Hujan virtual membasahi jendela apartemen Maya. Di balik lapisan kaca, kota metropolitan gemerlap tampak redup, serupa dengan perasaannya saat ini. Tiga bulan lalu, Maya, seorang programmer jenius di usia dua puluh lima tahun, meluncurkan “SoulMate Algorithm”, aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan 99,9%. Ironic, pikirnya, menciptakan algoritma cinta sementara hatinya sendiri terasa hampa.
“Laporkan hasil evaluasi,” suara datar terdengar dari speaker laptopnya. Itu Leo, mentor sekaligus investor utama SoulMate.
Maya menghela napas. “Data pengguna terus meningkat, Leo. Umpan balik menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi. Pasangan yang dihasilkan algoritma cenderung memiliki kesamaan nilai, hobi, dan tujuan hidup.”
“Tingkat perceraian?” tanya Leo tanpa basa-basi.
“Terlalu dini untuk data itu, Leo. Tapi dari survei awal, mayoritas merasa lebih bahagia dan terhubung dengan pasangan pilihan algoritma.”
Leo terdiam sejenak. “Bagus. Terus pantau. Dan Maya…”
“Ya?”
“Jangan terlalu larut dalam pekerjaanmu. Ingat, kau juga pantas bahagia.” Sambungan terputus.
Kata-kata Leo menggantung di udara. Maya memandang pantulan dirinya di layar laptop. Rambutnya diikat asal, lingkaran hitam menghiasi bawah mata, dan bibirnya pucat. Bahagia? Rasanya seperti konsep asing.
SoulMate lahir dari rasa frustrasinya sendiri. Setelah berkali-kali dikecewakan cinta, Maya yakin, emosi manusia terlalu rumit dan irasional untuk dijadikan dasar memilih pasangan. Logika, data, dan algoritma jauh lebih bisa diandalkan. Ia memprogram SoulMate dengan ribuan variabel: preferensi visual, latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, tes psikologi mendalam, bahkan analisis pola belanja dan media sosial. Tujuannya sederhana: menemukan pasangan yang paling kompatibel secara rasional.
Ironisnya, saat SoulMate menemukan jutaan pasangan bahagia, Maya tetap seorang diri. Ia terlalu sibuk menyempurnakan algoritma, menganalisis data, dan memastikan aplikasi berjalan lancar hingga lupa bahwa ia juga memiliki kebutuhan akan cinta dan kehangatan.
Suatu malam, saat sedang berkutat dengan kode, notifikasi aneh muncul di layar laptopnya. “Peringatan: Anomali Data. User Profile: 784299 (System Administrator).”
User Profile 784299 adalah akun yang digunakan Maya untuk mengelola sistem. Anehnya, algoritma SoulMate memberikan rekomendasi pasangan untuk akun tersebut. Dan pasangannya… adalah dirinya sendiri.
Maya tertawa getir. “Algoritma bodoh,” gumamnya. “Kau tidak bisa memadankan diriku dengan diriku sendiri.”
Namun, rasa penasaran mengalahkannya. Ia membuka profil yang direkomendasikan untuk dirinya. Deskripsi diri yang dibuat algoritma terasa anehnya akurat. “Seorang programmer berbakat dengan hati yang tersembunyi di balik kode. Mencari seseorang yang bisa melihat kelembutan di balik ketegasan, dan memahami kecintaannya pada teknologi.”
Maya tertegun. Bagaimana algoritma bisa menangkap hal-hal yang bahkan ia sendiri sembunyikan? Ia membaca lebih lanjut. Bagian “Hobi” menampilkan daftar panjang: membaca novel fiksi ilmiah, mendengarkan musik klasik, berjalan-jalan di taman saat senja, dan mengamati bintang. Hal-hal yang sudah lama ia tinggalkan demi pekerjaannya.
Di bagian “Kriteria Pasangan”, algoritma menulis: “Seseorang yang cerdas, perhatian, dan memiliki selera humor yang baik. Seseorang yang tidak takut menunjukkan emosi dan bersedia membuka diri.”
Jantung Maya berdegup kencang. Ia menyadari, selama ini ia mencari kesempurnaan logis, padahal yang ia butuhkan adalah seseorang yang bisa menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk mengubah algoritma. Ia menambahkan variabel baru: “Faktor X”. Faktor yang tidak bisa diukur dengan angka, yang meliputi intuisi, keajaiban pertemuan tak terduga, dan keberanian untuk mengambil risiko. Ia juga menghapus batasan kesempurnaan 99,9%. Cinta, pikirnya, tidak selalu tentang kecocokan sempurna, tapi tentang penerimaan dan pertumbuhan bersama.
Selesai memperbarui algoritma, Maya memutuskan untuk mengikuti saran Leo. Ia keluar dari apartemennya dan berjalan-jalan di taman kota. Udara segar menyapu wajahnya. Ia duduk di bangku taman dan mengamati orang-orang di sekitarnya.
Seorang pria muda duduk di bangku seberang, sedang membaca buku tentang kecerdasan buatan. Maya menatapnya. Pria itu mendongak dan tersenyum. Senyumnya hangat dan tulus.
“Buku yang menarik,” kata Maya, mencoba membuka percakapan.
“Ya, lumayan rumit,” jawab pria itu sambil tertawa. “Kamu suka AI juga?”
“Bisa dibilang,” jawab Maya, tersenyum. “Aku seorang programmer.”
“Wah, kebetulan sekali! Aku juga. Namaku Ardi.”
“Maya.”
Mereka berbicara selama berjam-jam. Tentang programming, tentang buku yang mereka baca, tentang mimpi-mimpi mereka. Maya merasa nyaman dan santai, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia menyadari, ia tidak perlu algoritma untuk menemukan cinta. Kadang, cinta datang dengan sendirinya, di tempat dan waktu yang tidak terduga.
Saat matahari mulai terbenam, Ardi menawarkan untuk mengantar Maya pulang. Di depan apartemennya, Ardi berhenti.
“Maya,” kata Ardi, gugup. “Aku… aku menikmati waktu bersamamu.”
“Aku juga, Ardi.”
Ardi mendekat dan mencium pipi Maya. Ciuman itu sederhana, tapi terasa tulus dan hangat. Maya memejamkan mata. Mungkin, algoritma bisa membantunya menemukan pasangan yang kompatibel secara rasional, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar logika. Cinta membutuhkan keberanian, keterbukaan, dan sedikit keajaiban. Dan mungkin, Maya akhirnya menemukannya, bukan di dalam kode, tapi di taman kota, bersama seorang pria yang membaca buku tentang kecerdasan buatan. Rekayasa cinta mungkin bisa membantu, tapi hati tetaplah memiliki jalannya sendiri.