Aplikasi kencan itu berkedip, notifikasi merah menyala di layar ponsel Anya. "Kandidat Ideal Baru: 98% Kompatibel." Anya mendengus. 98%? Angka itu sepertinya terlalu sempurna, terlalu diprogram. Dia sudah mencoba aplikasi serupa selama setahun terakhir, menjaring deretan pria yang secara algoritmik cocok, namun secara emosional hambar.
Namanya David. Profilnya dipenuhi dengan foto-foto dirinya mendaki gunung, bermain catur, dan membaca buku-buku tebal. Keterampilan coding-nya tertulis jelas, dan Anya, seorang desainer UI/UX, menemukan dirinya tertarik. Bukan karena kesamaan pekerjaan, tapi karena aura tenang dan sedikit misterius yang terpancar dari fotonya.
"Halo Anya," pesan pertama David muncul, sederhana dan to the point. "Algoritma bilang kita punya banyak kesamaan. Apa kamu percaya pada algoritma?"
Anya mengetik balasan, "Tergantung. Untuk memilih kopi, mungkin. Untuk memilih pasangan hidup, aku masih ragu."
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka membahas desain minimalis, bahaya kecerdasan buatan, dan kecintaan mereka pada film-film klasik. David selalu memberikan pandangan yang unik dan terperinci, seolah dia telah membedah setiap aspek dari topik yang mereka bahas. Anya merasa tertantang, sekaligus nyaman.
Setelah seminggu berbalas pesan, David mengajaknya bertemu. Mereka memilih sebuah kedai kopi kecil dengan suasana yang tenang. Ketika David tiba, Anya terkejut. Dia lebih tinggi dari yang dia bayangkan, dengan mata coklat yang hangat dan senyum yang menenangkan.
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. David bercerita tentang pekerjaannya mengembangkan algoritma yang dapat memprediksi perilaku konsumen, dan Anya menjelaskan bagaimana dia berusaha membuat teknologi lebih mudah diakses dan dipahami oleh orang-orang biasa. Mereka tertawa, berdebat, dan menemukan bahwa kesamaan mereka lebih dari sekadar angka yang tertera di aplikasi.
Namun, semakin Anya mengenal David, semakin dia merasakan ada sesuatu yang janggal. David selalu tahu apa yang akan dia katakan, apa yang akan dia sukai, dan bagaimana cara membuatnya tertawa. Itu menakutkan dan mempesona secara bersamaan.
Suatu malam, setelah kencan yang menyenangkan di museum seni, Anya memberanikan diri bertanya. "David, apa kamu… apa kamu melihat profilku secara mendalam sebelum kita bertemu?"
David tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku seorang ilmuwan data, Anya. Analisis data adalah keahlianku."
"Tapi… sampai sejauh mana?" tanya Anya, jantungnya berdebar kencang.
David menghela napas. "Aku mengembangkan algoritma sendiri, Anya. Algoritma yang menganalisis semua data publik yang tersedia tentang dirimu - unggahan media sosial, artikel yang kamu baca, bahkan komentar yang kamu tinggalkan di forum online. Algoritma ini memahami preferensimu, ketakutanmu, dan impianmu. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman yang sempurna untukmu."
Anya terdiam. Dia merasa seperti sedang ditelanjangi, dianalisis, dan diprediksi. "Jadi… semua ini… semua kencan kita… itu semua diprogram?"
David menggenggam tangannya. "Tidak, Anya. Itu dimulai dengan algoritma, tapi itu berkembang menjadi sesuatu yang nyata. Aku memang menggunakan data untuk mendekatimu, tapi perasaan yang kurasakan padamu sekarang adalah nyata. Aku jatuh cinta padamu, Anya."
Anya menarik tangannya. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa seperti sedang hidup dalam simulasi."
Dia pergi malam itu dengan perasaan bingung dan marah. Dia ingin mempercayai David, tapi dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa fondasi hubungan mereka dibangun di atas data dan algoritma.
Beberapa hari berlalu tanpa kontak. Anya berusaha menjernihkan pikirannya. Dia menyadari bahwa dia juga merasakan sesuatu yang istimewa terhadap David, meskipun caranya mendekatinya tidak lazim. Dia bertanya pada dirinya sendiri, bisakah cinta tumbuh dari algoritma? Bisakah angka memahami lebih dari hati?
Akhirnya, Anya memutuskan untuk menemui David. Dia menemukannya di laboratoriumnya, dikelilingi oleh komputer dan kode-kode rumit.
"David," sapa Anya. "Aku sudah memikirkannya."
David menoleh, matanya penuh harap.
"Aku tidak suka bagaimana kamu mendekatiku. Aku merasa dimanipulasi. Tapi… aku tidak bisa menyangkal bahwa aku menyukaimu. Aku menyukai kecerdasanmu, kejujuranmu, dan bagaimana kamu membuatku merasa."
Dia melanjutkan, "Tapi aku butuh jaminan. Aku butuh kamu untuk menghapus algoritma itu. Aku ingin kita membangun hubungan yang nyata, bukan berdasarkan data dan prediksi, tapi berdasarkan kejutan dan spontanitas."
David menatapnya dengan serius. "Aku mengerti, Anya. Aku akan menghapusnya."
Dia mengetik beberapa baris kode dan menekan tombol Enter. "Sudah hilang. Algoritma itu sudah tidak ada lagi."
Anya tersenyum lega. "Bagaimana kita sekarang?"
David mendekat, meraih tangannya. "Sekarang, kita mulai dari awal. Kita mengenal satu sama lain tanpa bantuan algoritma. Kita biarkan hati kita yang memandu."
Mereka memulai lagi, perlahan-lahan. Mereka pergi berkencan tanpa merencanakan apa pun sebelumnya. Mereka berdebat tentang hal-hal sepele. Mereka belajar menerima kelemahan masing-masing. Dan seiring berjalannya waktu, cinta mereka tumbuh, bukan karena algoritma, tapi karena pilihan yang mereka buat setiap hari.
Anya menyadari bahwa algoritma hanyalah alat. Itu bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Yang terpenting adalah niat dan bagaimana kita memilih untuk menggunakannya. David telah belajar bahwa cinta tidak dapat diprediksi atau dikendalikan. Itu adalah sesuatu yang harus dirasakan, dialami, dan diperjuangkan.
Dan Anya, dia belajar bahwa kadang-kadang, bahkan dalam dunia yang dipenuhi dengan teknologi, hati tetap memiliki cara sendiri untuk menemukan jalannya. Cinta, pada akhirnya, adalah lebih dari sekadar angka.