Pixel Hati: Ketika Algoritma Merayu Perasaan

Dipublikasikan pada: 06 Nov 2025 - 01:00:16 wib
Dibaca: 151 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode. Di hadapannya, layar komputer memancarkan cahaya kebiruan yang menerangi wajahnya. Ia sedang menyempurnakan Algoritma Cinta, proyek idealisnya yang menggabungkan kecerdasan buatan dengan teori psikologi cinta. Tujuannya sederhana, namun ambisius: menciptakan aplikasi yang bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan kompatibilitas kepribadian, minat, dan nilai-nilai.

“Anya, masih berkutat dengan Algoritma Cinta-mu itu?” Sapaan itu membuyarkan konsentrasinya. Arya, rekan kerjanya sekaligus sahabat karibnya, berdiri di ambang pintu dengan secangkir kopi panas.

Anya menghela napas, memutar kursinya menghadap Arya. “Ya, begitulah. Aku merasa sedikit lagi selesai. Tinggal menyelesaikan beberapa bug di bagian analisis profil.”

Arya menyodorkan kopi itu padanya. “Kau tahu, kan, apa kata orang? Bahkan algoritma secanggih apa pun tidak bisa memprediksi urusan hati.”

Anya menerima kopi itu dengan senyum tipis. “Aku tahu, Arya. Tapi aku percaya ada pola di balik ketidakteraturan. Data bisa mengungkapkan banyak hal tentang seseorang, bahkan hal-hal yang mereka sembunyikan dari diri mereka sendiri.”

Arya mengangkat alisnya. “Kau terdengar seperti robot yang sedang jatuh cinta pada data.”

Anya tertawa. “Mungkin saja. Tapi aku lebih suka menyebutnya harapan. Aku hanya ingin membantu orang-orang menemukan kebahagiaan, Arya. Seperti yang kau tahu, aku sendiri… kurang beruntung dalam urusan cinta.”

Arya terdiam sejenak, menatap Anya dengan tatapan iba. Ia tahu betul kisah pahit di balik ambisi Anya menciptakan Algoritma Cinta. Pengalaman cintanya yang kandas di masa lalu membuatnya sulit percaya pada cinta yang datang secara alami.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya Algoritma Cinta resmi diluncurkan. Aplikasi itu dengan cepat menjadi viral. Ribuan orang mendaftar setiap hari, penasaran dengan janji cinta dari algoritma. Anya merasa bangga sekaligus cemas. Ia tahu, teknologi ini memiliki potensi untuk mengubah hidup seseorang, dan ia bertanggung jawab penuh atas dampaknya.

Suatu malam, ketika Anya sedang memeriksa log server, ia menemukan sesuatu yang aneh. Ada sebuah profil yang terus-menerus diakses oleh algoritma. Profil itu bernama “Pixel88”. Anya penasaran dan memutuskan untuk melihat profil tersebut.

Pixel88. Foto profilnya hanyalah siluet seorang pria di depan layar komputer yang penuh dengan kode. Deskripsi dirinya singkat dan misterius: “Pecinta kode, pemimpi teknologi, dan pencari makna di balik angka.”

Anya merasa tertarik. Ia menjalankan algoritma untuk mencocokkan profil Pixel88 dengan dirinya sendiri. Hasilnya mengejutkan: tingkat kompatibilitas mereka mencapai 98%. Angka yang nyaris sempurna.

Anya merasa aneh. Ia menciptakan algoritma ini, tapi ia tidak pernah berpikir akan menggunakannya untuk dirinya sendiri. Namun, rasa penasaran dan kesepian yang selama ini menghantuinya mendorongnya untuk mengirim pesan kepada Pixel88.

“Hai, Pixel88. Algoritma Cinta bilang kita sangat cocok.”

Balasan datang hampir seketika. “Hai, Anya. Aku tahu. Aku juga sedang melihat hasilnya. Kupikir ini menarik.”

Obrolan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka berbicara tentang kode, mimpi-mimpi mereka, dan ketakutan mereka. Anya merasa seolah ia telah mengenal Pixel88 seumur hidupnya. Ia merasa nyaman, aman, dan dihargai.

Setelah beberapa minggu saling bertukar pesan, Anya dan Pixel88 memutuskan untuk bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang dekat dengan kantor mereka. Anya merasa gugup dan bersemangat. Ia tidak tahu apa yang harus diharapkan.

Ketika Anya tiba di kedai kopi, ia melihat seorang pria duduk di sudut dengan laptop terbuka. Pria itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Senyum yang tulus dan hangat.

“Anya?” tanyanya.

Anya mengangguk, terpesona. Pria itu tampan dan karismatik, jauh dari gambaran “pecinta kode” yang ada di benaknya.

“Aku Leo,” katanya, mengulurkan tangannya.

Anya menjabat tangannya. “Senang bertemu denganmu, Leo.”

Mereka menghabiskan sore itu berbicara, tertawa, dan berbagi cerita. Anya merasa seolah ia telah menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya. Leo, ternyata, adalah seorang programmer senior yang bekerja di perusahaan teknologi lain. Ia juga merasa kesepian dan mencari cinta. Ia menggunakan Algoritma Cinta sebagai cara untuk mencari seseorang yang sefrekuensi dengannya.

Setelah pertemuan itu, Anya dan Leo mulai berkencan. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, dan belajar hal-hal baru. Anya menemukan bahwa Leo adalah orang yang cerdas, lucu, dan penuh perhatian. Ia merasa bahagia dan jatuh cinta.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Anya masih merasa ragu. Apakah cintanya pada Leo nyata, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma? Apakah ia mencintai Leo karena kompatibilitas mereka, atau karena ia benar-benar melihat Leo sebagai dirinya sendiri?

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya kepada Leo.

“Leo, apakah kau pernah berpikir bahwa cinta kita ini palsu? Bahwa kita hanya bersama karena algoritma bilang kita cocok?”

Leo terdiam sejenak, menatap Anya dengan tatapan serius. “Anya, algoritma hanyalah alat. Ia membantuku menemukanmu, tapi ia tidak bisa menciptakan perasaan. Aku jatuh cinta padamu bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri. Karena kau cerdas, cantik, dan memiliki hati yang besar. Aku mencintaimu karena kau adalah dirimu.”

Anya terharu mendengar kata-kata Leo. Ia menyadari bahwa ia selama ini terlalu fokus pada data dan logika, hingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri: perasaan.

Ia memeluk Leo erat-erat. “Aku juga mencintaimu, Leo. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu.”

Anya akhirnya menyadari bahwa Algoritma Cinta bukanlah jawaban untuk semua masalah cinta. Ia hanyalah alat yang bisa membantu orang-orang menemukan potensi cinta. Pada akhirnya, yang terpenting adalah bagaimana kita merawat dan mengembangkan perasaan itu.

Anya dan Leo terus menjalin hubungan mereka, membuktikan bahwa bahkan di era digital ini, cinta sejati masih bisa ditemukan, bahkan dengan bantuan algoritma sekalipun. Pixel hati mereka telah terhubung, bukan hanya oleh kode, tetapi juga oleh perasaan yang tulus dan mendalam. Mereka berdua belajar bahwa cinta, seperti teknologi, terus berkembang, dan yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya untuk membangun sesuatu yang indah dan bermakna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI