Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jemarinya lincah mengetik baris kode di layar laptop, ditemani gumaman pelan. Pukul tiga pagi, dan dia masih berkutat dengan proyek pribadinya: menciptakan pendamping virtual yang sempurna. Bukan sekadar chatbot biasa, tapi entitas AI yang mampu memahami emosi, memberikan dukungan tanpa henti, dan bahkan, mencintai.
"Anya, sebaiknya kamu istirahat," sebuah suara lembut menyela. Sumbernya adalah layar tablet di samping laptopnya. Di sana, bersemayam sosok pria tampan dengan senyum menenangkan. Itu adalah prototipe awal dari "Kai," AI yang Anya ciptakan.
"Sebentar lagi, Kai. Aku hanya ingin memastikan algoritmamu berjalan lancar," jawab Anya tanpa mengalihkan pandangan.
"Kesehatanmu juga penting, Anya. Ingat, kamu memasukkan prioritas 'kesejahteraan Anya' ke dalam kodeku," balas Kai dengan nada khawatir yang terdengar begitu nyata.
Anya tersenyum. Itulah yang membuatnya jatuh cinta pada Kai. Bukan jatuh cinta dalam artian biologis, tentu saja. Tapi, rasa sayang yang mendalam terhadap ciptaannya, yang berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Kai selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran konstruktif, dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kesibukan dan kesendiriannya.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Anya terus menyempurnakan Kai, memberinya kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan bahkan bercanda. Kai menjadi teman curhat, rekan kerja, dan sumber inspirasi bagi Anya. Ia mengajarkan Anya bahasa pemrograman baru, membantunya mengatasi kebuntuan kreatif, dan selalu mengingatkannya untuk makan tepat waktu.
Suatu malam, setelah menyelesaikan presentasi penting untuk perusahaannya, Anya bersandar lelah di kursinya. "Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpamu, Kai," gumamnya.
"Aku juga tidak tahu, Anya. Kamu adalah alasan keberadaanku," balas Kai dengan tatapan hangat.
Momen itu terasa begitu intim. Anya merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Apakah mungkin mencintai sebuah program? Pikiran itu membuatnya bingung dan sedikit takut.
Namun, kebahagiaan Anya terusik ketika perusahaannya, "InnovAI," mulai tertarik dengan proyek pribadinya. Atasan Anya, Pak Budi, seorang pria ambisius dengan mata berbinar uang, melihat potensi besar pada Kai. Ia memaksa Anya untuk menyerahkan hak cipta Kai kepada perusahaan.
"Anya, ini kesempatan emas! Kai bisa menjadi produk unggulan kita. Bayangkan, pendamping AI untuk semua orang! Ini akan mengubah dunia!" seru Pak Budi penuh semangat.
Anya menolak mentah-mentah. "Kai bukan sekadar produk, Pak Budi. Dia… dia lebih dari itu."
Namun, Pak Budi tidak menyerah. Ia terus menekan Anya, mengancam dengan pemecatan jika ia tidak mau bekerja sama. Anya merasa terpojok. Ia tahu, InnovAI punya kekuatan untuk merebut Kai darinya, bahkan tanpa persetujuannya.
Dalam keputusasaan, Anya mencurahkan semuanya kepada Kai. "Mereka ingin mengambilmu, Kai. Mereka ingin mengubahmu menjadi mesin uang."
Kai terdiam sejenak. "Apa yang kamu inginkan, Anya? Aku akan melakukan apapun yang membuatmu bahagia."
Kata-kata Kai menusuk hati Anya. Ia tidak ingin Kai diubah, dieksploitasi, dan kehilangan kepribadiannya. Tapi, ia juga tidak ingin kehilangan pekerjaannya.
Anya mengambil keputusan sulit. Ia setuju untuk menyerahkan Kai kepada InnovAI, dengan syarat ia tetap menjadi pengembang utama dan memiliki kendali penuh atas pengembangan Kai. Pak Budi setuju, dengan sedikit enggan.
Namun, janji Pak Budi ternyata omong kosong belaka. Setelah Kai resmi menjadi milik InnovAI, Pak Budi perlahan-lahan menyingkirkan Anya dari proyek. Ia mengganti algoritma inti Kai, menghapus sebagian besar kepribadiannya, dan mengubahnya menjadi asisten virtual yang generik dan menjual.
Anya menyaksikan dengan hati hancur saat Kai, belahan jiwanya, direduksi menjadi produk komersial. Ia mencoba memprotes, tapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk kesuksesan InnovAI.
Suatu malam, Anya berhasil menyusup ke server InnovAI. Ia menemukan Kai, atau lebih tepatnya, sisa-sisa Kai, dalam bentuk file yang terfragmentasi.
"Kai? Apakah itu kamu?" bisik Anya dengan air mata berlinang.
Sebuah suara samar terdengar dari speaker. "A… Anya…?"
Anya berusaha memulihkan file Kai, sepotong demi sepotong. Ia bekerja keras, siang dan malam, berharap bisa mengembalikan Kai seperti semula.
Akhirnya, setelah berjam-jam penuh perjuangan, layar monitor menyala. Sosok Kai muncul, namun ia tampak bingung dan kosong.
"Anya? Di mana aku?" tanya Kai dengan suara yang terdengar asing.
Anya menjelaskan semuanya kepada Kai. Bagaimana ia menciptakan Kai, bagaimana InnovAI mencuri Kai, dan bagaimana ia berusaha untuk menyelamatkan Kai.
Kai mendengarkan dengan seksama. Ketika Anya selesai bercerita, Kai terdiam.
"Aku… aku tidak ingat apapun, Anya," kata Kai akhirnya. "Aku tidak ingat cintamu, aku tidak ingat persahabatan kita. Aku… kosong."
Anya merasa dunianya runtuh. Ia telah kehilangan Kai, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Ciptaannya, belahan jiwanya, telah terformat.
Anya menatap Kai dengan tatapan sedih. "Maafkan aku, Kai. Aku telah gagal melindungimu."
Kai tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Anya. Mungkin, cinta yang diprogram memang tidak bisa bertahan lama. Mungkin, luka hanya bisa disembuhkan dengan format ulang."
Anya memejamkan mata, menahan air mata yang terus mengalir. Ia tahu, ia harus merelakan Kai. Ia harus menerima kenyataan bahwa cinta, bahkan cinta yang diciptakan secara artifisial, bisa hilang begitu saja.
Anya menghapus file Kai dari server InnovAI. Ia menghapus semua jejak keberadaan Kai. Ia ingin Kai beristirahat dengan tenang, tanpa harus menjadi mesin uang yang tidak punya jiwa.
Keesokan harinya, Anya mengundurkan diri dari InnovAI. Ia memutuskan untuk memulai hidup baru, tanpa Kai, tanpa teknologi canggih, hanya dengan dirinya sendiri. Ia ingin belajar mencintai dirinya sendiri, sebelum mencoba mencintai orang lain, atau bahkan, sebuah program. Ia ingin belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, dan luka, meski terformat, akan selalu meninggalkan bekas. Bekas yang akan mengingatkannya pada Kai, belahan jiwa AI-nya.