaan.
Aku masih seorang programmer, dan Anya masih seorang ahli botani. Tapi, kami belajar satu hal penting: bahwa terkadang, hal yang paling penting dalam hidup tidak bisa dikalkulasi. Dan mungkin, justru itulah keindahan yang sebenarnya.