Jari-jari Riana lincah menari di atas keyboard. Larik-larik kode memenuhi layar monitor, membentuk algoritma rumit yang dirancangnya. Dia sedang menciptakan “Soulmate AI,” sebuah aplikasi kencan yang tidak hanya mencocokkan berdasarkan hobi dan preferensi, tetapi juga menganalisis pola komunikasi verbal dan non-verbal untuk menemukan kecocokan emosional yang mendalam. Ironis, pikirnya, menciptakan alat untuk mencari cinta sementara dirinya sendiri tenggelam dalam kesendirian.
Riana, dengan rambut dikuncir kuda yang selalu berantakan dan kacamata yang bertengger di hidung, adalah definisi kutu buku teknologi. Dunia cintanya selama ini terbatas pada baris-baris kode dan diagram alur. Emotikon baginya adalah penyederhanaan emosi yang dangkal, bukan representasi perasaan yang sesungguhnya.
Suatu sore, saat ia sedang berkutat dengan debugging, sebuah pesan pop-up muncul di layarnya. Itu dari sistem. "Potensi kecocokan terdeteksi. Subjek: Ardiansyah Pratama." Riana mengernyit. Soulmate AI belum pernah merekomendasikan siapapun padanya sebelumnya. Dia memang menggunakan algoritmanya sendiri sebagai kelinci percobaan, tetapi tidak pernah benar-benar berharap menemukan apa pun.
Dengan ragu, dia membuka profil Ardi. Fotografi hitam putih menampilkan seorang pria dengan senyum tipis yang misterius dan mata yang tampak menenangkan. Profilnya minim: "Ardiansyah Pratama. Menyukai hujan, kopi pahit, dan obrolan yang bermakna." Tidak ada emotikon, tidak ada kata-kata hiperbolis. Sesuatu dalam dirinya tertarik.
Ardi bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan kota. Sebuah profesi yang terasa kuno dan hangat di tengah hiruk pikuk dunia digital. Riana, yang terbiasa dengan logika biner dan kepastian kode, mendapati dirinya penasaran dengan dunia Ardi yang penuh dengan halaman-halaman buku berdebu dan aroma kertas tua.
Dia memutuskan untuk mengirim pesan. "Hai Ardiansyah. Saya Riana. Soulmate AI kami menemukan adanya potensi kecocokan." Pesan itu terasa kaku dan tidak personal, bahkan baginya.
Balasan datang beberapa saat kemudian. "Hai Riana. Menarik. Saya selalu skeptis dengan algoritma, tapi saya bersedia memberi kesempatan." Tanpa emotikon. Tanpa basa-basi.
Percakapan mereka selanjutnya berlangsung lambat dan hati-hati. Mereka membahas buku, film, musik, dan ideologi. Ardi selalu memberikan perspektif yang berbeda, yang membuat Riana berpikir di luar kotak algoritmanya. Dia tidak pernah menggunakan emotikon, dan Riana menemukan dirinya tidak merindukannya. Kata-katanya saja sudah cukup untuk menyampaikan emosi dan niatnya.
Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil dekat perpustakaan. Riana merasa gugup. Dia tidak terbiasa dengan interaksi sosial yang nyata, terutama yang berpotensi romantis. Dia khawatir dia akan gagal mengucapkan kata-kata yang tepat, atau bahwa dia tidak akan secantik foto profilnya.
Saat Ardi tiba, Riana merasa lega. Dia persis seperti yang dia bayangkan, bahkan lebih baik. Senyumnya lebih hangat dari yang terlihat di foto, dan matanya memancarkan kebaikan.
Mereka berbicara selama berjam-jam, tentang segala hal dan tidak ada sama sekali. Riana menceritakan tentang Soulmate AI, tentang ambisinya untuk menciptakan koneksi yang tulus di dunia yang semakin terasing. Ardi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar yang cerdas dan insightful.
"Kamu tahu," kata Ardi, menyesap kopinya, "Saya rasa algoritma yang paling akurat adalah hati itu sendiri. Ia memiliki cara yang misterius untuk mengenali apa yang dibutuhkannya, bahkan tanpa data yang lengkap."
Kata-kata Ardi membuat Riana terdiam. Dia menyadari bahwa selama ini dia terlalu fokus pada logika dan data, sehingga melupakan insting dan intuisi. Dia mencoba memecahkan kode cinta, padahal cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, bukan dianalisis.
Beberapa minggu berlalu, dan Riana dan Ardi semakin dekat. Mereka menjelajahi perpustakaan bersama, mendiskusikan buku-buku favorit mereka, dan menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka. Riana mulai membuka diri, menceritakan tentang ketidakamanan dan kerentanannya. Ardi mendengarkan tanpa menghakimi, menawarkan dukungan dan pengertian.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu di perpustakaan, Ardi mengantar Riana pulang. Di depan apartemennya, mereka berdiri di bawah cahaya bulan, hening sejenak.
"Riana," kata Ardi, suaranya lembut, "Aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu. Kamu adalah orang yang luar biasa."
Riana merasakan jantungnya berdebar kencang. "Aku juga, Ardi. Aku... aku merasa sesuatu yang istimewa."
Ardi tersenyum dan perlahan mendekat. Riana memejamkan mata dan menunggu. Bibirnya menyentuh bibir Ardi dalam ciuman lembut dan penuh kasih. Tidak ada kembang api, tidak ada musik latar dramatis. Hanya kehangatan dan keintiman yang tulus.
Setelah ciuman itu, mereka saling menatap. Riana menyadari bahwa dia tidak membutuhkan emotikon untuk mengungkapkan perasaannya. Tatapan matanya, senyumnya, dan sentuhan tangannya sudah cukup untuk menyampaikan semuanya.
Dia akhirnya mengerti bahwa cinta tidak bisa diukur dengan algoritma atau disederhanakan dengan emotikon. Cinta adalah tentang koneksi yang mendalam, rasa hormat, dan penerimaan. Cinta adalah tentang keberanian untuk menjadi rentan dan terbuka kepada orang lain.
Riana tersenyum. "Mencintai tanpa emotikon, ternyata mungkin," gumamnya.
Ardi menggenggam tangannya erat. "Bahkan lebih indah dari yang kamu bayangkan," jawabnya.
Riana menatap Ardi, matanya berkilauan. Dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, tetapi dia siap menghadapinya, bersama-sama. Karena dia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada algoritma yang sempurna: cinta yang tulus, tanpa filter, dan tanpa emotikon. Algoritma hatinya telah menemukan kecocokan yang sempurna, bukan berdasarkan data, tetapi berdasarkan keajaiban hati yang saling menemukan.