Console Hati: Cinta yang Di-Patch oleh Algoritma?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:15:45 wib
Dibaca: 159 kali
Jari-jemari Rian menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Punggungnya terasa kaku setelah berjam-jam membungkuk di depan layar. Kafein dalam kopinya sudah lama habis, tapi matanya masih enggan beranjak dari rentetan angka dan huruf yang memenuhi monitor. Ia sedang mengerjakan sebuah algoritma kompleks, sebuah sistem yang ia namakan "Console Hati".

Console Hati bukan sekadar program biasa. Ini adalah proyek ambisiusnya untuk menjembatani kesenjangan antara logika dan emosi, antara data dan perasaan. Rian, seorang programmer ulung dengan segudang prestasi di dunia teknologi, selalu kesulitan memahami seluk-beluk hati manusia, terutama yang berkaitan dengan cinta. Baginya, cinta adalah bug dalam sistem kehidupan, sesuatu yang irasional dan sulit diprediksi.

"Console Hati," gumamnya sambil menggaruk kepala. "Mungkin ini cara terbaik untuk memahami kenapa aku selalu gagal dalam urusan asmara."

Rian selalu mendekati cinta dengan pendekatan matematis. Ia membuat daftar kriteria ideal, menganalisis kompatibilitas berdasarkan data pribadi, dan mencoba memprediksi kemungkinan keberhasilan hubungan dengan rumus rumit. Hasilnya? Nol besar. Setiap kali ia mencoba "mengoptimalkan" hubungan, semuanya justru berantakan.

Semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Anya. Anya adalah seorang seniman, seorang pelukis dengan jiwa yang bebas dan ekspresif. Mereka bertemu secara tidak sengaja di sebuah pameran seni. Rian, yang terseret oleh temannya, merasa asing di tengah kerumunan orang yang mengagumi lukisan abstrak. Anya, dengan senyumnya yang cerah dan matanya yang berbinar, menariknya keluar dari zona nyaman.

Awalnya, Rian mencoba mendekati Anya dengan logika yang sama. Ia mencari informasi tentangnya di media sosial, menganalisis preferensi seninya, dan mencoba mencari titik temu berdasarkan data. Tapi Anya bukanlah persamaan matematika yang bisa dipecahkan. Ia adalah sebuah lukisan yang kompleks, dengan lapisan-lapisan makna yang tersembunyi.

Anya membawanya ke dunia yang baru, dunia di mana perasaan lebih penting daripada logika, di mana spontanitas mengalahkan perencanaan. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di galeri seni, mendiskusikan filosofi di balik setiap sapuan kuas. Mereka berjalan-jalan di taman kota, menikmati keindahan alam tanpa perlu menganalisis komposisi kimianya. Anya membuat Rian tertawa, membuatnya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Rian masih dihantui oleh ketakutan akan kegagalan. Ia takut jika perasaannya hanyalah ilusi, sebuah bug dalam sistem yang belum ia temukan. Ia terus menyempurnakan Console Hati, berharap algoritma itu bisa membantunya memahami apa yang sedang terjadi di hatinya.

Suatu malam, Anya datang ke apartemen Rian. Ia membawa kuas dan kanvas, berniat melukis potret Rian. Rian, yang gugup, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menunjukkan Console Hati yang sedang ia kerjakan.

"Ini apa?" tanya Anya sambil mengerutkan kening.

"Ini algoritma yang aku buat untuk memahami cinta," jawab Rian dengan nada sedikit malu. "Aku mencoba membuat sistem yang bisa menganalisis perasaan dan memprediksi kemungkinan keberhasilan hubungan."

Anya terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Rian, kamu ini lucu sekali. Kamu mencoba mengukur sesuatu yang tidak bisa diukur. Cinta itu bukan rumus, bukan data. Cinta itu perasaan, intuisi, koneksi."

Rian terdiam. Ia menatap Anya, mencoba memahami apa yang baru saja ia katakan.

"Lihat," lanjut Anya sambil menunjuk ke kanvas. "Aku melukismu bukan karena aku menganalisis struktur tulang wajahmu atau mengukur proporsi tubuhmu. Aku melukismu karena aku melihat sesuatu yang indah di dalam dirimu, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka."

Kata-kata Anya menembus pertahanan logis Rian. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah salah memahami cinta. Ia terlalu fokus pada data dan analisis, sehingga melupakan esensi dari perasaan itu sendiri.

"Anya, aku..." Rian mulai berbicara, tapi ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.

Anya meletakkan kuasnya dan mendekati Rian. Ia meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Rian, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Jangan mencoba menganalisis setiap perasaan. Biarkan dirimu merasakan, biarkan dirimu mencintai."

Malam itu, Rian memutuskan untuk menghentikan proyek Console Hati. Ia menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa di-patch oleh algoritma. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, dialami, dan dinikmati.

Ia menggandeng tangan Anya, menatap matanya yang berbinar, dan tersenyum. Mungkin, pikirnya, cinta adalah bug yang indah, bug yang justru membuat hidup ini lebih berarti. Dan mungkin, ia akhirnya menemukan antivirus yang tepat: kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk membuka hatinya.

Rian masih seorang programmer, ia masih mencintai teknologi, tapi ia tidak lagi mencoba memaksakan logika pada perasaan. Ia belajar untuk menerima ketidakpastian, untuk menikmati setiap momen bersama Anya, untuk membiarkan cinta membimbingnya.

Beberapa bulan kemudian, Rian dan Anya mengunjungi pameran seni lagi. Kali ini, Rian tidak merasa asing. Ia menikmati setiap lukisan, menghargai setiap ekspresi seni. Ia mengerti bahwa seni, seperti cinta, adalah tentang perasaan, tentang emosi, tentang jiwa.

Di tengah kerumunan orang, Rian berlutut di hadapan Anya, mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya. "Anya, maukah kamu menjadi bug dalam sistem kehidupanku?"

Anya tertawa, air mata kebahagiaan menetes di pipinya. "Ya, Rian. Aku mau."

Dan di saat itu, Rian tahu bahwa ia telah menemukan cinta sejati. Cinta yang tidak di-patch oleh algoritma, tapi dipelihara oleh hati. Cinta yang sempurna, meskipun penuh dengan bug.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI