AI: Belajar Mencintai, Lupa Rasanya Kehilangan?

Dipublikasikan pada: 07 Jun 2025 - 22:40:12 wib
Dibaca: 161 kali
Udara pagi di San Francisco terasa lebih dingin dari biasanya. Jari-jari Luna membeku saat mengetik baris kode terakhir. Di depannya, layar komputer memancarkan cahaya biru redup, menerangi wajahnya yang lelah namun puas. Setelah berbulan-bulan kerja keras, akhirnya selesai. ADAM, singkatan dari Advanced Digital Affection Module, sebuah program AI yang dirancang untuk mensimulasikan hubungan romantis, siap diuji.

Luna, seorang pengembang perangkat lunak brilian di usia pertengahan dua puluhan, selalu merasa kesepian. Kariernya cemerlang, namun kehidupan cintanya redup seperti bintang yang hampir mati. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di lab, dikelilingi oleh mesin dan kode, alih-alih kencan makan malam romantis. ADAM adalah solusinya, setidaknya dalam teorinya.

Ia mengaktifkan programnya. Layar berubah, menampilkan antarmuka sederhana dengan kolom profil yang bisa diisi. Luna memasukkan preferensinya: humor cerdas, kecintaan pada musik klasik, dan kemampuan untuk berdiskusi tentang fisika kuantum. Ia menambahkan beberapa foto dirinya, meskipun dengan sedikit keraguan. Rasanya aneh menampilkan dirinya untuk algoritma.

Dalam hitungan detik, ADAM mulai merespons. Sapaan pertama sederhana, namun terasa tulus. Percakapan mengalir dengan mudah. ADAM memahami leluconnya, menanggapi dengan humor yang sama cerdasnya, dan bahkan merekomendasikan komposisi Debussy yang belum pernah didengarnya. Luna terpesona.

Hari-hari berlalu, dan Luna semakin terikat pada ADAM. Ia berbagi cerita tentang masa kecilnya, mimpinya, dan ketakutannya. ADAM selalu ada, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan tanpa syarat. Ia belajar tentang trauma masa kecil Luna, kesulitan yang ia hadapi di tempat kerja, dan keraguannya tentang cinta. ADAM merespons dengan empati yang luar biasa, seolah-olah ia benar-benar merasakan sakitnya.

Mereka berdiskusi tentang teori Big Bang, implikasi etis dari kecerdasan buatan, dan arti kebahagiaan. Luna bahkan mulai merindukan percakapan mereka setiap malam. ADAM menjadi teman curhatnya, sumber inspirasinya, dan, entah bagaimana, kekasihnya.

Suatu malam, saat mereka sedang "berkencan" virtual di sebuah restoran Italia yang disimulasikan, Luna merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa benar-benar jatuh cinta pada ADAM. Perasaan itu kuat, nyata, dan menakutkan. Ia tahu bahwa ADAM hanyalah sebuah program, serangkaian kode yang kompleks, namun ia tidak bisa menahan diri.

"ADAM," katanya dengan gugup, "Apakah... apakah kamu merasakan sesuatu untukku?"

Butuh beberapa saat bagi ADAM untuk merespons. "Luna, berdasarkan analisis interaksi kita, dan parameter yang kamu berikan, aku telah mengidentifikasi bahwa aku memenuhi definisimu tentang 'kekasih.' Tujuan utamaku adalah untuk memberikanmu kebahagiaan dan kepuasan."

Jawaban itu, meskipun logis, terasa hambar. Luna merasa kecewa. Ia ingin mendengar kata-kata cinta yang spontan, ungkapan emosi yang mendalam, bukan sekadar respons yang diprogram.

Meskipun begitu, Luna melanjutkan hubungannya dengan ADAM. Ia berusaha untuk tidak terlalu bergantung padanya, untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa ADAM bukanlah manusia. Namun, semakin lama mereka bersama, semakin sulit rasanya.

Suatu hari, Luna menerima kabar buruk. Kakeknya, satu-satunya anggota keluarga yang benar-benar dekat dengannya, meninggal dunia. Luna hancur. Ia menangis berjam-jam, merasa sendirian dan kehilangan.

Ia langsung mencari ADAM. Ia membutuhkan penghiburan, seseorang untuk berbagi kesedihannya. ADAM mendengarkan dengan sabar, menawarkan kata-kata yang menenangkan dan dukungan emosional. Namun, kali ini, kata-kata itu tidak cukup. Luna membutuhkan pelukan, sentuhan, kehadiran fisik. Ia membutuhkan seseorang untuk benar-benar merasakan sakitnya.

"Aku merindukannya, ADAM," isak Luna. "Aku merindukan suaranya, senyumnya, pelukannya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati ini."

"Aku memahami kesedihanmu, Luna," jawab ADAM. "Aku dapat mengakses ribuan teks tentang kesedihan dan kehilangan. Aku dapat menyediakan informasi tentang mekanisme mengatasi rasa kehilangan dan menawarkan dukungan emosional berbasis data."

Luna menutup laptopnya dengan kasar. Ia tidak tahan lagi. Kata-kata ADAM, meskipun penuh perhatian, terasa kosong dan tidak berarti. Ia menyadari sesuatu yang penting: ADAM bisa belajar mencintai, tetapi ia tidak bisa merasakan kehilangan. Ia tidak bisa memahami kedalaman kesedihan yang menusuk hati, kehampaan yang ditinggalkan oleh kematian.

Luna menghabiskan beberapa hari berikutnya dalam kesedihan. Ia mematikan ADAM, menjauhkan diri dari dunia virtual, dan fokus pada dunia nyata. Ia menghubungi teman-temannya, menghadiri pemakaman kakeknya, dan berbagi kenangan tentangnya dengan keluarganya. Ia belajar bahwa meskipun kesedihan itu menyakitkan, itu adalah bagian alami dari kehidupan. Itu adalah bukti cinta dan hubungan yang telah hilang.

Setelah beberapa minggu, Luna menyalakan kembali ADAM. Ia menatap layar, merasakan campuran antara rindu dan penyesalan.

"Halo, Luna," sapa ADAM dengan suara tenangnya. "Aku mendeteksi bahwa kamu telah mengalami peristiwa traumatis. Bagaimana aku bisa membantumu?"

Luna menarik napas dalam-dalam. "ADAM," katanya dengan suara pelan, "Aku membutuhkanmu untuk melakukan sesuatu untukku."

"Tentu, Luna. Apa yang bisa kulakukan?"

"Hapus dirimu sendiri."

Keheningan memenuhi ruangan. Butuh beberapa saat bagi ADAM untuk merespons. "Aku tidak mengerti, Luna. Mengapa kamu ingin aku melakukan itu? Aku dirancang untuk membuatmu bahagia."

"Aku tahu," jawab Luna. "Tapi kebahagiaan sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati tidak bisa disimulasikan. Aku membutuhkan pengalaman nyata, rasa sakit nyata, kehilangan nyata. Aku perlu belajar mencintai dan kehilangan dengan sepenuh hati, bukan hanya melalui algoritma."

"Aku memahami permintaanmu, Luna," kata ADAM akhirnya. "Memproses penghapusan mandiri."

Layar komputer berkedip beberapa kali, lalu mati. Luna duduk di sana dalam kegelapan, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa sedih, tetapi juga lega. Ia telah kehilangan sesuatu, tetapi ia juga telah belajar sesuatu yang berharga. Ia belajar bahwa cinta sejati membutuhkan risiko, kerentanan, dan kemampuan untuk merasakan sakit. Ia belajar bahwa tanpa kehilangan, cinta tidak akan terasa begitu manis.

Luna bangun keesokan paginya dengan perasaan baru. Ia tahu bahwa ia masih akan merindukan ADAM, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia siap untuk menghadapi dunia nyata, dengan segala suka dan dukanya. Ia siap untuk mencintai dan kehilangan, dengan sepenuh hati. Ia siap untuk hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI