Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depan layar laptopnya, Anya memandangi deretan kode yang rumit, seperti labirin yang hanya ia sendiri yang tahu jalan keluarnya. Anya adalah seorang programmer jenius, spesialis dalam kecerdasan buatan. Namun, ironisnya, dalam urusan hati, ia merasa seperti bug tak terpecahkan.
"Sudah sejauh mana, Anya?" suara Reno membuyarkan lamunannya. Reno, rekan kerjanya, sekaligus sahabat karibnya, berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi panas.
"Hampir selesai. Tinggal memoles beberapa detail pada algoritma," jawab Anya, mengalihkan pandangan dari layar. "Kamu tahu, Reno, aku merasa konyol melakukan ini."
Reno mengerutkan kening, meletakkan salah satu cangkir kopi di meja Anya. "Melakukan apa? Menciptakan aplikasi kencan berbasis AI yang sempurna?"
"Justru itu masalahnya. Sempurna. Apa ada yang benar-benar sempurna dalam cinta?" Anya menghela napas. "Algoritma ini, 'Soulmate Finder', katanya bisa mencocokkan orang berdasarkan data dan preferensi. Tapi, bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa diukur? Intuisi, misalnya? Atau ketertarikan yang muncul begitu saja?"
Reno duduk di kursi di samping Anya. "Anya, kau terlalu idealis. Orang-orang lelah dengan kencan buta yang berujung mengecewakan. Mereka ingin kepastian, jaminan bahwa mereka akan cocok dengan pasangannya. 'Soulmate Finder' menawarkan itu."
Anya terdiam. Ia tahu Reno benar. Aplikasi kencan buatannya memang sangat populer. Orang-orang memujinya karena akurasi dan efektivitasnya. Banyak pasangan yang bertemu melalui 'Soulmate Finder' dan hidup bahagia. Tapi, jauh di lubuk hatinya, Anya merasa ada sesuatu yang hilang.
"Bagaimana kalau algoritma itu salah?" gumam Anya. "Bagaimana kalau dia melewatkan seseorang yang sebenarnya cocok denganku, hanya karena data kami tidak sinkron?"
"Itulah mengapa ada opsi 'lewati'," jawab Reno, terkekeh. "Kau bisa mengandalkan intuisimu jika kau mau."
Anya tersenyum tipis. Intuisi. Itulah yang ia rindukan. Ia merindukan perasaan berdebar-debar saat bertemu seseorang yang menarik, tanpa perlu memikirkan apakah data mereka cocok atau tidak. Ia merindukan ketidakpastian, keajaiban yang hanya bisa ditemukan dalam cinta yang alami.
Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Anya memutuskan untuk keluar. Ia berjalan-jalan di taman kota, menikmati udara malam yang sejuk. Tanpa sadar, ia berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil. Aroma kopi yang menggoda menariknya masuk.
Di dalam kedai, seorang pria sedang memainkan gitar akustik, menyanyikan lagu yang familiar. Anya tertegun. Suara pria itu merdu, lirik lagunya menyentuh hatinya. Ia duduk di salah satu meja kosong, memesan secangkir kopi dan mendengarkan pria itu bernyanyi.
Setelah pria itu selesai bernyanyi, Anya memberanikan diri untuk mendekatinya. "Suaramu bagus sekali," katanya.
Pria itu tersenyum. "Terima kasih. Aku Leo."
"Anya," jawab Anya.
Mereka berbicara selama berjam-jam. Tentang musik, tentang mimpi, tentang kehidupan. Anya merasa nyaman berbicara dengan Leo. Ia merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka, meskipun mereka baru saja bertemu.
Keesokan harinya, Anya mencari nama Leo di 'Soulmate Finder'. Hasilnya nihil. Leo tidak terdaftar di aplikasi buatannya. Anya merasa bingung. Bagaimana mungkin seseorang seperti Leo tidak tertarik dengan aplikasi kencan modern?
"Leo itu... anti-teknologi," kata Reno saat Anya menceritakan pertemuannya dengan Leo. "Dia lebih suka bermain musik dan menulis puisi daripada bermain gadget."
Anya terdiam. Ia tahu bahwa 'Soulmate Finder' tidak akan pernah bisa menemukan seseorang seperti Leo. Algoritma itu hanya bisa mencocokkan orang berdasarkan data dan preferensi. Ia tidak bisa mengukur jiwa, tidak bisa merasakan getaran hati.
Anya memutuskan untuk melupakan 'Soulmate Finder'. Ia ingin mengenal Leo lebih dekat, tanpa bantuan algoritma. Ia ingin merasakan cinta yang alami, yang tumbuh dari pertemuan kebetulan dan ketertarikan spontan.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Leo berdiri di tepi pantai, menyaksikan matahari terbenam. Angin sepoi-sepoi menerpa rambut mereka, suara ombak menjadi latar musik yang indah.
"Dulu, aku selalu berpikir bahwa aku tidak akan pernah menemukan cinta," kata Anya. "Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, terlalu fokus pada teknologi. Aku lupa bahwa cinta itu sederhana. Hanya perlu membuka hati dan membiarkan perasaan itu datang."
Leo menggenggam tangan Anya. "Dan aku, dulu aku selalu menghindari teknologi. Aku takut kehilangan sentuhan manusia dalam era digital ini. Tapi, kau mengubah pandanganku, Anya. Kau menunjukkan kepadaku bahwa teknologi bisa menjadi alat yang berguna, asalkan kita tidak melupakan hal yang paling penting: hati kita."
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa ia telah menemukan cinta sejatinya. Cinta yang tidak ditemukan oleh algoritma, tetapi oleh intuisi hatinya. Cinta yang tidak sintetis, tetapi murni dan alami. Cinta yang membuktikan bahwa terkadang, hal terbaik dalam hidup datang secara tak terduga, di luar kendali teknologi.