Debu neon kota masih menempel di jaketku saat aku melangkah masuk ke apartemen minimalistikku. Layar holografik di ruang tengah langsung menyala, menampilkan notifikasi dari "SoulMate AI," aplikasi kencan yang sedang naik daun. Aplikasi ini menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data biologis, riwayat internet, bahkan gelombang otak penggunanya.
Aku, Arion, seorang programmer yang hidup dalam algoritma dan logika, awalnya skeptis. Cinta, bagiku, adalah bug yang sulit dideteksi, apalagi diperbaiki. Namun, desakan dari teman-teman, ditambah rasa penasaran ilmiah yang kuat, akhirnya membuatku mengunduh aplikasi itu.
“Satu kecocokan baru,” suara sintetis SoulMate AI bergema. Foto seorang wanita muncul di layar. Iris matanya berwarna hazel, rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan tulang pipi yang tegas. Namanya, tertulis di bawah foto, adalah Lyra.
Deskripsi profilnya singkat: "Arsitek. Pencinta buku klasik. Penikmat senja." Tiga hal yang, secara teori, tidak ada hubungannya denganku. Aku lebih suka kode daripada puisi, cahaya biru layar daripada matahari terbenam. Tapi, SoulMate AI mengklaim bahwa algoritma mereka tidak pernah salah.
Dengan ragu, aku menekan tombol "Suka". Beberapa detik kemudian, layarku berkedip. "Lyra menyukai profil Anda."
Kencan pertama kami diadakan di kafe virtual SoulMate AI, tempat pengguna bisa merasakan suasana yang disesuaikan dengan minat mereka. Lyra memilih kafe di tepi danau dengan ilusi matahari terbenam yang sempurna. Aku, dengan canggung, memesan kopi virtual dan berusaha memulai percakapan.
"Jadi, kamu seorang programmer?" tanyanya, suaranya lembut, namun terukur.
"Ya," jawabku singkat. Aku merasa gugup. Logika yang biasanya membantuku memecahkan masalah rumit seolah lenyap ditelan ilusi danau buatan.
Lyra tersenyum tipis. "Aku selalu kagum dengan orang-orang yang bisa menciptakan sesuatu dari baris kode. Bagi seorang arsitek, itu seperti membangun bangunan dari udara."
Percakapan kami mengalir lebih lancar setelah itu. Kami membahas tentang buku favorit kami, meskipun pilihanku cenderung ke buku teks pemrograman daripada novel romansa. Kami bahkan menemukan kesamaan dalam kecintaan kami pada minimalisme dan efisiensi. Aku, dalam kode; dia, dalam desain.
Setelah beberapa kencan virtual, Lyra mengusulkan untuk bertemu secara langsung. Aku, yang biasanya menghindari interaksi manusia, entah kenapa setuju. Mungkin algoritma SoulMate AI memang ada benarnya.
Saat aku melihatnya di dunia nyata, Lyra tampak lebih cantik daripada yang aku bayangkan. Matanya lebih bersinar, senyumnya lebih hangat. Kami berjalan-jalan di taman kota, berbagi es krim dan tawa. Aku mulai merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan algoritma.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Kami menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, berbagi mimpi dan ketakutan. Aku mulai melupakan kode, melupakan logika, melupakan bahwa hubungan ini dimulai dari sebuah aplikasi. Aku hanya ingin berada di dekatnya.
Namun, kebahagiaan ini ternyata rapuh. Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di atap gedung apartemennya, Lyra tiba-tiba terdiam.
"Arion," katanya, suaranya pelan, "Aku harus memberitahumu sesuatu."
Jantungku berdegup kencang. Firasat buruk mulai menyelimuti diriku.
"Aku... Aku tidak sepenuhnya jujur denganmu."
"Apa maksudmu?"
"Aku sebenarnya bekerja untuk SoulMate AI," akunya. "Aku bagian dari tim yang mengembangkan dan menguji algoritma mereka."
Duniaku runtuh seketika. Semua yang kurasakan, semua kebahagiaan yang kubangun bersamanya, ternyata hanya ilusi, sebuah simulasi yang dirancang untuk menguji efektivitas aplikasi.
"Jadi, semua ini... Semua ini palsu?" tanyaku, suaraku bergetar.
Lyra menggelengkan kepalanya. "Tidak semuanya, Arion. Awalnya, memang benar aku ditugaskan untuk mengujimu. Tapi... Tapi aku jatuh cinta padamu. Itu bukan bagian dari program."
Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya. Apakah ini bagian dari eksperimen yang lebih besar? Apakah perasaannya benar-benar tulus?
"Bagaimana aku bisa tahu kalau kau jujur?" tanyaku, rasa sakit dan kebingungan bercampur aduk dalam diriku.
Lyra meraih tanganku. "Lihat mataku, Arion. Bisakah kau melihat algoritma di sana? Bisakah kau merasakan kode di balik sentuhanku?"
Aku menatap matanya yang hazel. Aku tidak melihat algoritma. Aku hanya melihat kesedihan, penyesalan, dan cinta. Cinta yang, meskipun dimulai dari simulasi, terasa nyata, terasa tulus.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku, seorang programmer yang hidup dalam dunia logika, harus membuat keputusan yang irasional. Aku harus memilih antara algoritma dan hati.
"Aku... Aku ingin percaya padamu," kataku akhirnya. "Tapi aku butuh waktu."
Lyra mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Malam itu, aku kembali ke apartemenku dengan perasaan hancur. Layar holografikku menyala, menampilkan notifikasi dari SoulMate AI. Aku mematikannya. Aku tidak ingin lagi melihat algoritma. Aku ingin memproses perasaanku sendiri, tanpa campur tangan kode.
Beberapa hari kemudian, aku kembali menemui Lyra. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu bahwa aku harus mencoba. Aku harus memberikan kesempatan pada cinta, bahkan jika itu dimulai dari sebuah aplikasi kencan.
"Aku... Aku sudah memikirkannya," kataku padanya. "Aku tidak peduli tentang SoulMate AI. Aku tidak peduli tentang algoritma. Aku hanya peduli padamu."
Lyra tersenyum, air mata menggenang di matanya. "Aku juga, Arion. Aku juga."
Kami berpelukan erat, melupakan bahwa cinta kami dimulai dari sebuah simulasi. Mungkin, algoritma bisa membantu kita menemukan cinta, tapi pada akhirnya, yang terpenting adalah keputusan yang kita buat, perasaan yang kita rasakan, dan keberanian untuk mempercayai hati.
Aku masih seorang programmer, masih hidup dalam dunia kode dan logika. Tapi, sekarang aku tahu bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dihitung dengan algoritma. Cinta adalah salah satunya. Dan meskipun cinta kami dimulai dari genggaman algoritma, aku berharap bisa memupuknya menjadi sesuatu yang abadi. Mungkin, hanya mungkin, cinta dalam genggaman algoritma bisa menjadi cinta sejati.