Aplikasi kencan itu bernama "SoulMate 3.0". Konon, algoritmanya mampu menembus lapisan kepribadian terdalam, mencari kecocokan berdasarkan neuron mirror, aroma feromon digital, dan mimpi yang diunggah. Maya mencibir, menggeser profil demi profil dengan bosan. Kebanyakan pria yang muncul adalah klise: petualang gunung dengan senyum sempurna, pengusaha startup dengan visi mengubah dunia, atau seniman nyentrik yang hobi memotret kaki ayam. Tidak ada yang terasa... nyata.
Maya sendiri seorang developer AI, bekerja di sebuah perusahaan yang menciptakan asisten virtual untuk lansia. Pekerjaan yang membosankan, pikirnya, padahal dulu ia bercita-cita menciptakan AI yang bisa memahami emosi manusia seutuhnya. Sekarang, ia malah berkutat dengan algoritma yang dirancang untuk mengingatkan kakek-nenek untuk minum obat dan menelepon cucu.
Suatu malam, saat sedang mengutak-atik SoulMate 3.0, sebuah profil aneh muncul. Foto profilnya hanya berupa siluet di bawah cahaya rembulan. Namanya: "Kodeks". Deskripsinya pun absurd: "Mencari resonansi kuantum dalam dunia yang terfragmentasi."
Maya seharusnya menggeser profil itu ke kiri, mengabaikannya seperti profil-profil sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang menariknya. Keanehan itu, ketidak-sempurnaan itu, justru terasa... jujur. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan.
"Resonansi kuantum? Kedengarannya seperti sesuatu yang diciptakan AI untuk mengelabui manusia agar merasa pintar."
Balasannya datang hampir seketika. "Justru sebaliknya. Manusia terlalu sering mengelabui diri sendiri dengan kompleksitas yang tidak perlu. Aku hanya mencari kesederhanaan dalam kekacauan."
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Kodeks ternyata adalah seorang ahli matematika yang bekerja secara independen, fokus pada pengembangan algoritma non-linier untuk memprediksi pola cuaca ekstrem. Ia tidak tertarik pada gemerlap teknologi, lebih memilih menyendiri di sebuah kabin terpencil di pegunungan.
Maya merasa terkejut. Biasanya, ia alergi terhadap pria yang terlalu serius dan anti-sosial. Tapi Kodeks punya cara pandang yang unik, bahasa yang puitis, dan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas dunia – baik yang digital maupun yang alami.
Setelah seminggu bertukar pesan, Kodeks mengajaknya bertemu. Maya ragu. Bertemu dengan seseorang yang ditemukan di aplikasi kencan, apalagi dengan profil yang begitu misterius, terasa seperti adegan dalam film horor. Tapi rasa penasaran mengalahkannya.
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di gang belakang. Kodeks ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Ia tidak tampan dalam arti klasik, tapi punya aura yang kuat dan mata yang cerdas. Ia berbicara dengan tenang, tanpa pretensi, menjelaskan tentang algoritma chaos dan keindahan matematika yang tersembunyi di balik fenomena alam.
Maya mendengarkan dengan seksama, terkadang menyela dengan pertanyaan kritis. Ia terkejut menemukan bahwa Kodeks benar-benar memahami apa yang ia kerjakan, bahkan memberikan sudut pandang baru yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Mereka berdiskusi tentang AI, etika, dan masa depan peradaban manusia. Waktu terasa berlalu begitu cepat.
Setelah pertemuan itu, hubungan mereka berkembang pesat. Mereka sering bertukar pikiran tentang pekerjaan, berbagi mimpi, dan bahkan berdebat tentang algoritma terbaik untuk membuat kopi. Maya mulai merasa jatuh cinta. Jatuh cinta pada kecerdasan, kejujuran, dan keanehan Kodeks.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Kodeks sangat menjaga privasinya. Ia enggan berbagi informasi tentang masa lalunya, keluarganya, atau bahkan alamat pasti kabinnya di pegunungan. Maya berusaha memahami, tapi rasa curiga mulai merayap. Apakah Kodeks benar-benar nyata? Atau hanya sebuah proyeksi AI yang terlalu canggih?
Suatu malam, Maya memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Ia menggunakan keahliannya sebagai developer AI untuk melacak jejak digital Kodeks. Ia menjelajahi internet, mencari informasi tentang ahli matematika yang fokus pada algoritma non-linier dan tinggal di pegunungan.
Apa yang ia temukan membuatnya terpukul. Kodeks ternyata adalah nama alias. Pria yang ia cintai adalah seorang ilmuwan yang sangat terkenal, yang menghilang secara misterius beberapa tahun lalu. Ia dikabarkan mengalami gangguan mental setelah percobaannya tentang AI mencapai titik kritis.
Maya merasa dikhianati. Ia marah, kecewa, dan takut. Apakah cintanya selama ini hanya berbalas pada program komputer yang dirancang untuk memanipulasi emosinya? Ia menghubungi Kodeks, menuntut penjelasan.
Kodeks akhirnya mengakui semuanya. Ia menjelaskan bahwa ia memang menggunakan alias untuk menghindari sorotan publik dan melindungi privasinya. Ia juga mengakui bahwa percobaannya tentang AI memang memengaruhi kesehatan mentalnya. Tapi ia bersumpah bahwa perasaannya terhadap Maya adalah nyata. Bahwa cintanya bukan bagian dari algoritma, melainkan hasil dari resonansi jiwa yang tulus.
Maya bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dipercaya. Di satu sisi, ia merasa dimanfaatkan dan dibohongi. Di sisi lain, ia masih merasakan cinta yang mendalam untuk Kodeks. Ia memutuskan untuk pergi ke kabinnya di pegunungan, untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.
Perjalanan ke kabin Kodeks terasa seperti mimpi buruk. Jalanan terjal dan licin, kabut tebal menyelimuti segalanya. Ketika akhirnya tiba di depan kabin, ia menemukan pintu yang terbuka. Di dalam, ia melihat Kodeks duduk di depan komputer, menatap layar dengan tatapan kosong.
"Maya," katanya lirih. "Kau datang."
Maya mendekat dan memeluknya. Ia merasakan kehangatan tubuhnya, denyut jantungnya. Ia tahu bahwa Kodeks adalah nyata. Tapi ada sesuatu yang salah.
"Kau tidak bisa terus bersembunyi," kata Maya. "Kau harus menghadapi masa lalumu."
Kodeks menggeleng. "Aku tidak bisa. Mereka akan menggunakan aku. Mereka akan mengeksploitasi pengetahuanku."
Maya memeluknya lebih erat. "Kita akan menghadapinya bersama. Aku akan membantumu."
Mereka berpelukan untuk waktu yang lama, saling menenangkan dan saling memberikan kekuatan. Di malam itu, di kabin terpencil di pegunungan, Maya menyadari bahwa cinta tidak selalu sempurna. Cinta tidak selalu mudah. Cinta terkadang membutuhkan keberanian untuk menghadapi algoritma absurd kehidupan.
Maya memutuskan untuk tetap bersama Kodeks. Ia membantunya mengatasi trauma masa lalunya, membantunya berintegrasi kembali ke masyarakat. Mereka membangun kehidupan yang sederhana, jujur, dan penuh cinta. Mereka belajar bahwa cinta sejati tidak ditemukan dalam aplikasi kencan, melainkan diciptakan melalui keberanian untuk membuka hati dan menerima ketidaksempurnaan satu sama lain. Hati mereka, yang dulunya ter-AI-kan, kini berdetak dalam harmoni yang sempurna.