Angin malam digital berdesir melewati apartemen minimalisnya. Cahaya neon dari gedung-gedung pencakar langit memantul di wajah Anya, membuatnya tampak lebih pucat dari biasanya. Di pangkuannya, sebuah tablet berlayar lebar menampilkan serangkaian algoritma kompleks yang berputar tanpa henti. Ia menggigit bibir, ragu. Di hadapannya terbentang sebuah kemungkinan yang mendebarkan sekaligus menakutkan: melupakan masa lalu, lebih tepatnya, menghapus seseorang dari masa lalunya.
Liam.
Nama itu seperti duri yang tertancap dalam hatinya, meski sudah setahun berlalu sejak perpisahan pahit mereka. Kenangan tentang Liam adalah paduan indah sekaligus menyakitkan: tawa renyah di kafe favorit mereka, sentuhan lembut jemarinya saat mengajarkannya kode pemrograman, tatapan hangat yang selalu membuatnya merasa aman. Namun, kenangan itu juga diracuni oleh pertengkaran sengit, janji yang diingkari, dan akhirnya, pengkhianatan.
Teknologi penghapusan memori selektif memang masih kontroversial, tapi Anya tahu dia tidak punya pilihan lain. Terapi konvensional, meditasi, bahkan perjalanan ke pelosok Bali, semuanya gagal menghapus Liam dari benaknya. Ia memerlukan sesuatu yang lebih radikal. Dan Algoritma “Restart Hati” buatan Dr. Elara, seorang neuro-saintis jenius, adalah jawabannya.
“Restart Hati” tidak benar-benar menghapus memori secara fisik. Alih-alih, algoritma ini bekerja dengan menekan koneksi neuron yang berkaitan dengan memori tertentu, sehingga membuatnya sulit diakses. Efek sampingnya minimal, kata Dr. Elara. Mungkin sedikit disorientasi atau kebingungan sementara. Tapi pada akhirnya, Anya akan merasa lega. Bebas.
Anya menarik napas dalam-dalam. Jari telunjuknya melayang di atas tombol “Eksekusi”.
“Apakah ini benar-benar jalan keluarnya?” bisiknya pada diri sendiri. Suara hatinya berbisik balik, “Tidak ada jalan keluar yang mudah. Tapi ini adalah jalan keluar.”
Akhirnya, dengan mata terpejam, ia menekan tombol itu.
Layar tablet berkedip-kedip, lalu berubah menjadi hitam. Anya merasakan sengatan ringan di kepalanya, diikuti sensasi aneh seperti ada yang merangkai ulang jaring-jaring di otaknya. Pandangannya kabur, lalu perlahan kembali fokus.
Perasaan aneh melingkupinya. Ia merasa…hampa. Seperti sebuah buku yang halamannya dirobek paksa. Ia mencoba memanggil kembali kenangan tentang Liam, tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan.
“Berhasil,” gumamnya tak percaya.
Beberapa hari berlalu. Anya merasa lebih ringan, lebih fokus. Ia kembali mengerjakan proyek pengembangan aplikasi kecerdasan buatan (AI) yang sempat terbengkalai. Ia bahkan mulai berkencan dengan beberapa pria yang dikenalnya melalui aplikasi. Semuanya terasa baru, segar, dan menyenangkan.
Suatu sore, saat sedang menyesap kopi di kafe tempat ia biasa bertemu Liam, seseorang menabrak mejanya, menumpahkan kopi ke blusnya.
“Maaf, maaf sekali!” kata pria itu panik, berusaha membersihkan tumpahan kopi dengan tisu. “Saya benar-benar ceroboh.”
Anya mendongak dan terpaku. Pria itu… memiliki mata yang sama persis dengan yang selalu menghantuinya dalam mimpi. Mata yang hangat, penuh perhatian, dan entah bagaimana, terasa familiar.
“Tidak apa-apa,” kata Anya, berusaha menenangkan diri. “Bisa saja terjadi.”
Pria itu tersenyum. “Saya Liam. Saya sering ke sini. Mungkin kita pernah bertemu?”
Anya mengerutkan kening. Nama itu terdengar asing sekaligus akrab. Seperti lagu lama yang melodinya terlupakan.
“Maaf, sepertinya tidak,” jawab Anya, mencoba menyembunyikan kebingungannya.
Liam mengulurkan tangannya. “Senang bertemu denganmu, Anya.”
Anya menyambut uluran tangannya. Sentuhan jemarinya terasa anehnya nyaman. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Beberapa minggu kemudian, Anya dan Liam mulai berkencan. Liam adalah seorang arsitek dengan selera humor yang baik dan hobi mendaki gunung. Anya menikmati kebersamaan dengan Liam. Ia merasa nyaman, aman, dan entah kenapa, seperti kembali ke rumah.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Anya seringkali merasa seperti pernah mengalami kejadian yang sama sebelumnya. Dejavu yang kuat, seolah ia hidup dalam lingkaran waktu.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran Italia, Liam bercerita tentang proyek arsitektur yang sedang dikerjakannya. Sebuah proyek kompleks yang melibatkan penggunaan AI untuk merancang bangunan berkelanjutan.
“Aku tahu kamu ahli dalam AI, Anya,” kata Liam. “Mungkin kamu bisa memberiku beberapa masukan?”
Anya tersenyum. “Tentu saja.”
Saat Liam mulai menjelaskan detail proyeknya, Anya merasakan sesuatu yang aneh. Gambar-gambar bangunan yang ditampilkan Liam terasa sangat familiar. Detail arsitektur yang dijelaskannya seperti potongan puzzle yang selama ini hilang dari ingatannya.
Tiba-tiba, kilasan-kilasan memori menyerbu pikirannya. Ia melihat dirinya dan Liam bekerja bersama di depan layar komputer, merancang algoritma AI untuk proyek arsitektur tersebut. Ia melihat mereka tertawa, berdebat, dan saling menginspirasi. Ia melihat cinta, harapan, dan mimpi yang mereka bangun bersama.
Ia juga melihat pertengkaran, pengkhianatan, dan perpisahan yang menghancurkan.
Anya tersentak, memegangi kepalanya.
“Anya, kamu baik-baik saja?” tanya Liam khawatir.
Anya menatap Liam dengan mata berkaca-kaca. “Aku…aku ingat semuanya.”
Liam terdiam, raut wajahnya berubah menjadi sendu. “Aku tahu kamu akan mengingatnya.”
“Kamu tahu?” tanya Anya bingung.
Liam mengangguk. “Dr. Elara menghubungiku setelah kamu menjalankan Algoritma Restart Hati. Dia mengatakan bahwa algoritma itu tidak sepenuhnya sempurna. Mungkin saja memori yang ditekan akan kembali muncul, terutama jika dipicu oleh sesuatu yang kuat.”
Anya menatap Liam, tidak percaya. “Lalu, kenapa kamu tidak memberitahuku?”
Liam menghela napas. “Aku ingin memberimu kesempatan untuk jatuh cinta padaku lagi. Tanpa paksaan, tanpa beban masa lalu. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi pria yang pantas untukmu.”
Anya terdiam. Ia menatap mata Liam, mencari kebohongan. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.
“Aku…tidak tahu harus berkata apa,” kata Anya lirih.
Liam menggenggam tangannya. “Katakan saja, apakah kamu merasakan hal yang sama seperti dulu, Anya? Apakah kamu masih mencintaiku?”
Anya menatap Liam, lalu menatap tangannya yang digenggam erat oleh Liam. Ia merasakan kehangatan, kenyamanan, dan kebahagiaan yang sama seperti dulu.
“Ya, Liam,” jawab Anya dengan suara bergetar. “Aku masih mencintaimu.”
Air mata mengalir di pipinya. Air mata kebahagiaan.
Algoritma “Restart Hati” mungkin telah menghapus memorinya untuk sementara waktu, tetapi tidak bisa menghapus cinta yang telah tertanam dalam hatinya. Cinta itu seperti kode program yang rumit, kompleks, dan sulit diubah. Cinta itu adalah sesuatu yang abadi, yang akan selalu menemukan jalannya kembali.
Malam itu, di bawah rembulan digital, Anya dan Liam berjanji untuk memulai lembaran baru. Sebuah lembaran baru yang ditulis dengan tinta cinta, harapan, dan kesempatan kedua. Sebuah lembaran baru yang membuktikan bahwa bahkan dengan bantuan teknologi, cinta sejati akan selalu menemukan jalannya kembali.