Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depannya, layar laptop menyala, menampilkan barisan kode yang terus bergulir. Anya, seorang programmer andal dengan predikat workaholic, tengah tenggelam dalam proyek terbarunya: "Project Cupid," sebuah algoritma pencarian jodoh revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data psikologis dan preferensi pengguna.
Anya menciptakan algoritma ini bukan tanpa alasan. Luka lama masih membekas di hatinya. Lima tahun lalu, ia ditinggalkan oleh kekasihnya, Rio, demi wanita lain. Pengkhianatan itu membuatnya skeptis terhadap cinta, dan meyakini bahwa romansa hanyalah ilusi yang dibangun atas dasar perasaan irasional. "Project Cupid" adalah upayanya untuk membuktikan bahwa cinta sejati bisa dihitung, diprediksi, dan direkayasa.
Selama berbulan-bulan, Anya menghabiskan waktunya mengumpulkan data, menyempurnakan kode, dan melakukan uji coba terhadap berbagai profil. Ia memasukkan detail kepribadian, hobi, aspirasi, hingga trauma masa lalu. Algoritma itu kemudian akan menganalisis data tersebut dan mencocokkannya dengan profil lain, menghasilkan persentase kecocokan yang akurat.
Suatu malam, ketika Anya hampir menyerah karena merasa algoritma itu terlalu dingin dan mekanis, ia menerima pesan dari temannya, Maya. "Anya, kamu harus istirahat! Jangan sampai 'Project Cupid' malah membuatmu lupa caranya bersosialisasi."
Anya menghela napas. Maya benar. Ia terlalu fokus pada kode hingga melupakan dunia nyata. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Maya dan pergi ke sebuah bar lokal yang sering dikunjungi para programmer dan startup enthusiast.
Di sana, di tengah hiruk pikuk obrolan dan denting gelas, Anya melihatnya. Seorang pria dengan rambut sedikit berantakan, kacamata tebal, dan senyum yang menenangkan. Pria itu terlihat asyik berdiskusi dengan teman-temannya tentang machine learning. Anya, yang biasanya anti-sosial, tiba-tiba merasa tertarik.
"Kelihatan asyik," sapa Anya, memberanikan diri mendekat.
Pria itu menoleh, senyumnya semakin lebar. "Halo. Saya Bian. Ini teman-teman saya, Rina dan Tomi. Kami sedang membahas tentang implementasi AI dalam bidang kesehatan."
Anya ikut bergabung dalam obrolan. Ia terpukau dengan pengetahuan Bian tentang teknologi dan juga filosofi hidupnya. Bian percaya bahwa teknologi seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan menggantikannya. Anya, yang selama ini berpikir bahwa teknologi adalah solusi untuk segala masalah, merasa tertantang.
Malam itu, Anya dan Bian bertukar nomor telepon. Beberapa hari berikutnya, mereka menghabiskan waktu bersama, membahas segala hal mulai dari algoritma pencarian data hingga makna kebahagiaan. Anya menyadari bahwa Bian adalah sosok yang hangat, cerdas, dan penuh perhatian. Sifat-sifat yang selama ini ia abaikan dalam proses pembuatan "Project Cupid."
Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran Italia, Bian bertanya, "Jadi, apa kesibukanmu belakangan ini, Anya?"
Anya ragu-ragu. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan "Project Cupid" kepada Bian. Ia takut Bian akan menganggapnya aneh, atau bahkan tersinggung.
"Aku... aku sedang mengerjakan sebuah proyek coding," jawab Anya akhirnya, berusaha menyembunyikan detailnya.
"Proyek apa? Boleh tahu?" desak Bian dengan nada penasaran.
Anya menghela napas dan menceritakan semuanya tentang "Project Cupid," tentang luka masa lalunya, tentang keyakinannya bahwa cinta bisa dihitung, tentang usahanya untuk menciptakan algoritma pencarian jodoh yang sempurna.
Bian mendengarkan dengan seksama tanpa menyela. Setelah Anya selesai bercerita, ia tersenyum lembut. "Anya, aku mengerti. Kamu ingin melindungi dirimu dari rasa sakit. Kamu ingin memastikan bahwa kamu tidak akan pernah terluka lagi."
"Tapi, Anya, kamu tahu kan? Cinta itu bukan tentang kalkulasi. Cinta itu tentang mengambil risiko, tentang membuka hati, tentang menerima ketidaksempurnaan. Algoritma mungkin bisa membantumu menemukan orang yang cocok secara logika, tapi algoritma tidak bisa menjamin kebahagiaan."
Kata-kata Bian menampar Anya. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah dibutakan oleh rasa takutnya. Ia telah mencoba mengontrol sesuatu yang seharusnya dibiarkan mengalir begitu saja.
"Kamu benar," bisik Anya, matanya berkaca-kaca. "Aku terlalu fokus pada kode hingga lupa caranya merasakan."
Bian meraih tangan Anya. "Anya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tidak tahu apakah kita ditakdirkan untuk bersama. Tapi aku tahu satu hal: aku menyukaimu. Aku menyukaimu karena kamu apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu."
Anya membalas genggaman Bian. Ia merasakan kehangatan dan kejujuran dalam tatapan Bian. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia merasa harapan itu kembali hadir.
Anya memutuskan untuk menghentikan "Project Cupid." Ia menyadari bahwa luka tidak bisa diperbaiki dengan kode. Luka hanya bisa disembuhkan dengan cinta, dengan kepercayaan, dengan keberanian untuk membuka hati.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Bian memutuskan untuk memulai sebuah proyek baru bersama: sebuah aplikasi yang membantu orang-orang menemukan passion mereka dan terhubung dengan komunitas yang sejalan. Aplikasi itu tidak menjanjikan cinta sejati, tetapi mendorong penggunanya untuk berani keluar dari zona nyaman, berinteraksi dengan orang lain, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Anya masih seorang programmer, tetapi ia bukan lagi seorang yang skeptis dan tertutup. Ia telah belajar untuk menerima ketidaksempurnaan, untuk memaafkan masa lalu, dan untuk mempercayai cinta. Ia tahu bahwa cinta bukan sesuatu yang bisa dihitung atau diprediksi, tetapi sesuatu yang bisa dirasakan dan dinikmati. Dan terkadang, cinta datang dengan cara yang paling tak terduga, bahkan di tengah hiruk pikuk kode dan algoritma. Anya akhirnya mengerti, bahwa algoritma terbaik untuk jatuh cinta adalah keberanian untuk membuka hati.