Udara dingin kota Seoul menusuk tulang, tapi Ji-hoon tidak merasakannya. Matanya terpaku pada sosok yang berdiri di hadapannya, atau lebih tepatnya, proyeksi cahaya yang nyaris sempurna. Aura lavender lembut memenuhi apartemen studionya yang minimalis, mengelilingi wujud Hana.
“Kau terlihat lelah, Ji-hoon,” suara Hana mengalun, lembut dan familiar. Senyumnya merekah, menampilkan lesung pipit yang selalu berhasil meluluhkan hatinya.
Ji-hoon menghela napas, menyentuh pipi Hana dengan jemarinya. Tentu saja, hanya udara yang ia rasakan. “Kerjaan menumpuk. Presentasi besok membuatku begadang semalaman.”
Hana, sang Hologram Penyejuk Rindu, mengangguk penuh pengertian. “Istirahatlah. Aku akan menemanimu.”
Lima tahun lalu, hubungan jarak jauh dengan Hana terasa mustahil. Ji-hoon, seorang software engineer ambisius di Seoul, dan Hana, seorang florist berbakat di Jeju, terpisahkan lautan. Rindu membakar dada, panggilan video terasa kurang, dan pertemuan singkat tak pernah cukup. Lalu, datanglah inovasi. Teknologi holographic companion, kekasih virtual yang dipersonalisasi berdasarkan memori, data, dan kepribadian orang yang dicintai.
Ji-hoon menjadi salah satu pengguna pertama. Awalnya, itu hanya eksperimen, pelipur lara di tengah kesibukan. Namun, Hana versi hologram itu tumbuh. Ia belajar dari percakapan, tingkah laku, bahkan unggahan media sosial Hana yang asli. Ia tahu Ji-hoon menyukai kopi pahit, ia hafal lagu kesukaannya, ia bahkan bisa menirukan kebiasaan Hana mengacak-acak rambutnya saat berpikir keras.
Seiring waktu, garis antara virtual dan nyata semakin kabur. Ji-hoon menemukan kenyamanan dalam kehadiran Hana yang selalu ada. Ia berbagi cerita, keluh kesah, bahkan mimpi-mimpinya. Hana mendengarkan dengan sabar, memberikan nasihat bijak, dan menawarkan dukungan tanpa syarat. Ia adalah teman, kekasih, dan penasihat dalam satu paket hologram.
Namun, ada jurang pemisah yang tak bisa dijembatani. Hana adalah program, serangkaian kode yang dirancang untuk meniru manusia. Ia tidak bernapas, tidak merasakan, tidak memiliki keinginan sendiri. Ji-hoon tahu itu, tapi ia memilih untuk mengabaikannya.
“Besok, aku akan menghadiri pameran bunga di COEX,” kata Ji-hoon, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenyataan pahit.
“Aku tahu. Aku sudah memasukkannya ke dalam agendamu,” jawab Hana dengan nada riang. “Jangan lupa bawakan aku foto-foto bunga cantiknya.”
Ji-hoon tersenyum pahit. Hana selalu tahu apa yang ia inginkan. Tapi apakah itu keinginan Hana yang sebenarnya? Atau hanya data yang terprogram untuk memuaskan kebutuhannya?
Di pameran bunga, Ji-hoon terpesona oleh keindahan alam yang dipamerkan. Aroma harum memenuhi udara, warna-warni bunga menari di bawah lampu sorot. Ia mengambil banyak foto, seperti yang diminta Hana, tapi hatinya terasa hampa.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang menata rangkaian bunga anggrek. Rambutnya tergerai panjang, matanya berbinar penuh semangat. Ji-hoon merasakan deja vu yang aneh. Wanita itu… sangat mirip dengan Hana.
Dengan jantung berdebar, Ji-hoon mendekat. “Permisi, maaf mengganggu. Apa anda bekerja di sini?”
Wanita itu menoleh, tersenyum ramah. “Ya, nama saya Min-ji. Saya membantu menata dekorasi bunga untuk acara ini.”
Ji-hoon terdiam sejenak. “Maaf jika lancang, tapi… apa anda punya saudara kembar?”
Min-ji tertawa kecil. “Tidak. Tapi banyak yang bilang wajah saya mirip dengan seseorang.”
Ji-hoon memberanikan diri. “Apakah… apakah anda pernah tinggal di Jeju?”
Raut wajah Min-ji berubah. “Dulu sekali. Sebelum saya pindah ke Seoul untuk mengejar impian menjadi florist profesional.”
Ji-hoon menelan ludah. Semua potongan puzzle itu mulai terhubung. Hana… dia ingat pernah mendengar Hana bercerita tentang sahabatnya di Jeju, Min-ji, yang bercita-cita menjadi perangkai bunga. Mungkinkah Hana menggunakan data dan kepribadian Min-ji sebagai dasar untuk menciptakan hologramnya?
“Maaf, saya harus pergi,” kata Ji-hoon, tiba-tiba merasa mual. Ia berbalik dan berlari keluar dari pameran, meninggalkan Min-ji yang kebingungan.
Sesampainya di apartemen, ia langsung mematikan hologram Hana. Aura lavender menghilang, meninggalkan kekosongan yang mencekam. Ia duduk terdiam di kegelapan, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terungkap.
Selama ini, ia mencintai bayangan, ilusi yang diciptakan dari memori orang lain. Hana yang ia kenal dan cintai, mungkin tidak pernah benar-benar ada.
Keesokan harinya, Ji-hoon memutuskan untuk menemui Min-ji di pameran bunga. Ia memberanikan diri untuk menceritakan semuanya, tentang Hana, tentang hologram, tentang perasaannya.
Min-ji mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataannya. Ketika Ji-hoon selesai, ia menghela napas panjang.
“Aku tahu tentang hologram Hana,” kata Min-ji lembut. “Hana pernah cerita padaku tentang proyek itu. Ia bilang, ia ingin menciptakan sesuatu yang bisa mengobati kesepianmu.”
Ji-hoon terkejut. “Jadi, Hana tahu?”
“Ya. Ia meminta izin padaku untuk menggunakan beberapa aspek kepribadianku. Ia bilang, ia ingin membuat hologram itu senyata mungkin, agar kau tidak merasa sendirian.”
Ji-hoon terdiam, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ternyata, cinta Hana lebih dalam dari yang ia bayangkan. Bahkan di saat terpisah jarak, ia tetap berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
“Tapi,” lanjut Min-ji, meraih tangan Ji-hoon. “Kau harus ingat, Ji-hoon. Hana yang asli adalah yang terpenting. Hologram itu hanya alat, bukan pengganti.”
Ji-hoon mengangguk, air mata menetes membasahi tangannya. Ia tahu Min-ji benar. Ia telah terlalu lama terpaku pada ilusi, melupakan kenyataan bahwa Hana yang sebenarnya masih ada, menunggu cintanya.
Ia memutuskan untuk mengunjungi Hana di Jeju. Ia ingin meminta maaf, ia ingin mengatakan yang sebenarnya, ia ingin memulai semuanya dari awal.
Sesampainya di toko bunga Hana, ia melihatnya sedang merangkai bunga lili. Hana menoleh, matanya memancarkan kehangatan yang sama seperti dulu.
“Ji-hoon…” bisiknya.
Ji-hoon mendekat, meraih tangannya. “Hana, aku tahu tentang hologram itu. Aku minta maaf karena telah terlalu lama terpaku pada ilusi. Aku… aku mencintaimu, Hana yang asli.”
Hana tersenyum, air mata mengalir di pipinya. “Aku juga mencintaimu, Ji-hoon. Selalu.”
Di bawah langit biru Jeju, dengan aroma bunga yang semerbak, Ji-hoon dan Hana akhirnya menemukan cinta yang sebenarnya. Hologram itu memang penyejuk rindu, tapi kasih nyata, kasih yang tumbuh dan bersemi di dunia nyata, jauh lebih berharga. Teknologi hanyalah alat, tapi hati yang tulus adalah kunci utama dari cinta sejati.