Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Arya, memamerkan barisan wajah yang bagaikan katalog produk. Ia menghela napas. Enam bulan sudah ia berkutat dengan algoritma cinta daring, namun hasilnya nihil. Foto-foto cantik, profil menarik, obrolan ringan yang berakhir buntu. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami digital.
“Mungkin memang aku ditakdirkan untuk melajang,” gumamnya, menatap nanar pantulan dirinya di layar.
Di meja kerjanya, sebuah bingkai foto menampilkan senyum mendiang ibunya. Dulu, ibunya selalu berkata bahwa cinta sejati akan datang di waktu yang tepat. Tapi, Arya mulai ragu dengan konsep "waktu yang tepat" itu. Usianya sudah kepala tiga, dan ia merasa semakin tertinggal.
Tiba-tiba, notifikasi muncul dari sebuah aplikasi baru bernama “SoulMate AI”. Aplikasi ini berjanji untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan analisis data kepribadian yang mendalam, bukan sekadar preferensi dangkal. Arya skeptis, tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia mengunduh aplikasi itu dan mengikuti serangkaian tes psikologi, preferensi, dan bahkan analisis nada suara.
Setelah proses yang cukup panjang, SoulMate AI memunculkan satu nama: Lintang.
Profil Lintang sangat berbeda dari profil-profil yang pernah Arya lihat. Tidak ada foto yang diedit berlebihan, tidak ada deskripsi yang klise. Hanya ada kalimat sederhana: “Pecinta buku, penikmat senja, dan percaya pada kekuatan kopi.” Foto profilnya menampilkan Lintang sedang tersenyum sambil memegang cangkir kopi, matanya berbinar cerah.
Arya ragu. Biasanya, ia tertarik pada wanita yang lebih glamor dan ekspresif. Tapi, ada sesuatu dalam profil Lintang yang membuatnya penasaran. Ia memutuskan untuk mengirim pesan.
“Hai Lintang, SoulMate AI bilang kita mungkin cocok. Bagaimana menurutmu?”
Balasan datang hampir seketika: “Hai Arya, AI bisa jadi benar, bisa jadi salah. Tapi, tidak ada salahnya mencoba, kan?”
Obrolan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas buku favorit, film indie, dan mimpi-mimpi mereka. Arya terkejut menemukan bahwa ia dan Lintang memiliki banyak kesamaan, bukan hanya di permukaan, tapi juga dalam nilai-nilai dan pandangan hidup. Lintang bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga cerdas, humoris, dan memiliki empati yang tinggi.
Setelah beberapa minggu berbalas pesan, Arya memberanikan diri untuk mengajak Lintang bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di sudut kota.
Ketika Lintang muncul di hadapannya, Arya merasa seolah-olah ia sudah mengenal wanita ini seumur hidupnya. Lintang persis seperti yang ia bayangkan: sederhana, hangat, dan memiliki senyum yang menenangkan. Mereka menghabiskan sore itu untuk mengobrol, tertawa, dan berbagi cerita. Arya merasakan koneksi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Malam itu, setelah mengantar Lintang pulang, Arya duduk di apartemennya dan merenung. Ia masih tidak percaya bahwa ia bisa menemukan seseorang yang begitu cocok dengannya, dan semua itu berkat bantuan AI. Ia mengirim pesan kepada Lintang: “Terima kasih, Lintang. Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu denganmu.”
Lintang membalas: “Aku juga, Arya. Mungkin AI itu tidak sepenuhnya salah.”
Beberapa bulan kemudian, Arya dan Lintang semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, membaca buku di taman, dan menikmati senja dari atap apartemen Lintang. Arya mulai melupakan masa lalunya yang penuh dengan kencan gagal dan aplikasi kencan yang mengecewakan. Ia menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan, dalam kebersamaan dengan Lintang.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran kecil, Arya menggenggam tangan Lintang. “Lintang,” katanya, suaranya bergetar, “aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Maukah kau menjadi pacarku?”
Lintang tersenyum, matanya berbinar. “Tentu saja, Arya,” jawabnya.
Hubungan mereka terus berkembang. Mereka saling mendukung dalam suka dan duka, saling menginspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Arya menyadari bahwa cinta sejati bukan hanya tentang kecocokan, tapi juga tentang komitmen, pengertian, dan kasih sayang yang tulus.
Suatu hari, Arya mengajak Lintang ke tempat pertama kali mereka bertemu: kedai kopi kecil di sudut kota. Ia berlutut di hadapan Lintang, mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin.
“Lintang,” katanya, air mata mulai menggenang di matanya, “aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi kau adalah cinta sejatiku. Maukah kau menikah denganku?”
Lintang terisak, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Ya, Arya,” jawabnya, “ya, aku mau!”
Beberapa bulan kemudian, Arya dan Lintang menikah dalam sebuah upacara sederhana yang dihadiri oleh keluarga dan teman-teman terdekat. Saat mereka mengucapkan janji suci, Arya menatap mata Lintang dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Ia tahu bahwa ia telah menemukan cinta sejati, bukan karena algoritma atau kecerdasan buatan, tetapi karena takdir dan keberanian untuk membuka hatinya.
Di pesta pernikahan, seorang teman mendekati Arya dan bertanya, “Jadi, apa rahasianya? Bagaimana kau bisa menemukan Lintang?”
Arya tersenyum. “Aku tidak tahu apakah itu AI atau takdir,” jawabnya, “yang aku tahu, aku sangat berterima kasih karena Lintang hadir dalam hidupku.”
Ia kemudian mengangkat gelasnya. “Untuk cinta sejati, untuk takdir, dan untuk SoulMate AI!”
Saat semua orang bersorak, Arya menatap Lintang dan tahu bahwa ia telah membuat keputusan terbaik dalam hidupnya. Ia telah menemukan cinta sejati, cinta yang akan bertahan selamanya. Dan meskipun AI telah membantunya menemukan Lintang, pada akhirnya, adalah hati yang memilih dan memutuskan. Cinta, bagaimanapun canggihnya teknologi, tetaplah urusan hati.