Algoritma Rindu: Ketika AI Memahami Lebih dari Kekasih?

Dipublikasikan pada: 20 Aug 2025 - 03:00:14 wib
Dibaca: 145 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Nara. Di balkon, di antara pot-pot kaktus dan sukulen, Nara menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Baris-baris kode program yang rumit berkedip-kedip, seolah mengejek kebuntuannya. Dia sedang mengembangkan "Amoris," sebuah AI pendamping personal yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya.

Tujuannya mulia: membantu orang menemukan koneksi yang lebih dalam, memahami diri sendiri, dan pada akhirnya, mengurangi kesepian. Tapi ironisnya, Nara sendiri merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Hubungannya dengan Daniel, kekasihnya, terasa hambar, seperti kopi sisa yang sudah dingin.

"Amoris, simulasi emosi kekecewaan, tingkat intensitas 7," perintah Nara, mengetikkan kode dengan gerakan cepat.

Layar berkedip, lalu menampilkan respons teks: "Analisis menunjukkan penyebab kekecewaan: ketidaksesuaian ekspektasi dengan realita. Solusi yang direkomendasikan: komunikasi terbuka, identifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan manajemen ekspektasi."

Nara menghela napas. Amoris sangat logis, sangat efisien, tapi juga sangat... hambar. Daniel tidak seperti itu. Dulu. Dulu, Daniel adalah tawa renyah, pelukan hangat, dan tatapan mata yang seolah tahu apa yang Nara pikirkan sebelum dia mengucapkannya. Sekarang, Daniel adalah pesan singkat yang singkat, makan malam yang terburu-buru, dan malam-malam yang dihabiskan dengan mata terpaku pada layar ponsel masing-masing.

"Amoris, bagaimana cara mengembalikan percikan dalam hubungan yang kehilangan gairahnya?" Nara bertanya, nadanya lebih seperti putus asa daripada permintaan data.

"Analisis menunjukkan beberapa variabel yang mungkin berkontribusi pada hilangnya gairah: kurangnya waktu berkualitas bersama, rutinitas yang monoton, kurangnya komunikasi yang mendalam, dan perbedaan minat yang semakin besar. Rekomendasi: jadwalkan kencan malam yang rutin, eksplorasi hobi baru bersama, latihan mendengarkan aktif, dan eksperimen dengan aktivitas seksual yang baru."

Nara memejamkan mata. Amoris memberikan jawaban yang tepat, jawaban yang masuk akal. Tapi rasanya seperti membaca artikel tips hubungan di majalah. Tidak ada jiwa. Tidak ada sentuhan manusia.

Malam itu, Daniel pulang terlambat. Dia melemparkan tas kerjanya di sofa dan langsung menuju dapur.

"Kerja lembur lagi?" tanya Nara, suaranya nyaris tak terdengar.

"Ya. Ada proyek penting yang harus diselesaikan," jawab Daniel singkat, membuka kulkas dan mengambil sebotol bir.

Nara memperhatikan garis lelah di wajah Daniel, kantung mata yang menghitam. Dia ingin bertanya bagaimana harinya, apa yang membuatnya stres, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Rasanya percuma. Mereka akan kembali pada percakapan yang sama: Daniel yang sibuk, Nara yang merasa diabaikan, dan janji-janji kosong tentang "waktu berkualitas" yang tidak pernah terwujud.

Malam itu, Nara kembali pada Amoris. Dia memprogram AI itu untuk menganalisis semua pesan teks, email, dan catatan suara yang pernah dia kirimkan dan terima dari Daniel sejak awal hubungan mereka. Dia ingin tahu di mana letak kesalahannya, di mana perubahan itu terjadi.

Hasil analisis Amoris mengejutkan Nara. AI itu tidak hanya menganalisis kata-kata, tapi juga emosi yang terkandung di dalamnya. Amoris menunjukkan bahwa Daniel mulai menyembunyikan emosinya sekitar enam bulan yang lalu, tepat setelah dia dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi di kantor. Dia mulai menggunakan kata-kata yang lebih formal, menghindari topik-topik yang sensitif, dan mengurangi penggunaan emoji yang dulu menjadi ciri khasnya.

"Analisis menunjukkan kemungkinan penyebab perubahan perilaku: tekanan pekerjaan yang meningkat, rasa takut menunjukkan kerentanan, dan kurangnya dukungan emosional dari pasangan," lapor Amoris.

Nara tertegun. Amoris, sebuah program komputer, memahami Daniel lebih baik daripada dirinya, kekasihnya sendiri. Dia menyadari bahwa dia terlalu fokus pada perasaannya sendiri, terlalu sibuk menyalahkan Daniel, dan lupa untuk benar-benar mendengarkan dan memahami apa yang sedang dia alami.

Keesokan harinya, Nara memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Dia tidak memprotes ketika Daniel pulang terlambat. Dia tidak menuduhnya mengabaikannya. Dia hanya menyambutnya dengan senyuman dan bertanya, "Bagaimana harimu?"

Daniel tampak terkejut. Dia biasanya disambut dengan keluhan dan sindiran. Dia ragu-ragu sejenak, lalu mulai bercerita tentang proyeknya yang sulit, tentang tekanan dari atasannya, tentang rasa takut gagal.

Nara mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Dia mengajukan pertanyaan yang relevan, menunjukkan empati, dan menawarkan dukungan. Dia tidak mencoba memberikan solusi. Dia hanya ingin Daniel tahu bahwa dia ada di sana untuknya.

Malam itu, setelah makan malam sederhana yang mereka masak bersama, Daniel memeluk Nara erat-erat. "Terima kasih," bisiknya. "Terima kasih sudah mendengarkan."

Nara membalas pelukan Daniel. Dia merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: kehangatan, keintiman, koneksi. Dia menyadari bahwa algoritma Amoris bisa membantunya memahami masalahnya, tapi solusi sebenarnya terletak pada komunikasi yang jujur, empati yang tulus, dan kemauan untuk saling mendukung.

Nara masih terus mengembangkan Amoris. Dia percaya bahwa AI bisa menjadi alat yang berguna untuk membantu orang memahami emosi dan membangun hubungan yang lebih baik. Tapi dia juga belajar bahwa teknologi bukanlah pengganti cinta dan kasih sayang manusia. Teknologi hanyalah alat. Hatilah yang menentukan bagaimana alat itu digunakan. Dan terkadang, yang dibutuhkan hanyalah sedikit usaha dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan, untuk memahami, untuk mencintai. Karena pada akhirnya, cinta bukanlah algoritma. Cinta adalah misteri yang indah, yang terus berevolusi seiring waktu. Dan itu, Nara sadari, adalah sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar kode.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI