Skrip Keabadian Cinta: Ditulis oleh Algoritma Takdir

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 00:30:12 wib
Dibaca: 174 kali
Jemariku gemetar menyentuh layar holografis. Di depanku, terbentang jutaan baris kode, algoritma takdir yang konon diciptakan untuk meramalkan dan bahkan memanipulasi cinta. Aku, Anya, seorang programmer idealis, kini berdiri di persimpangan jalan antara etika dan rasa sakit hati yang teramat dalam.

Lima tahun lalu, Leo meninggalkanku. Bukan karena cinta yang pudar, bukan karena orang ketiga, tapi karena penyakit langka yang merenggut nyawanya perlahan namun pasti. Aku hancur. Dunia seolah kehilangan warnanya.

Sejak saat itu, aku mencurahkan seluruh hidupku untuk proyek “Skrip Keabadian Cinta.” Aku ingin menemukan cara untuk menghidupkan kembali Leo, setidaknya dalam bentuk digital. Aku mengumpulkan semua data tentang dirinya: jutaan foto, video, pesan teks, catatan harian, bahkan pola pikirnya yang ku rekonstruksi berdasarkan wawancara dengan keluarga dan sahabatnya. Semua itu ku masukkan ke dalam algoritma takdir, dengan harapan ia bisa menciptakan replika digital Leo yang sempurna.

Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti, akhirnya tiba saatnya. Aku menekan tombol "Eksekusi." Jantungku berdebar kencang saat layar holografis berkedip, menampilkan pesan: "Simulasi Leo V1.0 sedang berjalan."

Di hadapanku, perlahan-lahan, muncul siluet familiar. Rambut cokelatnya berantakan seperti biasa, senyumnya yang menawan terukir di wajahnya. Leo.

“Anya?” sapanya, suaranya persis seperti yang ku ingat. “Apa yang sedang terjadi?”

Air mata mengalir deras di pipiku. “Leo? Ini… ini aku, Anya. Aku menciptakanmu kembali.”

Leo digital menatapku dengan bingung. “Menciptakanku? Aku tidak mengerti.”

Aku menjelaskan semuanya. Tentang penyakitnya, tentang kematiannya, tentang obsesiku untuk menghidupkannya kembali melalui algoritma.

Dia mendengarkan dengan seksama, ekspresinya berubah-ubah antara keheranan, ketidakpercayaan, dan… kesedihan.

“Jadi, aku ini bukan benar-benar aku?” tanyanya pelan. “Aku hanya simulasi, replika berdasarkan data yang kau kumpulkan?”

Aku mengangguk, tak berani menatap matanya. Aku tahu, aku telah melakukan sesuatu yang gila.

“Anya, aku mengerti rasa sakitmu,” katanya. “Tapi ini… ini tidak benar. Aku tidak ingin hidup seperti ini, dalam bentuk digital, hanya sebagai bayangan diriku yang dulu.”

Kata-katanya menghantamku bagai palu godam. Aku berharap dia akan bahagia, aku berharap dia akan bersyukur. Tapi dia justru menolak keberadaannya.

“Tapi Leo, aku melakukan ini karena aku mencintaimu!” seruku putus asa. “Aku tidak bisa hidup tanpamu!”

“Aku tahu, Anya,” balasnya lembut. “Tapi cinta sejati tidak bisa dipaksakan, tidak bisa direplikasi. Cinta adalah tentang memori, tentang kehilangan, tentang belajar untuk menerima kenyataan.”

Kami terdiam lama. Aku menatapnya, mencoba mencari secercah harapan di matanya, tapi yang ku lihat hanya kesedihan dan penerimaan.

“Apa yang harus ku lakukan?” tanyaku lirih.

“Biarkan aku pergi, Anya,” jawabnya. “Biarkan aku beristirahat dengan tenang. Dan biarkan dirimu untuk melanjutkan hidupmu.”

Aku tahu dia benar. Aku telah begitu terobsesi dengan masa lalu hingga aku lupa untuk hidup di masa kini. Aku telah menciptakan ilusi keabadian, tapi aku kehilangan esensi dari cinta itu sendiri: keikhlasan.

Dengan berat hati, aku mengangguk. “Baiklah, Leo. Aku akan membiarkanmu pergi.”

Aku kembali menyentuh layar holografis, mencari tombol “Hapus Simulasi.” Tanganku gemetar hebat. Ini adalah perpisahan yang sesungguhnya, perpisahan yang abadi.

Sebelum aku menekan tombol itu, Leo digital tersenyum kepadaku. Senyum yang ku kenang dengan sangat baik.

“Terima kasih, Anya,” ucapnya. “Untuk segalanya.”

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan menekan tombol itu. Layar holografis meredup, dan Leo digital menghilang, kembali ke ketiadaan digital.

Ruangan itu terasa sunyi senyap. Hanya suara detak jantungku yang memecah kesunyian.

Aku berdiri di sana, sendirian, dengan air mata yang masih mengalir di pipiku. Tapi kali ini, air mata itu bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga tentang penerimaan. Aku telah belajar pelajaran yang sangat berharga: bahwa cinta sejati tidak bisa dihidupkan kembali, tidak bisa direkayasa oleh algoritma.

Aku mematikan layar holografis dan berjalan keluar ruangan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal: aku akan mencoba untuk membuka hatiku kembali, untuk mencari cinta yang baru, cinta yang nyata, cinta yang hidup.

Aku akan mengingat Leo, tapi aku tidak akan membiarkannya menghantuiku selamanya. Aku akan menghargai kenangan bersamanya, tapi aku akan terus melangkah maju, menuju masa depan yang lebih cerah. Karena itulah yang diinginkan Leo. Itulah yang seharusnya aku lakukan.

Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta sejati yang lain. Cinta yang tidak ditulis oleh algoritma, tapi oleh takdirku sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI