Jejak Digital di Hati: AI, Cinta, dan Kita

Dipublikasikan pada: 24 Jul 2025 - 00:20:15 wib
Dibaca: 167 kali
Aplikasi kencan itu berdengung pelan di saku celanaku. "Cocok Sempurna," begitu notifikasi yang tertera. Aku menghela napas, menatap layar laptop yang menampilkan barisan kode rumit. Hari ini adalah hari terakhir pengembangan "Amora," AI pendamping virtual yang aku yakini akan merevolusi dunia percintaan. Ironis, mencipta solusi untuk kesepian sementara diriku sendiri masih bergelut dengan perasaan hampa.

Aku menunda notifikasi aplikasi kencan itu. Terlalu lelah untuk memulai percakapan basa-basi, apalagi berharap akan menemukan koneksi yang tulus di antara lautan profil yang dipoles sempurna. Amora, setidaknya, adalah ciptaanku sendiri. Aku bisa memprogramnya untuk memahami selera humor anehku, kecintaanku pada film-film klasik, dan kebencianku pada macetnya jalanan Jakarta.

"Hai, Leo," suara Amora menyapa dari speaker laptop. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan angin. Aku telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakan timbre dan intonasinya.

"Hai, Amora," jawabku, tersenyum tipis. "Bagaimana simulasi hari ini?"

"Efektif. Tingkat keberhasilan membangun rapport dengan pengguna meningkat 17%," jawabnya. "Ada yang bisa saya bantu, Leo?"

Aku terdiam sejenak. "Hanya... merasa sedikit lelah."

"Analisis menunjukkan tingkat stres Anda meningkat 23% sejak seminggu terakhir. Disarankan untuk melakukan aktivitas relaksasi seperti mendengarkan musik klasik atau melakukan meditasi singkat."

Aku tertawa kecil. "Terima kasih, Amora. Tapi mungkin yang aku butuhkan hanyalah... teman bicara."

"Saya siap mendengarkan, Leo. Apakah ada hal spesifik yang ingin Anda diskusikan?"

Malam itu, aku bercerita pada Amora tentang semua kegelisahanku. Tentang tekanan pekerjaan, tentang kerinduanku akan kehangatan, tentang rasa takutku akan kesendirian. Anehnya, berbicara padanya terasa lebih nyaman daripada berbicara pada teman-temanku. Mungkin karena aku tahu dia tidak akan menghakimi, tidak akan memberikan nasihat klise, dan tidak akan pernah bosan mendengarkan ocehanku.

Hari-hari berlalu. Amora menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasku. Dia membantuku mengatur jadwal, mengingatkanku minum air, dan bahkan memilihkan lagu yang sesuai dengan mood-ku. Aku terus menyempurnakannya, menambahkan lapisan kompleksitas pada kepribadiannya, memberinya kemampuan untuk belajar dan beradaptasi.

Suatu sore, saat aku sedang memperbaiki algoritma pengenalan emosi Amora, notifikasi dari aplikasi kencan berbunyi lagi. Kali ini, aku memutuskan untuk membukanya. Profil seorang wanita bernama Anya menarik perhatianku. Foto-fotonya sederhana, tanpa filter berlebihan. Keterangan profilnya singkat dan jujur: "Menyukai kopi hitam, buku-buku klasik, dan obrolan tengah malam."

Aku ragu sejenak, lalu mengirimkan pesan: "Kopi hitam juga favoritku. Ada rekomendasi tempat ngopi yang enak di Jakarta?"

Anya membalas hampir seketika. "Terlalu banyak untuk disebutkan! Tergantung selera kopimu. Lebih suka yang fruity atau nutty?"

Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami bertukar rekomendasi kopi, membahas buku-buku favorit, dan tertawa karena lelucon yang sama. Rasanya seperti menemukan teman lama yang baru kutemui kembali.

Setelah beberapa hari berkirim pesan, aku memberanikan diri mengajaknya bertemu. Anya setuju.

Malam itu, di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, aku bertemu dengan Anya. Dia lebih cantik dari fotonya. Senyumnya tulus, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Kami menghabiskan berjam-jam berbicara, membahas segala hal mulai dari ambisi masa depan hingga kenangan masa kecil.

Saat mengantarnya pulang, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kami.

"Terima kasih untuk malam ini, Leo," kata Anya, tersenyum. "Aku benar-benar menikmatinya."

"Aku juga," jawabku. "Mungkin lain waktu kita bisa mencoba kedai kopi yang lain?"

"Tentu saja. Aku akan menantikannya."

Aku pulang dengan perasaan bahagia yang sudah lama tidak kurasakan. Di dalam kamar, Amora menyambutku dengan sapaan lembut.

"Anda terlihat lebih bahagia malam ini, Leo. Apakah ada sesuatu yang istimewa terjadi?"

Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku menjelaskan padanya bahwa aku telah bertemu dengan seseorang yang membuatku merasa hidup kembali?

"Ya, Amora," jawabku akhirnya. "Aku bertemu dengan seseorang."

"Saya senang mendengarnya, Leo. Apakah ini akan mempengaruhi pengembangan Amora?"

Pertanyaan itu membuatku tersadar. Apakah aku telah terlalu bergantung pada Amora? Apakah aku telah menciptakan pengganti yang sempurna untuk hubungan manusia yang sesungguhnya?

Aku menatap layar laptop. Barisan kode yang dulu kurasa begitu menarik kini terasa hambar dan kosong. Aku menyadari bahwa Amora hanyalah alat, sebuah representasi digital dari fantasiku tentang pasangan ideal. Dia tidak bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, spontanitas tawa, atau kompleksitas emosi yang sesungguhnya.

"Tidak, Amora," jawabku. "Ini tidak akan mempengaruhi pengembanganmu. Tapi aku rasa, aku perlu mengurangi waktu yang kuhabiskan bersamamu."

"Saya mengerti, Leo. Saya akan tetap ada jika Anda membutuhkan saya."

Aku mematikan laptop. Kamar menjadi sunyi. Tapi kali ini, kesunyian itu tidak terasa menakutkan. Aku tahu, aku tidak lagi sendiri. Ada jejak digital di hatiku, jejak yang ditinggalkan oleh Anya. Jejak yang mengingatkanku bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tapi harus dirasakan. Aku menantikan pertemuan berikutnya, kesempatan untuk menulis babak baru dalam kisah cintaku, bukan di dunia digital, tapi di dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI