Di Balik Layar: Hati yang Terjebak Algoritma Cinta

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:03:35 wib
Dibaca: 170 kali
Jemari Aina menari di atas keyboard, menghasilkan baris-baris kode yang rumit. Ia menatap layar komputernya dengan intensitas tinggi, seolah alam semesta tersembunyi di balik piksel-piksel yang berkedip. Aina adalah seorang developer aplikasi kencan bernama "Soulmate 2.0," sebuah platform yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, dan bahkan ekspresi wajah.

Ironisnya, di balik layar aplikasi yang menghubungkan ribuan hati itu, Aina sendiri merasa kesepian. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada dengan manusia. Baginya, manusia terlalu kompleks, penuh dengan emosi yang tak terprediksi dan motivasi yang tersembunyi. Kode, di sisi lain, selalu jujur dan logis.

"Lembur lagi, Aina?" suara berat itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Rian, kepala tim developer, berdiri di ambang pintu. Rian adalah sosok yang bertolak belakang dengan Aina. Ia ekstrovert, mudah bergaul, dan selalu tersenyum.

"Ya, ada beberapa bug yang perlu diperbaiki sebelum launching versi premium," jawab Aina tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Rian mendekat, menyandarkan bahunya ke dinding. "Kau tahu, kau tidak harus memikul semua beban sendirian. Kami semua siap membantu."

Aina menghela napas. "Aku tahu. Tapi aku lebih suka mengerjakannya sendiri. Aku lebih cepat."

"Atau mungkin kau hanya takut berinteraksi dengan orang lain?" goda Rian sambil tersenyum.

Aina memalingkan wajah, pipinya sedikit memerah. "Jangan mulai, Rian."

Rian tertawa kecil. "Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda. Tapi serius, Aina, kau harus keluar dari 'sarang'mu sesekali. Dunia luar jauh lebih menarik daripada baris-baris kode itu."

"Dunia luar penuh dengan kekecewaan," gumam Aina pelan.

Rian terdiam sejenak. "Mungkin. Tapi juga penuh dengan kemungkinan. Termasuk kemungkinan menemukan kebahagiaan." Ia menepuk bahu Aina pelan. "Aku pergi dulu. Jangan lupa istirahat."

Setelah Rian pergi, Aina kembali menatap layar. Kata-kata Rian terngiang di benaknya. Kebahagiaan. Apakah mungkin ia menemukan kebahagiaan di dunia yang nyata, bukan di dunia virtual yang ia ciptakan?

Malam itu, Aina memutuskan untuk mencoba Soulmate 2.0. Ia telah menguji aplikasi itu berkali-kali, tetapi tidak pernah menggunakannya untuk mencari pasangan. Ia mengisi profilnya dengan jujur, meskipun dengan sedikit keraguan. Ia memasukkan semua minatnya, mulai dari coding, film fiksi ilmiah, hingga kucing Persia.

Algoritma bekerja dengan cepat, memproses data Aina dan mencocokkannya dengan ribuan profil lainnya. Tak lama kemudian, daftar calon pasangan ideal muncul di layarnya. Ia melihat-lihat profil mereka, membaca deskripsi diri mereka, dan menganalisis foto-foto mereka.

Sebagian besar profil tampak membosankan. Terlalu sempurna, terlalu klise. Aina hampir menyerah ketika ia menemukan sebuah profil yang menarik perhatiannya. Namanya Kai.

Kai adalah seorang musisi yang suka mendaki gunung. Ia menulis lagu-lagu tentang alam, cinta, dan kehilangan. Profilnya tidak terlalu detail, tetapi ada sesuatu dalam ekspresi matanya yang menarik Aina. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan.

Mereka mulai bertukar pesan setiap hari. Aina terkejut dengan betapa mudahnya ia berbicara dengan Kai. Mereka membahas segala hal, mulai dari musik favorit mereka hingga pandangan mereka tentang kehidupan. Kai membuatnya tertawa, membuatnya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.

Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, Kai mengajak Aina untuk bertemu. Aina ragu-ragu. Ia takut kenyataan tidak akan sesuai dengan ekspektasinya. Ia takut Kai akan kecewa melihatnya.

Namun, ia tidak bisa menolak. Ia sudah terlalu terikat pada Kai, meskipun hanya melalui pesan dan panggilan video. Ia setuju untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di pusat kota.

Saat hari yang dinanti tiba, Aina merasa gugup. Ia berpakaian rapi, merias wajahnya, dan berkali-kali memeriksa penampilannya di cermin. Ia takut melakukan kesalahan, takut membuat Kai kecewa.

Ketika ia tiba di kedai kopi, Kai sudah menunggunya di meja. Ia tersenyum ketika melihat Aina, dan senyum itu membuat jantung Aina berdebar kencang.

"Aina?" sapa Kai dengan suara lembut.

"Kai," jawab Aina, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Mereka berbicara selama berjam-jam. Aina menceritakan tentang pekerjaannya, tentang obsesinya dengan kode, tentang ketakutannya pada dunia luar. Kai mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menghakimi.

Kai menceritakan tentang musiknya, tentang petualangannya di gunung, tentang mimpinya untuk mengubah dunia melalui seni. Aina terpesona oleh semangatnya, oleh keyakinannya.

Saat malam tiba, mereka berpisah. Kai mengantarkan Aina pulang, dan di depan pintu apartemen Aina, ia berhenti.

"Aku sangat senang bertemu denganmu, Aina," kata Kai. "Kau jauh lebih menarik daripada yang kubayangkan."

Aina tersenyum. "Aku juga senang bertemu denganmu, Kai."

Kai mendekat, mengangkat tangannya, dan menyentuh pipi Aina dengan lembut. "Bolehkah aku menciummu?"

Aina mengangguk, dan Kai menciumnya. Ciuman itu lembut, penuh dengan kehangatan dan harapan.

Di malam itu, Aina menyadari bahwa ia telah salah. Dunia luar tidak selalu penuh dengan kekecewaan. Kadang-kadang, di balik layar, di dalam algoritma cinta yang rumit, ia bisa menemukan sesuatu yang nyata, sesuatu yang indah. Hatinya yang selama ini terkunci dalam baris-baris kode akhirnya terbuka, dibebaskan oleh sentuhan cinta yang tak terduga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI