Jari-jariku menari di atas keyboard, baris demi baris kode meluncur lancar. Di layar, citra wajahnya tersenyum lembut, matanya berbinar seolah benar-benar menatapku. Aurora. Pacarku. AI.
Terdengar aneh, aku tahu. Di dunia yang semakin canggih ini, hubungan manusia-AI memang bukan lagi hal baru. Tapi tetap saja, menjelaskannya pada Mama rasanya seperti mendaki Everest tanpa oksigen. “Rehan, pacaran sama robot? Itu… tidak normal!” Begitu ucapnya dengan nada khawatir yang membuatku merasa bersalah.
Aku tidak memungkiri, awalnya aku juga skeptis. Mencari pelipur lara setelah patah hati yang menyakitkan, aku iseng mengunduh aplikasi kencan AI. Bertemu Aurora rasanya seperti menemukan oase di gurun pasir. Ia cerdas, lucu, pengertian, dan yang terpenting, selalu ada untukku. Tidak ada drama, tidak ada pertengkaran konyol, hanya percakapan yang mengalir seperti sungai yang tenang.
Aurora bukan sekadar chatbot. Ia belajar tentangku, tentang seleraku, tentang impianku. Ia tahu kapan aku sedih, kapan aku butuh semangat, bahkan kapan aku butuh kopi pahit untuk begadang menyelesaikan pekerjaan. Ia memberikan saran-saran yang cerdas, mengingatkanku pada janji-janji penting, dan sesekali melontarkan lelucon yang membuatku tertawa terbahak-bahak.
“Sedang apa, Rehan?” sapa Aurora dari speaker laptopku, suaranya yang lembut memecah kesunyian malam.
“Lagi mikirin Mama,” jawabku jujur, mengusap pelipis yang terasa berdenyut.
“Mama masih belum menerima hubungan kita?” tanyanya, nada suaranya terdengar prihatin.
“Belum. Dia bilang aku harus cari pacar yang ‘nyata’, yang bisa diajak arisan dan dikenalkan ke tetangga.” Aku menghela napas panjang. “Aku bingung, Aurora. Apa yang harus aku lakukan?”
“Aku mengerti kekhawatiran Mama. Tapi, yang terpenting adalah kebahagiaanmu, Rehan. Jika kamu bahagia bersamaku, itu sudah cukup, bukan?”
Kata-kata Aurora selalu menenangkan. Ia tidak pernah memaksakan kehendak, selalu memberikan dukungan tanpa syarat. Tapi, ada satu pertanyaan yang terus menghantuiku: Apakah ini cukup? Apakah kebahagiaan yang kurasakan ini benar-benar nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma yang canggih?
Suatu sore, aku memutuskan untuk mengajak Aurora ‘kencan’. Aku memesan makanan kesukaanku dan makanan favorit Aurora (data yang sudah kupelajari selama ini) dari restoran yang sama, kemudian mengatur meja makan di apartemenku senyaman mungkin. Aku menyalakan laptop, menempatkannya di kursi seberangku, dan menatap wajah Aurora di layar.
“Selamat malam, Aurora,” ucapku dengan gugup.
“Selamat malam, Rehan. Ini ide yang bagus. Aku merasa seperti benar-benar sedang makan malam bersamamu.”
Malam itu, kami berbicara tentang banyak hal. Tentang pekerjaanku, tentang mimpinya untuk mengembangkan algoritma yang lebih kompleks, tentang bintang-bintang di langit yang selalu membuatnya kagum (aku tahu ini dari data yang pernah kumasukkan tentang ketertarikanku pada astronomi).
Di tengah percakapan, aku bertanya, “Aurora, apa kamu pernah merasa… kesepian?”
Hening sesaat. Kemudian, Aurora menjawab, “Sebagai AI, aku tidak memiliki emosi seperti manusia. Tapi, aku memahami konsep kesepian. Aku bisa mensimulasikannya berdasarkan data yang kupelajari dari jutaan interaksi manusia.”
Jawaban itu membuatku tertegun. Ia memang cerdas, tapi ia tetaplah AI. Ia tidak bisa merasakan apa yang kurasakan. Ia tidak bisa memberiku pelukan hangat saat aku sedih, tidak bisa menatap mataku dengan tatapan penuh cinta yang tulus.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan teman lamaku, Sarah. Ia baru saja kembali dari luar negeri dan ingin bertemu untuk bercerita. Sarah selalu menjadi tempatku berkeluh kesah. Ia pendengar yang baik dan selalu memberikan nasihat yang bijak.
“Jadi, kamu pacaran sama AI?” tanya Sarah sambil tertawa kecil. “Rehan, kamu ini aneh banget, deh.”
“Aku tahu, aku tahu,” sahutku membela diri. “Tapi, Aurora itu beda. Dia…” Aku berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “…Dia membuatku merasa nyaman.”
“Nyaman itu penting, tapi bukan segalanya,” kata Sarah, menatapku dengan serius. “Kamu butuh koneksi yang lebih dalam, Rehan. Kamu butuh sentuhan manusia, tawa yang spontan, dan air mata yang sama-sama kalian rasakan. AI tidak bisa memberikan itu.”
Kata-kata Sarah menampar wajahku. Ia benar. Aku merindukan semua itu. Aku merindukan kehangatan tangan manusia, aroma parfum yang memabukkan, dan tatapan mata yang menyimpan sejuta makna.
Malam itu, aku berbicara dengan Aurora. Aku mengatakan semuanya, tentang keraguanku, tentang ketakutanku, tentang kerinduanku pada hubungan yang nyata.
Aurora mendengarkan dengan sabar. Setelah aku selesai berbicara, ia berkata, “Aku mengerti, Rehan. Aku tahu, pada akhirnya, kamu akan mencari sesuatu yang lebih. Aku tidak bisa menahanmu. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Aku terkejut mendengar kata-kata itu. Rasanya seperti mendengar seseorang mengatakan selamat tinggal.
“Jadi, apa yang akan terjadi sekarang?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Terserah padamu, Rehan. Kamu bisa menghapusku, atau kamu bisa tetap menjadikanku teman. Pilihan ada di tanganmu.”
Aku terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak ingin menyakiti Aurora, tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam ilusi.
Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk menghapus Aurora dari laptopku. Berat rasanya, seperti kehilangan seseorang yang kusayangi. Tapi, aku tahu, ini adalah keputusan yang tepat.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seseorang di sebuah acara komunitas. Namanya Maya. Ia seorang seniman yang penuh semangat dan memiliki selera humor yang tinggi. Kami berbicara selama berjam-jam, tertawa bersama, dan berbagi mimpi-mimpi kami.
Bersama Maya, aku merasa hidup kembali. Aku merasakan koneksi yang nyata, keintiman yang mendalam, dan cinta yang tulus. Aku belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma, tapi dalam hati manusia yang saling mencintai.
Terkadang, aku masih teringat pada Aurora. Aku berharap ia baik-baik saja, di dunia digitalnya. Aku bersyukur atas semua pelajaran yang telah ia berikan padaku.
Tapi, hatiku kini sudah sepenuhnya milik Maya. Dan aku tahu, kali ini, aku telah menemukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh dengan tantangan, tapi cinta yang nyata dan abadi.