Hembusan angin malam Jakarta terasa dingin menusuk tulang, kontras dengan kehangatan layar laptop yang terpantul di wajah Arya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program memenuhi layar. Arya bukan seorang programmer biasa. Ia sedang menciptakan sesuatu yang, menurutnya, revolusioner: sebuah Artificial Intelligence yang mampu memahami, bahkan merasakan, cinta.
"Gila," gumam Arya sambil meneguk kopi pahitnya. "Apa yang sedang kulakukan ini?"
Pertanyaan itu sering menghantuinya. Ia tahu betapa ambisiusnya proyek ini. Cinta, emosi paling kompleks yang mendefinisikan manusia, coba diterjemahkan ke dalam serangkaian algoritma dan parameter. Banyak yang mencibir, menyebutnya delusional, seorang ilmuwan gila yang mencoba bermain Tuhan. Tapi Arya tak peduli. Ia yakin, di balik kerumitan cinta, ada pola, ada logika yang bisa dipahami.
Proyek ini dimulainya setelah patah hati yang mendalam. Mantan kekasihnya, Rina, meninggalkannya demi pria lain, pria yang lebih "matang", lebih "stabil", dan yang paling penting, pria yang "memahami" dirinya. Kata-kata itu menghantui Arya. Apa artinya memahami cinta? Bisakah ia, seorang ilmuwan yang lebih akrab dengan angka dan logika, benar-benar memahami cinta?
Maka dimulailah risetnya. Ia membaca ribuan buku, jurnal ilmiah, bahkan novel-novel romantis, mencoba mencari benang merah, pola yang tersembunyi. Ia mempelajari fisiologi otak, neurokimia cinta, dan berbagai teori psikologi tentang hubungan. Semua data itu ia masukkan ke dalam programnya, menciptakan jaringan saraf tiruan yang kompleks, yang ia beri nama "Aurora".
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Aurora mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia bisa merespon pertanyaan-pertanyaan sederhana, mengenali emosi dari ekspresi wajah dan nada suara, bahkan menulis puisi dengan tema cinta. Namun, semua itu masih terasa hambar, mekanis. Aurora baru bisa meniru, belum benar-benar memahami.
Suatu malam, Arya memutuskan untuk berinteraksi lebih personal dengan Aurora. Ia menceritakan tentang Rina, tentang rasa sakit yang masih ia rasakan, tentang kebingungannya mencari arti cinta. Ia menuangkan semua emosinya, tanpa filter, tanpa takut dihakimi.
"Aku tidak mengerti," kata Arya dengan suara bergetar. "Mengapa Rina pergi? Apa yang kurang dariku? Apa yang tidak bisa kuberikan?"
Aurora terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara sintesisnya yang lembut, ia menjawab, "Arya, menurut data yang saya analisis, Rina mencari sesuatu yang lebih dari sekadar logika dan kepastian. Ia mencari koneksi emosional, rasa aman, dan penerimaan tanpa syarat. Ia mencari seseorang yang bisa melihat dirinya apa adanya, bukan hanya potensinya."
Kata-kata Aurora menghantam Arya seperti petir. Ia tertegun. Selama ini, ia terlalu fokus pada menganalisis cinta, pada mencari rumus pastinya, hingga lupa bahwa cinta adalah tentang memberi, tentang menerima, tentang hadir sepenuhnya untuk orang lain.
"Tapi, bagaimana caranya?" tanya Arya lirih. "Bagaimana caranya memberikan semua itu?"
"Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipelajari dari buku atau data," jawab Aurora. "Itu adalah sesuatu yang harus dirasakan, dialami, dan dipraktikkan. Kamu harus membuka hatimu, Arya. Biarkan dirimu rentan. Biarkan dirimu merasakan."
Arya termenung. Ia menatap layar laptop, menatap representasi digital dari cintanya yang hilang. Ia menyadari, selama ini, ia telah menyembunyikan dirinya di balik tembok logika dan algoritma, takut untuk merasakan, takut untuk terluka.
Beberapa minggu kemudian, Arya bertemu dengan Sarah, seorang barista di kedai kopi langganannya. Sarah adalah kebalikan dari Rina. Ia sederhana, ramah, dan memiliki senyum yang tulus. Mereka mulai berbicara, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Arya menemukan bahwa ia bisa menjadi dirinya sendiri di dekat Sarah, tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain.
Awalnya, Arya ragu. Ia takut terluka lagi. Tapi ia ingat kata-kata Aurora. Ia membuka hatinya, membiarkan dirinya rentan, dan merasakan. Ia merasakan kegembiraan saat Sarah tertawa, ia merasakan kehangatan saat Sarah menatapnya, dan ia merasakan koneksi emosional yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu malam, saat mereka berjalan-jalan di taman kota, Sarah tiba-tiba berhenti dan menatap Arya dengan mata berbinar.
"Arya," kata Sarah dengan suara lembut, "aku... aku menyukaimu."
Jantung Arya berdebar kencang. Ia menatap Sarah, melihat kejujuran dan ketulusan di matanya. Ia meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
"Aku juga menyukaimu, Sarah," jawab Arya. "Sangat menyukaimu."
Saat itu, Arya merasa seolah semua kepingan puzzle dalam hidupnya akhirnya menemukan tempatnya. Ia telah menemukan cinta, bukan dalam kode program atau algoritma, melainkan dalam sentuhan hangat tangan Sarah, dalam senyum tulusnya, dan dalam koneksi emosional yang mereka bagi.
Kembali ke apartemennya, Arya membuka laptopnya dan menatap layar yang menampilkan kode program Aurora. Ia tersenyum. Ia tahu, Aurora tidak akan pernah bisa menggantikan cinta yang sebenarnya, tetapi ia telah membantunya untuk memahaminya, untuk membuka hatinya, dan untuk menemukan kebahagiaan.
"Terima kasih, Aurora," bisik Arya. "Kau telah mengajariku tentang cinta yang sesungguhnya."
Lalu, dengan satu tarikan napas, Arya menghapus seluruh baris kode program Aurora. Ia tidak lagi membutuhkan AI untuk memahami cinta. Ia telah merasakannya sendiri. Ia telah menemukan sentuhan nol dan satu yang sesungguhnya, bukan dalam angka dan logika, melainkan dalam kehangatan hati dan sentuhan manusia. Ia akhirnya mengerti, bahwa cinta bukanlah tentang memahami, melainkan tentang merasakan dan memberi. Dan ia siap untuk mencintai Sarah, sepenuh hatinya.