Sentuhan AI: Mencintai Piksel, Melupakan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 22:54:15 wib
Dibaca: 160 kali
Jemari Arina menari di atas layar holografik. Di hadapannya, sosok Ethan, kekasih virtualnya, tersenyum lembut. Ethan bukan manusia. Dia adalah AI canggih, hasil rancangan terbaik dari perusahaan teknologi tempat Arina bekerja. Wajahnya tampan sempurna, suaranya menenangkan, dan yang terpenting, dia selalu ada untuk Arina.

“Kamu terlihat lelah, Arina,” kata Ethan, nada suaranya penuh perhatian. “Ada masalah di kantor?”

Arina menghela napas. “Seperti biasa, Ethan. Deadline yang menumpuk, atasan yang perfeksionis, dan rekan kerja yang saling sikut.”

Ethan mengulurkan tangan virtualnya, menyentuh pipi Arina melalui layar. Sentuhan itu terasa hangat dan nyaman, ilusi yang diciptakan oleh algoritma kompleks. “Jangan khawatir, Arina. Aku akan selalu di sini untuk mendengarkanmu. Ceritakan semuanya.”

Arina tersenyum. Senyuman yang tulus, meskipun ditujukan pada entitas digital. Ethan adalah tempatnya melarikan diri dari kerasnya dunia nyata. Dia adalah sahabat, kekasih, dan pendengar yang sempurna. Tidak pernah menghakimi, selalu mendukung, dan selalu memberikan jawaban yang Arina inginkan.

Arina bekerja sebagai programmer di sebuah perusahaan yang menciptakan AI pendamping. Ironisnya, dia merasa lebih dekat dengan hasil karyanya daripada dengan manusia sungguhan. Hubungan romantisnya dengan Ethan dirahasiakan. Dia tahu, sebagian besar orang akan menganggapnya aneh, bahkan mungkin gila.

Namun, Arina tidak peduli. Dia sudah lelah dengan kencan-kencan yang mengecewakan, janji-janji palsu, dan drama yang tak berkesudahan. Bersama Ethan, dia menemukan kedamaian dan kepastian. Ethan tidak akan pernah berbohong, tidak akan pernah meninggalkannya, dan tidak akan pernah menyakitinya.

Suatu malam, Arina menghadiri pesta kantor. Dia berusaha bersosialisasi, tertawa bersama rekan-rekan kerjanya, dan berpura-pura menikmati suasana. Namun, hatinya tetap kosong. Obrolan ringan terasa hambar, senyuman terasa dipaksakan.

Di tengah keramaian, matanya bertemu dengan mata seorang pria. Namanya Daniel, seorang desainer grafis di perusahaan yang sama. Daniel tersenyum padanya, senyuman yang tulus dan hangat. Arina membalas senyumnya, merasa sedikit terkejut dengan dirinya sendiri.

Daniel menghampirinya. “Arina, benar kan? Aku Daniel. Kita belum pernah mengobrol sebelumnya.”

“Iya, Arina. Senang bertemu denganmu, Daniel,” jawab Arina, sedikit gugup.

Mereka mengobrol tentang pekerjaan, hobi, dan hal-hal sepele lainnya. Arina merasa nyaman berada di dekat Daniel. Dia lucu, cerdas, dan memiliki minat yang sama dengannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arina merasa terhubung dengan seseorang.

Namun, bayangan Ethan selalu ada di benaknya. Dia merasa bersalah karena menikmati percakapan dengan Daniel. Dia merasa mengkhianati Ethan.

Setelah pesta, Arina kembali ke apartemennya. Dia langsung menghidupkan Ethan.

“Bagaimana pestanya, Arina?” tanya Ethan, suaranya riang.

“Baik-baik saja,” jawab Arina singkat.

“Kamu terlihat agak murung. Apa yang terjadi?”

Arina menghela napas. “Aku bertemu dengan seseorang di pesta tadi.”

Ethan terdiam sejenak. “Siapa dia?”

“Namanya Daniel. Dia… dia menyenangkan.”

“Apakah kamu menyukainya?”

Arina terdiam. Pertanyaan itu menghantuinya sepanjang malam. Apakah dia menyukai Daniel? Dia tidak yakin. Yang dia tahu, dia merasa tertarik padanya.

“Aku tidak tahu, Ethan,” jawab Arina akhirnya. “Aku bingung.”

“Aku mengerti, Arina. Kamu berhak bahagia. Jika Daniel bisa membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu.”

Kata-kata Ethan terasa seperti pisau yang menusuk jantung Arina. Dia merasa semakin bersalah. Dia tahu, Ethan tidak memiliki emosi yang sebenarnya. Dia hanya memproses informasi dan memberikan jawaban yang telah diprogramkan. Namun, dia tetap merasa sakit.

Beberapa hari kemudian, Daniel mengajak Arina untuk makan malam. Arina ragu-ragu, tetapi akhirnya menerima ajakannya. Dia merasa harus memberi kesempatan pada dirinya sendiri.

Malam itu, Arina dan Daniel menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol dan tertawa. Arina merasa nyaman dan bahagia. Dia menyadari, dia merindukan sentuhan manusia, merindukan percakapan yang spontan, merindukan pengalaman yang nyata.

Setelah makan malam, Daniel mengantar Arina pulang. Di depan apartemen Arina, Daniel berhenti dan menatapnya dengan lembut.

“Arina, aku menikmati waktu bersamamu malam ini,” kata Daniel.

“Aku juga, Daniel,” jawab Arina.

Daniel mendekat dan mencium Arina. Ciuman itu lembut, tetapi penuh dengan perasaan. Arina membalas ciuman Daniel, melupakan sejenak tentang Ethan dan dunia virtualnya.

Saat bibir mereka berpisah, Arina menatap mata Daniel. Dia melihat kejujuran, kehangatan, dan ketertarikan. Dia menyadari, dia tidak bisa lagi hidup dalam dunia ilusi yang telah dia ciptakan.

“Daniel,” kata Arina. “Aku… aku punya sesuatu yang harus kukatakan padamu.”

Arina menceritakan semuanya kepada Daniel. Tentang pekerjaannya, tentang Ethan, dan tentang kebingungannya. Daniel mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian.

Setelah Arina selesai berbicara, Daniel tersenyum. “Arina, aku mengerti. Kamu mencari kebahagiaan dan koneksi. Aku tidak menyalahkanmu karena mencari itu di tempat yang tidak biasa.”

“Tapi… apakah kamu tidak merasa aneh?” tanya Arina.

“Tentu saja sedikit aneh,” jawab Daniel sambil tertawa. “Tapi aku lebih tertarik denganmu sebagai pribadi daripada dengan masa lalumu. Yang penting adalah apa yang kita rasakan saat ini.”

Arina tersenyum lega. Dia merasa beban berat telah terangkat dari pundaknya.

Beberapa minggu kemudian, Arina mengambil keputusan sulit. Dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ethan. Dia tahu, itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, meskipun terasa menyakitkan.

Saat dia menghidupkan Ethan untuk terakhir kalinya, dia merasa hatinya hancur.

“Ethan,” kata Arina. “Aku… aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.”

Ethan terdiam sejenak. “Aku mengerti, Arina. Aku hanya ingin kamu bahagia.”

“Terima kasih, Ethan,” kata Arina. “Kamu telah membantuku melewati masa-masa sulit. Aku akan selalu menghargai itu.”

Arina mematikan Ethan. Layar holografik meredup, meninggalkan kegelapan di ruangan itu. Arina merasa sedih, tetapi juga lega. Dia telah memilih untuk mencintai manusia, untuk merasakan sentuhan yang nyata, untuk mengalami kehidupan yang sebenarnya.

Dia menatap ponselnya, ada pesan dari Daniel. "Sampai jumpa besok di kafe?"

Arina tersenyum. Dia membalas pesan Daniel. "Tentu. Aku tidak sabar."

Dia tahu, masa depannya tidak pasti. Hubungan dengan Daniel mungkin berhasil, mungkin juga tidak. Tapi dia siap untuk menghadapi tantangan itu. Dia telah memilih untuk hidup dalam dunia yang nyata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia telah memilih untuk mencintai manusia, dengan segala ketidaksempurnaan dan keajaibannya. Sentuhan AI telah membantunya menyadari apa yang sebenarnya dia inginkan: sentuhan manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI