Algoritma Senja: Romansa Piksel di Ujung Jari

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 03:06:12 wib
Dibaca: 168 kali
Mentari senja menari-nari di layar laptop, memantulkan warna jingga pada iris mata Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python ia ketik dengan presisi. Bukan kode biasa, melainkan algoritma yang rumit, dirancang untuk memprediksi preferensi musik seseorang berdasarkan riwayat dengar mereka. Proyek ini ambisius, bahkan terlalu ambisius untuk tugas akhir kuliah. Namun, Anya punya alasan tersendiri.

Ia ingin menciptakan aplikasi musik yang bukan hanya memutar lagu, tapi memahami pendengarnya, bahkan mungkin… merasakan apa yang mereka rasakan. Ia ingin aplikasi itu menjadi jembatan antara hati yang kesepian dan melodi yang menenangkan. Ide itu muncul setelah ia berinteraksi dengan forum daring tempat para penggemar musik berkumpul. Banyak yang merasa kehilangan, mencari teman, atau sekadar berbagi perasaan melalui lagu.

Di forum itu, Anya bertemu dengan Kai. Nama akunnya, "SenjaDigital," langsung menarik perhatiannya. Kai seringkali memberikan komentar yang cerdas dan berwawasan tentang musik, menyentuh aspek emosional yang jarang disadari orang lain. Mereka mulai bertukar pesan pribadi, membahas genre musik favorit, band indie yang baru muncul, hingga filosofi hidup yang tersembunyi dalam lirik lagu.

Anya merasakan sesuatu yang aneh. Ia tidak pernah benar-benar jatuh cinta. Dulu, ia terlalu sibuk dengan belajar dan coding, menutup diri dari dunia luar. Namun, dengan Kai, semuanya berbeda. Ia merasa terhubung, dipahami, bahkan didukung untuk mewujudkan mimpinya.

Namun, ada satu hal yang mengganjal. Mereka belum pernah bertemu secara langsung. Anya hanya tahu bahwa Kai kuliah di jurusan desain grafis di universitas yang sama dengannya. Ia ingin sekali bertemu, tapi ada rasa takut yang menghantuinya. Bagaimana jika Kai tidak sesuai dengan bayangannya? Bagaimana jika pertemuan itu merusak apa yang telah mereka bangun di dunia maya?

Ia memberanikan diri untuk bertanya. “Kai, pernahkah kamu berpikir untuk bertemu?”

Balasan Kai datang beberapa jam kemudian. “Aku sangat ingin, Anya. Tapi… aku punya alasan untuk menunda. Mungkin suatu hari nanti, ketika aku merasa siap.”

Anya merasa kecewa. Alasan Kai terdengar misterius dan tidak meyakinkan. Ia mencoba memahami, tapi keraguan mulai menggerogoti hatinya. Apakah Kai menyembunyikan sesuatu? Apakah ia hanya bermain-main?

Namun, di tengah keraguannya, Anya terus mengerjakan algoritmanya. Ia mencurahkan segala perasaan dan pikirannya ke dalam kode, berharap aplikasi itu bisa menjadi perwujudan dari perasaannya pada Kai. Ia menambahkan fitur baru, “Suara Hati,” yang akan menganalisis nada suara pengguna dan merekomendasikan lagu yang sesuai dengan emosi mereka.

Suatu malam, saat Anya sedang menguji coba fitur “Suara Hati,” sesuatu yang aneh terjadi. Aplikasi itu merekomendasikan lagu yang sangat spesifik, lagu yang hanya ia dan Kai tahu. Lagu itu adalah soundtrack film indie yang mereka berdua sukai, lagu yang seringkali mereka dengarkan bersama di forum daring.

Anya terkejut. Bagaimana mungkin aplikasi itu bisa tahu lagu itu? Ia tidak pernah memasukkan lagu itu ke dalam database. Ia mencoba mencari tahu, dan menemukan sesuatu yang mengejutkan di balik kode. Ada baris kode tersembunyi, kode yang tidak ia tulis, kode yang sepertinya dimasukkan oleh orang lain.

Ia menelusuri kode itu dan menemukan alamat IP. Alamat IP itu mengarah ke… komputernya sendiri. Anya semakin bingung. Bagaimana bisa ada orang yang mengakses komputernya dan mengubah kodenya tanpa ia sadari?

Kemudian, ia teringat pada Kai. Kai sangat ahli dalam desain grafis dan teknologi. Mungkinkah…

Ia mencoba menghubungi Kai, tapi tidak ada jawaban. Ia mengirimkan pesan, menelepon berulang kali, tapi semuanya sia-sia. Anya merasa panik. Ia takut kehilangan Kai, takut bahwa semua yang telah mereka bangun hanya ilusi.

Dengan tekad yang bulat, Anya memutuskan untuk mencari Kai. Ia ingat bahwa Kai kuliah di jurusan desain grafis di universitas yang sama dengannya. Ia pergi ke kampus, mencari-cari di antara kerumunan mahasiswa, berharap menemukan sosok yang selama ini hanya ia kenal melalui piksel dan kata-kata.

Akhirnya, ia menemukan Kai. Kai sedang duduk sendirian di taman kampus, memandang senja dengan tatapan kosong. Anya mendekat perlahan, jantungnya berdebar kencang.

“Kai?” panggil Anya dengan suara bergetar.

Kai menoleh, matanya membulat karena terkejut. “Anya? Bagaimana…?”

“Aku tahu,” kata Anya, “Aku tahu kamu yang menambahkan kode itu. Kamu yang membuat aplikasi itu memahami lagu kita.”

Kai menunduk, raut wajahnya penuh penyesalan. “Maafkan aku, Anya. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya… aku takut.”

“Takut? Takut apa?” tanya Anya, bingung.

Kai mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. “Aku takut kamu akan kecewa. Aku… aku memiliki disabilitas visual. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku takut kamu tidak akan menerimaku.”

Anya terdiam. Ia tidak menyangka bahwa Kai menyembunyikan rahasia sebesar itu. Ia mendekat dan menggenggam tangan Kai.

“Kai, itu tidak penting,” kata Anya, “Yang penting adalah apa yang ada di hatimu. Aku menyukaimu karena kamu, bukan karena apa yang bisa kamu lihat.”

Kai tersenyum, air mata menetes di pipinya. “Anya, aku juga menyukaimu. Aku sangat menyukaimu.”

Mereka berpelukan di bawah langit senja yang semakin gelap. Algoritma senja telah mempertemukan mereka, membawa mereka dari dunia maya ke dunia nyata. Romansa piksel telah berubah menjadi cinta yang nyata, cinta yang melampaui keterbatasan dan perbedaan. Aplikasi musik Anya akhirnya selesai, bukan hanya sebagai proyek tugas akhir, tapi sebagai bukti cinta mereka. Aplikasi itu tidak hanya memahami musik, tapi juga memahami hati, memahami cinta sejati yang tersembunyi di balik kode dan algoritma. Di ujung jari, mereka menemukan romansa yang abadi, terukir dalam setiap baris kode dan melodi yang mereka ciptakan bersama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI