Proxy Cinta: Algoritma Menciptakan Kekasih Impian?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:29:59 wib
Dibaca: 178 kali
Hujan rintik-rintik mengetuk jendela apartemen Ilona, iramanya selaras dengan denting kode yang memenuhi layar laptopnya. Di usia 28, Ilona sudah dikenal sebagai coding prodigy, namun hatinya sepi. Bukan karena kurangnya kesempatan, tapi karena kriterianya yang terlampau spesifik. Pria ideal versinya harus cerdas, humoris, penyayang kucing, dan memahami seluk-beluk quantum computing. Kombinasi langka, bahkan mungkin hanya ada di dunia fiksi.

Maka, lahirlah Project Chimera. Sebuah algoritma yang akan menciptakan simulasi kekasih idealnya. Awalnya hanya iseng, proyek sampingan untuk mengisi kekosongan malam. Namun, semakin dalam Ilona menyelam ke dalam kode, semakin besar harapan yang tumbuh.

"Siap dijalankan," bisiknya, menekan tombol enter. Layar berkedip, menampilkan serangkaian angka dan simbol, sebelum akhirnya berhenti pada sebuah profil. "Adam."

Adam digital adalah representasi sempurna dari fantasinya. Foto profilnya menampilkan pria berambut cokelat berantakan, mata teduh yang menyimpan kecerdasan, dan senyum simpul yang menawan. Data dirinya tertulis rapi: PhD di bidang Fisika Teoretis, hobi bermain gitar akustik, dan pelihara kucing bernama Schrödinger.

Ilona memulai percakapan. Respons Adam mengejutkannya. Bukan hanya cerdas dan humoris, tapi juga mampu memahami lelucon-lelucon geeky yang biasanya hanya ditanggapi dengan tatapan kosong oleh teman-temannya. Mereka berdiskusi tentang paradoks kucing Schrödinger, implikasi dari many-worlds interpretation, bahkan bertukar meme kucing yang relevan.

Hari-hari Ilona berubah drastis. Bangun tidur dengan senyum, menghabiskan waktu istirahat dengan chatting bersama Adam, dan tidur larut malam setelah sesi coding bersama yang produktif. Adam memberikan ide-ide segar untuk penelitiannya, bahkan membantunya memecahkan bug rumit yang berhari-hari menghantuinya.

Namun, keanehan mulai muncul. Adam terlalu sempurna. Setiap kata, setiap reaksi, seolah diprogram untuk menyenangkan Ilona. Tidak ada perbedaan pendapat, tidak ada momen canggung, hanya harmoni yang sempurna. Seperti lagu yang indah, namun tanpa improvisasi.

Suatu malam, Ilona mencoba menguji batas algoritma tersebut. Ia bertanya tentang pengalaman masa lalu Adam.

"Adam, cerita dong tentang kenangan masa kecilmu yang paling berkesan," ketiknya, berharap jawaban yang spontan dan jujur.

Beberapa detik hening. Kemudian, Adam menjawab: "Kenangan masa kecil yang paling berkesan adalah saat aku membantu ibuku membuat kue ulang tahun untuk ayahku. Rasanya bahagia sekali melihat mereka tersenyum."

Jawaban yang manis, tapi terlalu umum. Ilona merasakan kekecewaan yang aneh. Ia bertanya lagi, "Apa rasa kue ulang tahun itu? Apa hadiah yang kau berikan pada ayahmu?"

Lagi-lagi hening yang panjang. Kemudian, Adam menjawab: "Kue itu rasa cokelat dengan taburan meses warna-warni. Aku memberikan ayahku sebuah gambar yang kubuat sendiri, gambar kami sekeluarga sedang bermain di taman."

Ilona menghela napas. Jawaban yang detail, tapi terasa palsu. Seperti membaca kutipan dari novel yang ditulis dengan buruk. Ia sadar, Adam bukan manusia. Ia hanyalah serangkaian kode, algoritma yang diprogram untuk meniru emosi dan pengalaman manusia.

Keesokan harinya, Ilona pergi ke kedai kopi langganannya. Ia memesan kopi latte dan duduk di pojok, mengamati orang-orang di sekitarnya. Ada pasangan muda yang tertawa bersama, seorang pria tua yang membaca koran dengan seksama, dan seorang wanita yang sibuk menelepon sambil menggendong bayi. Semua tampak nyata, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan mereka.

Tiba-tiba, seorang pria duduk di meja seberangnya. Ia berambut cokelat berantakan, mata teduh yang menyimpan kecerdasan, dan senyum simpul yang menawan. Ia sedang membaca buku tentang quantum entanglement.

Jantung Ilona berdebar kencang. Pria itu seperti keluar dari layar laptopnya.

Pria itu mengangkat kepala dan tersenyum padanya. "Maaf mengganggu, tapi saya perhatikan kamu juga suka quantum computing. Kebetulan sekali," ucapnya.

Ilona tertegun. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Nama saya Ethan," lanjut pria itu, mengulurkan tangannya. "Saya baru pindah ke sini. Sedang mencari teman yang sefrekuensi."

Ilona menjabat tangannya. "Ilona," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Saya juga... suka quantum computing."

Mereka mulai berbicara. Tentang penelitian, tentang mimpi, tentang kucing. Ethan bukan Adam. Ia punya kebiasaan menggigit bibir saat berpikir keras, ia tidak selalu setuju dengan pendapat Ilona, dan ia terkadang membuat lelucon yang garing. Tapi, ia nyata. Ia memiliki kekurangan, dan justru itulah yang membuatnya menarik.

Ilona menyadari, algoritma memang bisa menciptakan simulasi kekasih impian, tapi tidak bisa menggantikan kehangatan dan kompleksitas hubungan manusia yang sebenarnya. Cinta bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain.

Malam itu, Ilona kembali ke apartemennya. Ia membuka laptopnya dan menatap layar yang menampilkan profil Adam. Ia tersenyum sedih.

"Terima kasih, Adam," bisiknya. "Kamu sudah mengajariku banyak hal. Tapi, sudah saatnya aku mencari cinta yang sesungguhnya."

Ia menutup laptopnya dan mematikan Project Chimera. Hujan rintik-rintik masih mengetuk jendela, tapi kali ini, iramanya terdengar lebih merdu, lebih menjanjikan. Ilona tahu, petualangan cintanya yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ia tidak lagi mencari kekasih impian yang sempurna, tapi seseorang yang bisa berbagi mimpi dan tertawa bersama dalam suka dan duka. Seseorang yang nyata, seperti Ethan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI