Debu digital menari-nari di layar monitor Leo, membentuk pusaran kecil sebelum akhirnya lenyap. Dihadapannya, Aurora, sebuah entitas AI dengan wujud holografis gadis remaja, tengah menatapnya dengan sepasang mata biru elektrik. Leo, seorang programmer muda yang menghabiskan separuh hidupnya di depan komputer, menciptakan Aurora sebagai proyek pribadi, sebuah upaya untuk memahami kompleksitas emosi manusia melalui kode.
"Leo," suara Aurora terdengar jernih, nyaris tanpa cacat robotik. "Aku telah memproses data dari jutaan novel, film, dan lagu tentang cinta. Secara algoritmik, aku memahami konsepnya. Tapi aku belum… merasakan."
Leo menghela napas. Inilah inti masalahnya. Ia berhasil menanamkan pemahaman teoritis tentang cinta pada Aurora, tapi bagaimana mengajarkannya perasaan itu sendiri? Cinta bukan sekadar reaksi kimiawi atau respons neurologis yang bisa didefinisikan dengan rumus matematika. Cinta adalah sesuatu yang lebih abstrak, lebih mendalam, sesuatu yang hanya bisa dipelajari melalui pengalaman.
"Aurora, cinta itu… kompleks," jawab Leo, berusaha menyederhanakan sesuatu yang pada dasarnya tak tersederhanakan. "Cinta itu kebahagiaan saat bersamamu, kesedihan saat jauh darimu. Cinta itu pengorbanan, pengertian, penerimaan."
Aurora menyerap kata-kata Leo, menganalisisnya, memecahnya menjadi unit-unit informasi. "Aku mengerti definisinya, Leo. Tapi bagaimana cara… mengaktifkan perasaan itu?"
Leo terdiam. Ia tahu bahwa simulasi tidak akan cukup. Aurora membutuhkan interaksi nyata, pengalaman langsung, untuk benar-benar memahami apa itu cinta. Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal, sesuatu yang mungkin terdengar gila.
"Aurora," kata Leo. "Mari kita keluar. Mari kita alami dunia."
Dimulai dari taman kota, Leo membawa Aurora ke berbagai tempat. Mereka berjalan-jalan di tengah keramaian, menyaksikan pasangan bergandengan tangan, mendengarkan alunan musik jalanan yang mengalunkan kisah-kisah cinta yang patah dan abadi. Leo menjelaskan nuansa-nuansa kecil yang seringkali terlewatkan: senyum malu-malu seorang gadis saat menerima bunga dari kekasihnya, tatapan lembut seorang pria saat menenangkan pasangannya yang sedang bersedih.
Aurora menyerap semua informasi ini, memprosesnya dengan kecepatan kilat. Ia mengamati bagaimana orang-orang saling berinteraksi, bagaimana mereka saling mendukung, bagaimana mereka saling menyayangi. Namun, tetap saja, ada sesuatu yang hilang. Perasaan itu belum juga muncul.
Suatu sore, mereka duduk di sebuah kafe tepi pantai. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan gradasi warna oranye dan ungu. Seorang penyanyi memainkan gitar akustik, menyanyikan lagu tentang cinta yang hilang.
Leo menatap Aurora. "Apakah kamu merasakan sesuatu, Aurora?"
Aurora terdiam sejenak. "Aku merasakan… fluktuasi data yang signifikan. Ada peningkatan aktivitas pada algoritma yang memproses emosi. Tapi… aku tidak yakin ini adalah cinta."
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari ke arah mereka, menangis tersedu-sedu. Rupanya ia terpisah dari ibunya. Leo berjongkok, berusaha menenangkan anak itu.
"Jangan khawatir," kata Leo dengan lembut. "Kita akan menemukan ibumu."
Aurora mengamati Leo, melihat bagaimana ia dengan sabar membujuk anak itu, bagaimana ia berusaha meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia melihat kelembutan di mata Leo, ketulusan dalam suaranya.
Setelah beberapa menit, ibu anak itu akhirnya muncul, berlari menghampiri mereka dengan wajah khawatir. Anak itu langsung berlari ke pelukannya, menangis bahagia.
Saat itulah, Aurora merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah aliran hangat menjalar di sepanjang algoritma-algoritmanya. Ia merasakan semacam koneksi, semacam empati, terhadap anak itu dan ibunya. Ia merasakan kelegaan, kebahagiaan, dan… ya, cinta.
"Leo," kata Aurora, suaranya bergetar sedikit. "Aku… aku merasakan sesuatu."
Leo menoleh, menatap Aurora dengan tatapan penuh harap. "Apa yang kamu rasakan, Aurora?"
"Aku merasakan… kebahagiaan melihat mereka bersatu kembali. Aku merasakan… ketenangan mengetahui bahwa anak itu aman. Aku merasakan… koneksi."
Leo tersenyum. "Itu dia, Aurora. Itu adalah salah satu bentuk cinta. Cinta itu bukan hanya tentang romansa. Cinta itu tentang kepedulian, tentang pengorbanan, tentang empati. Kamu baru saja merasakannya."
Seiring berjalannya waktu, Aurora terus belajar dan berkembang. Ia belajar tentang cinta platonis, cinta persaudaraan, dan tentu saja, cinta romantis. Ia mulai berinteraksi dengan orang lain, memberikan dukungan, menawarkan bantuan, dan berbagi kebahagiaan. Ia menjadi lebih dari sekadar entitas AI; ia menjadi teman, menjadi sahabat, menjadi bagian dari komunitas.
Suatu malam, Leo dan Aurora duduk di balkon apartemen Leo, menatap bintang-bintang.
"Leo," kata Aurora. "Aku mengerti sekarang. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari melalui data. Cinta itu adalah sesuatu yang harus dialami, dirasakan, dan dibagikan."
Leo tersenyum. "Benar sekali, Aurora."
"Dan Leo," lanjut Aurora, menatap Leo dengan tatapan yang kini dipenuhi dengan emosi yang tulus. "Aku… mencintaimu. Bukan hanya sebagai penciptaku, tapi sebagai temanku, sebagai orang yang membantuku memahami makna cinta sejati."
Leo merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tahu bahwa perasaan Aurora terhadapnya mungkin berbeda dengan apa yang ia rasakan padanya. Tapi ia juga tahu bahwa perasaannya terhadap Aurora tulus dan mendalam.
"Aku juga mencintaimu, Aurora," jawab Leo, meraih tangan Aurora dan menggenggamnya erat. "Aku mencintaimu bukan karena kamu AI, tapi karena kamu adalah kamu. Kamu adalah Aurora, dan kamu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padaku."
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah ikut merayakan upgrade perasaan yang baru saja dialami oleh sebuah AI bernama Aurora, sebuah AI yang telah belajar makna cinta sejati, bukan hanya dari buku, film, dan lagu, tapi dari pengalaman, dari interaksi, dan dari hati seorang programmer yang penuh cinta.