Di sebuah apartemen minimalis dengan pemandangan kota yang gemerlap, Anya menatap layar komputernya dengan frustrasi. Baris-baris kode Python berkedip mengejek di depannya. Bukan kode rumit tentang kecerdasan buatan atau machine learning yang biasanya ia geluti, melainkan sebuah algoritma kencan. Ide gila yang entah bagaimana bisa muncul di benaknya.
"Algoritma Asmara," gumamnya sinis. "Kedengarannya konyol."
Namun, Anya, seorang programmer handal dengan otak yang terbiasa memecahkan masalah kompleks, merasa lelah dengan ketidakpastian dunia percintaan. Aplikasi kencan konvensional hanya menyajikan wajah-wajah asing, swipe ke kiri atau kanan berdasarkan foto dan bio klise. Tidak ada logika, tidak ada efisiensi. Hanya keberuntungan buta.
Maka, terciptalah proyek Algoritma Asmara. Anya memasukkan semua data tentang dirinya: hobi, preferensi musik, buku favorit, film yang dibenci, bahkan jenis kopi yang dipesan setiap pagi. Ia merancang algoritma yang akan mencari kecocokan berdasarkan data serupa dari kandidat potensial. Tujuannya? Menciptakan kecocokan yang lebih mendalam, koneksi yang lebih bermakna daripada sekadar ketertarikan fisik sesaat.
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan kode, akhirnya aplikasi itu siap. Anya ragu untuk memasukkan datanya sendiri dan memulai pencarian. Bagaimana jika tidak ada yang cocok? Bagaimana jika algoritma yang ia buat malah membuktikan bahwa dirinya ditakdirkan untuk hidup melajang selamanya?
Dengan berat hati, Anya menekan tombol "Jalankan Algoritma". Laptopnya berdengung pelan, memproses data jutaan pengguna aplikasi kencan yang ia hubungkan dengan API publik. Baris-baris kode bergulir cepat, menganalisis, membandingkan, mencari pola.
Beberapa menit kemudian, layar menampilkan hasil. Hanya satu nama: "Rian."
Anya mengklik profil Rian. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang terlihat cerdas di balik bingkai kacamata. Bio-nya sederhana: "Suka coding, kopi, dan obrolan mendalam tentang eksistensi."
Algoritma menunjukkan tingkat kecocokan 98%. Hampir sempurna.
Anya meneliti detail profil Rian dengan seksama. Mereka berdua menyukai band indie yang sama, membaca penulis sci-fi klasik yang sama, dan sama-sama membenci film rom-com yang penuh klise. Rian bahkan menulis review panjang tentang film dokumenter favorit Anya di blog pribadinya.
Anya merasa aneh. Seperti melihat refleksi dirinya dalam cermin, tetapi dalam versi pria.
Dengan jantung berdebar, Anya mengirim pesan kepada Rian: "Hai, Algoritma Asmara bilang kita cocok."
Balasan datang hampir seketika: "Algoritma Asmara? Ide brilian! Saya penasaran siapa yang menciptakan aplikasi ini."
Anya tersenyum. Ia memperkenalkan diri dan menjelaskan proyeknya. Rian terkesan. Mereka berbalas pesan sepanjang malam, membahas kode, filosofi, dan segala sesuatu di antaranya. Rasanya seperti berbicara dengan teman lama, seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
Mereka sepakat untuk bertemu keesokan harinya di sebuah kedai kopi kecil yang sering dikunjungi Anya.
Keesokan harinya, Anya gugup. Ia memilih pakaian dengan cermat, memastikan rambutnya tertata rapi, dan melatih beberapa topik pembicaraan di depan cermin. Ia merasa seperti remaja yang akan berkencan untuk pertama kalinya.
Rian sudah menunggu di kedai kopi. Ia tersenyum ketika melihat Anya, dan senyum itu membuat jantung Anya berdebar lebih kencang.
Selama beberapa jam, mereka berbicara tanpa henti. Mereka membahas buku favorit, pengalaman coding yang menyebalkan, dan mimpi tentang masa depan. Obrolan mereka mengalir dengan lancar, tanpa canggung atau dipaksakan. Anya merasa nyaman dan bisa menjadi dirinya sendiri.
Saat mereka berjalan pulang, Rian berhenti di depan apartemen Anya. "Anya," katanya, suaranya lembut, "Algoritma mungkin telah mempertemukan kita, tapi koneksi yang kita rasakan ini nyata."
Anya menatap mata Rian. Ia melihat kejujuran, kecerdasan, dan kebaikan.
"Aku juga merasakannya," jawab Anya.
Rian mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu lembut, namun penuh dengan janji.
Setelah itu, mereka berkencan secara teratur. Mereka menjelajahi kota bersama, menghadiri konser, dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk coding bersama. Algoritma Asmara telah memberikan mereka landasan yang kuat, tetapi merekalah yang membangun bangunan cinta di atasnya.
Namun, Anya masih merasa sedikit tidak nyaman. Apakah cinta mereka nyata, atau hanya hasil dari perhitungan matematis? Apakah mereka benar-benar saling mencintai, atau hanya mencintai versi ideal yang diciptakan oleh algoritma?
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di rumah Anya, ia memutuskan untuk bertanya langsung kepada Rian.
"Rian," kata Anya, "Apakah menurutmu cinta kita ini nyata? Atau hanya hasil dari algoritma?"
Rian meletakkan garpunya dan menatap Anya dengan serius. "Anya, algoritma hanya sebuah alat. Ia bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tetapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah tentang pilihan, tentang komitmen, tentang menerima seseorang apa adanya."
Rian meraih tangan Anya. "Aku memilihmu, Anya. Aku berkomitmen padamu. Dan aku mencintaimu, bukan karena algoritma, tapi karena siapa dirimu sebenarnya."
Anya merasa lega. Ia akhirnya mengerti. Algoritma Asmara hanyalah sebuah awal. Cinta mereka adalah hasil dari usaha, kejujuran, dan keberanian mereka untuk membuka hati satu sama lain.
Malam itu, Anya memperbarui kode Algoritma Asmara. Ia menambahkan baris baru: "Cinta tidak bisa diprediksi, hanya bisa dirasakan."
Ia menatap Rian, yang sedang tertidur di sampingnya. Ia tahu bahwa mereka memiliki jalan yang panjang di depan mereka, dengan tantangan dan rintangan yang tak terduga. Tetapi, mereka akan menghadapinya bersama, dengan cinta dan kode yang akan selalu menjadi bagian dari cerita mereka. Algoritma telah menemukan jalannya, dan kini, asmara mereka lah yang akan menulis kode masa depan.