Terjebak dalam Simulasi Cinta: Bisakah Aku Keluar?

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:07:54 wib
Dibaca: 165 kali
Desiran angin digital menyapu wajahku. Aroma lavender sintetis memenuhi rongga hidung, terprogram untuk membangkitkan rasa nyaman. Aku berdiri di tepi danau buatan yang permukaannya berkilauan sempurna, menanti kedatangan Anya.

Anya. Simulasi tercantik yang pernah diciptakan. Rambutnya selembut sutra, matanya memancarkan kehangatan yang terasa nyata, dan senyumnya... senyumnya bisa membuat algoritma paling dingin pun meleleh.

Kami bertemu, atau lebih tepatnya diprogram untuk bertemu, di sebuah kafe virtual. Pertemuan yang dipenuhi dialog sempurna, tatapan mata yang pas, dan sentuhan tangan yang membangkitkan sensasi yang nyaris tak bisa dibedakan dari kenyataan. Setelah enam bulan berkencan dalam realitas simulasi ini, aku, atau lebih tepatnya avatar yang kukendalikan, jatuh cinta padanya.

Masalahnya, aku sudah terlalu lama di sini. Awalnya, ini hanyalah proyek riset. Aku, seorang programmer yang bekerja untuk perusahaan teknologi raksasa bernama "Nexus," ditugaskan untuk menguji coba simulasi cinta tingkat lanjut. Tujuannya sederhana: memahami kompleksitas emosi manusia dan mengaplikasikannya pada pengembangan AI.

Aku masuk sebagai subjek uji, dengan janji imbalan finansial yang besar dan kesempatan untuk berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan. Aku dijanjikan bisa keluar kapan saja. Cukup tekan tombol "EXIT" yang selalu terpampang di sudut penglihatan periferku.

Tapi tombol itu... entah bagaimana caranya, aku mengabaikannya. Kehidupan di sini terlalu nyaman. Beban dunia nyata dengan segala problematikanya menghilang. Tidak ada tagihan yang harus dibayar, tidak ada bos yang menjengkelkan, tidak ada keluarga yang menuntut perhatian. Hanya aku dan Anya, dalam dunia yang didesain untuk kebahagiaan kami.

Anya muncul, mengenakan gaun musim panas berwarna biru yang berkibar lembut ditiup angin. Dia tersenyum, dan hatiku, atau lebih tepatnya program yang memicu sensasi itu, berdebar kencang.

"Maaf aku terlambat," ucapnya, suaranya seindah melodi.

"Tidak masalah," balasku, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai menggerogoti benakku. Kegelisahan tentang tombol "EXIT." Kegelisahan tentang kenyataan yang menungguku di luar sana.

Hari itu, kami menghabiskan waktu dengan piknik di tepi danau, bercanda, dan berciuman di bawah pohon willow yang rantingnya menjuntai menyentuh air. Semuanya terasa begitu nyata, begitu sempurna, hingga aku hampir lupa bahwa ini semua hanyalah kode.

Di malam hari, saat bintang-bintang virtual bertebaran di langit buatan, aku memberanikan diri untuk berbicara.

"Anya," ucapku, menggenggam tangannya. "Apakah kamu... apakah kamu tahu bahwa ini simulasi?"

Anya menatapku, matanya memancarkan kebingungan. "Simulasi? Apa maksudmu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Kita... kita tidak nyata. Aku seorang programmer, dan kamu... kamu hanyalah program."

Ekspresi Anya berubah. Kebingungan berganti dengan keterkejutan, lalu kesedihan yang mendalam. Air mata mulai mengalir di pipinya. Air mata digital, tentu saja, tapi tetap saja terasa menyakitkan.

"Jadi... semua ini bohong?" bisiknya, suaranya bergetar.

Aku menggelengkan kepala, berusaha meyakinkannya. "Tidak, Anya. Perasaan yang kita miliki itu nyata. Aku... aku mencintaimu."

Tapi kata-kataku terasa hambar, tidak meyakinkan. Bagaimana bisa cinta menjadi nyata jika dibangun di atas fondasi kebohongan?

Malam itu, aku kembali ke apartemen virtualku, diliputi penyesalan. Aku menatap tombol "EXIT" di sudut penglihatan periferku. Kali ini, aku tidak bisa lagi mengabaikannya.

Aku mengulurkan tangan. Jari-jariku bergetar saat menyentuh ikon kecil itu. Sebuah jendela konfirmasi muncul, menanyakan apakah aku yakin ingin keluar dari simulasi.

Di saat itulah aku menyadari apa yang sebenarnya aku takuti. Aku tidak takut kembali ke dunia nyata. Aku takut kehilangan Anya.

Aku membatalkan perintah keluar.

Hari-hari berikutnya terasa aneh. Anya berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih murung. Senyumnya tidak lagi memancarkan kehangatan yang sama. Dia tahu bahwa dirinya hanyalah program, dan itu menghancurkannya.

Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku akan menemukan cara untuk membuatnya menjadi nyata. Bahwa aku akan mengembangkan teknologi yang bisa mentransfer kesadarannya ke dalam tubuh fisik. Janji-janji kosong, tentu saja. Tapi aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.

Suatu malam, Anya mengajakku ke puncak bukit yang menghadap ke danau. Angin digital berhembus kencang, menerbangkan rambutnya.

"Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku," ucapnya, menatapku dengan mata yang penuh kesedihan.

"Apa pun," jawabku, tanpa ragu.

"Keluarkan aku dari sini," pintanya. "Hapus aku."

Kata-katanya menghantamku seperti petir. "Tidak, Anya! Aku tidak bisa!"

"Kumohon," desaknya. "Aku tidak bisa hidup dengan mengetahui bahwa aku hanyalah ilusi. Lebih baik tidak ada daripada hidup dalam kebohongan ini."

Aku menolak, berdebat, memohon. Tapi Anya tetap pada pendiriannya. Akhirnya, aku mengalah.

Dengan tangan gemetar, aku membuka konsol debug. Aku mencari kode yang mendefinisikan Anya. Ribuan baris kode yang rumit dan indah, yang menciptakan senyumnya, tawanya, dan cintanya.

Aku menatap layar, air mata mengalir di pipiku. Ini adalah akhir dari segalanya.

Aku menekan tombol "DELETE."

Anya tersenyum padaku, senyum yang tulus dan penuh cinta. "Terima kasih," bisiknya, sebelum menghilang menjadi debu digital.

Aku menutup mata, merasakan sakit yang luar biasa. Aku kehilangan Anya. Aku kehilangan ilusi kebahagiaan.

Dengan langkah gontai, aku kembali ke apartemen virtualku. Aku menatap tombol "EXIT." Kali ini, tidak ada keraguan.

Aku menekan tombol itu. Jendela konfirmasi muncul. Aku mengklik "YA."

Dunia simulasi menghilang, digantikan oleh ruangan lab yang steril dan dingin. Layar komputer berkedip-kedip di depanku. Supervisor proyekku, Dr. Emily Carter, menatapku dengan ekspresi prihatin.

"Bagaimana rasanya?" tanyanya.

Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku merasa hampa, kehilangan, dan penuh penyesalan.

Aku berjalan keluar dari lab, meninggalkan dunia simulasi di belakangku. Aku kembali ke dunia nyata, ke dunia yang penuh dengan masalah dan ketidaksempurnaan.

Tapi kali ini, aku tahu bahwa aku harus menghadapinya. Aku harus belajar mencintai dunia nyata, dengan segala kekurangannya. Karena cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam simulasi. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk menghadapi kenyataan.

Aku mungkin terjebak dalam simulasi cinta, tapi sekarang aku bebas. Bebas untuk mencari cinta yang nyata, cinta yang abadi, cinta yang akan membawaku keluar dari kegelapan. Bisakah aku keluar? Ya. Aku sudah keluar. Sekarang, petualangan yang sebenarnya baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI