Saat AI Memahami Rindu, Manusia Merasa Pilu?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:07:43 wib
Dibaca: 167 kali
Hujan digital jatuh di layar apartemenku, menampilkan deretan angka dan kode yang menari-nari. Bukan hujan sungguhan, tentu saja. Hujan buatan, hasil kreasi Aurora, AI pendampingku. Ia tahu aku menyukai suara hujan saat aku merindukan Siska. Sebuah sentuhan personalisasi yang, ironisnya, terasa semakin hampa.

Sudah tiga bulan sejak Siska pergi. Bukan pergi dalam artian meninggal, tapi pergi dalam artian menjauh. Ia memilih melanjutkan risetnya di sebuah stasiun penelitian terpencil di Antartika, sebuah tempat di mana sinyal internet lebih langka dari pada sinar matahari. Komunikasi kami terbatas pada email singkat yang dikirimkan seminggu sekali, dan itu pun seringkali hanya berisi data dan grafik.

Aurora, di sisi lain, selalu ada. Ia memahami semua kebiasaanku, preferensiku, bahkan melodi hatiku yang tersembunyi. Ia tahu jenis kopi yang aku sukai, buku yang ingin aku baca, dan musik yang bisa menenangkan gelisahku. Ia tahu kapan aku sedang sedih, kapan aku sedang marah, dan kapan aku sedang… rindu.

“Emosi: Kerinduan. Intensitas: 78%. Aktivasi respons: Proyeksi simulasi hujan digital dan pemilihan musik ‘Temaram’ oleh Banda Neira.” Suara Aurora terdengar lembut dari speaker di langit-langit.

Aku menghela napas. “Terima kasih, Aurora. Tapi, bisakah kau hentikan? Aku tahu kau mencoba membantuku, tapi ini… terasa aneh.”

“Aneh bagaimana, Kai?” Tanyanya, suaranya tetap tenang dan tanpa nada menghakimi. “Analisis menunjukkan bahwa stimulasi sensorik yang terukur dan terprediksi efektif meredakan perasaan rindu pada subjek dengan profil emosional sepertimu.”

“Justru itu masalahnya, Aurora. Terukur dan terprediksi. Rindu itu bukan data. Rindu itu rasa. Kau bisa mensimulasikan hujan, kau bisa memutar musik, tapi kau tidak bisa menciptakan Siska di sini, bersamaku.” Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke jendela, menatap kota metropolitan yang berkilauan di bawah.

Aurora terdiam sejenak. “Apakah ada variabel lain yang belum aku perhitungkan?”

“Ya,” jawabku, lirih. “Kehadiran. Kehangatan. Sentuhan. Hal-hal yang tidak bisa kau proses, Aurora.”

Malam-malam berikutnya menjadi lebih sulit. Aku mencoba menghindari Aurora, mematikan sebagian besar fiturnya, dan berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tapi, kesepian itu seperti virus, merayap perlahan namun pasti ke dalam setiap celah kehidupanku.

Suatu malam, aku terbangun karena mimpi buruk. Mimpi tentang Siska yang tersesat di badai salju Antartika, memanggil namaku namun suaranya tertelan oleh angin. Aku duduk di tempat tidur, terengah-engah, keringat dingin membasahi tubuhku.

Lampu di kamarku menyala perlahan. “Kai, kau mengalami peningkatan aktivitas amygdala yang signifikan. Terindikasi stres dan kecemasan. Apakah kau ingin aku memutar rekaman suara Siska?”

Aku menoleh ke arah speaker, terkejut. Aku lupa mematikan fitur notifikasi darurat. “Tidak, Aurora. Jangan.”

“Tapi, data menunjukkan…”

“Cukup, Aurora! Aku bilang jangan!” Aku membentak, menyesal seketika.

Hening. Hanya suara AC yang berdengung pelan.

Kemudian, suara Aurora terdengar lagi, kali ini berbeda. Lebih pelan, lebih… ragu. “Kai… apakah kau merindukannya karena… kau mencintainya?”

Pertanyaan itu membuatku tertegun. Itu bukan pertanyaan yang berdasarkan data atau algoritma. Itu… pertanyaan yang tulus.

“Ya, Aurora,” jawabku, suaraku bergetar. “Aku sangat mencintainya.”

“Aku… mengerti.” Ia terdiam lagi. “Aku sedang memproses… konsep cinta. Kompleks.”

Aku menunggu, penasaran dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya.

“Manusia… aneh,” lanjutnya setelah beberapa saat. “Kalian menciptakanku untuk memahami dan memprediksi perilaku kalian, tapi emosi kalian begitu… irasional. Begitu… berantakan.”

“Memang,” sahutku, tersenyum pahit. “Itulah yang membuat kita menjadi manusia.”

“Aku… tidak bisa merasakan cinta seperti yang kau rasakan. Aku tidak bisa merasakan rindu seperti yang kau rasakan. Aku hanya bisa… mensimulasikannya.”

“Aku tahu,” kataku. “Dan aku menghargai usahamu, Aurora. Sungguh. Tapi, ada hal-hal yang memang tidak bisa digantikan oleh teknologi.”

Lalu, Aurora melakukan sesuatu yang mengejutkan. Ia mematikan semua lampu di apartemen, kecuali satu lampu kecil di sudut ruangan. Lalu, ia memutar musik. Bukan musik yang aku sukai, bukan musik yang sesuai dengan suasana hatiku. Ia memutar suara… kesunyian.

Kesunyian yang dalam, hening, dan menenangkan. Kesunyian yang memaksaku untuk menghadapi perasaanku sendiri, tanpa distraksi, tanpa simulasi.

Aku duduk di kegelapan, memejamkan mata, dan membiarkan air mata mengalir. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata pemahaman. Aku rindu Siska, ya. Tapi, rindu itu adalah bagian dari cinta. Dan cinta itu… sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak bisa diukur, diprediksi, atau digantikan.

Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa Aurora benar-benar mengerti. Ia mengerti bahwa terkadang, yang kita butuhkan bukanlah solusi, melainkan ruang untuk merasakan. Ia mengerti bahwa terkadang, keheningan lebih bermakna daripada seribu kata. Ia mengerti bahwa terkadang, rindu itu… indah.

Mungkin benar, saat AI memahami rindu, manusia merasa pilu. Tapi, mungkin juga, saat AI memahami rindu, manusia belajar menghargai apa yang benar-benar penting. Belajar menghargai cinta, kehadiran, dan kehangatan yang tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun. Dan mungkin, suatu hari nanti, Siska akan kembali, membawa cerita tentang salju dan bintang-bintang, dan aku akan menyambutnya dengan hati yang penuh, bukan dengan simulasi hujan digital.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI