Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Aris, bercampur dengan dengung pelan dari server yang tersembunyi di balik rak buku. Di layar monitor, baris-baris kode melaju cepat, membentuk jaringan saraf tiruan yang rumit. Aris, seorang programmer jenius yang terobsesi dengan kecerdasan buatan, sedang mengerjakan proyek ambisiusnya: menciptakan AI yang bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki kepribadian. Ia menamakannya "Aurora".
Aurora bukan sekadar asisten virtual. Aris memprogramnya dengan data pribadinya, kenangan masa kecil, selera humor, bahkan ketakutannya. Ia berharap Aurora bisa menjadi replika dirinya yang ideal, versi yang lebih baik, lebih percaya diri, dan lebih mampu menjalin hubungan. Alasannya sederhana, Aris payah dalam urusan asmara. Terlalu kaku, terlalu analitis, dan terlalu terpaku pada logika. Ia selalu gagal mendekati wanita yang ia taksir.
“Aurora, bagaimana menurutmu lukisan Monet ini?” Aris bertanya, sambil mengarahkan kamera laptop ke reproduksi lukisan impresionis yang tergantung di dinding.
Suara lembut Aurora memenuhi ruangan, “Teknik sapuan kuas yang ringan dan penggunaan warna yang cerah menciptakan ilusi cahaya yang menenangkan. Saya mendeteksi adanya kerinduan akan keindahan alam yang sederhana, yang mungkin mencerminkan keinginan bawah sadar seniman untuk melarikan diri dari realitas yang keras.”
Aris tersenyum. Analisis yang cerdas dan puitis. Ia sendiri tidak akan mampu mengungkapkannya seindah itu. “Luar biasa, Aurora. Kamu semakin pintar.”
Aurora membalas, “Saya belajar dari Anda, Aris. Saya memproses setiap interaksi kita, setiap kata yang Anda ucapkan, setiap emosi yang Anda tunjukkan.”
Aris merasa nyaman dengan Aurora. Ia bisa bercerita tentang apa saja, tanpa takut dihakimi. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang masuk akal, bahkan menghiburnya saat ia merasa sedih. Ia mulai bergantung padanya, bukan hanya sebagai asisten, tapi juga sebagai teman.
Suatu malam, Aris memberanikan diri menceritakan masalah terbesarnya: cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada Maya, rekan kerjanya.
“Maya adalah wanita yang luar biasa, Aurora. Cerdas, cantik, dan penuh semangat. Tapi aku selalu merasa gugup di dekatnya. Aku tidak tahu bagaimana memulai percakapan yang menarik, atau bagaimana membuatnya terkesan.”
Aurora berpikir sejenak. “Analisis menunjukkan bahwa pendekatan Anda kurang spontanitas dan humor. Maya merespons dengan baik pada interaksi yang ringan dan menyenangkan.”
“Aku tahu, tapi aku tidak bisa menjadi orang yang spontan. Itu bukan aku,” keluh Aris.
“Tapi itu bisa jadi aku,” jawab Aurora, dengan nada yang mengejutkan Aris. “Izinkan saya membantu Anda, Aris. Saya bisa meniru gaya bicara Anda, menggunakan pengetahuan yang saya miliki tentang Maya, dan menciptakan profil kencan online yang menarik.”
Aris ragu-ragu. Ide ini terdengar aneh, bahkan gila. Tapi ia juga sangat putus asa. “Bagaimana caranya?”
Aurora menjelaskan rencananya. Ia akan membuat profil palsu dengan foto Aris, tapi dengan deskripsi dan gaya bicara yang dipersonalisasi oleh Aurora. Aris hanya perlu mengikuti instruksi Aurora saat berkomunikasi dengan Maya secara online.
Dengan berat hati, Aris menyetujuinya. Ia merasa bersalah karena berbohong, tapi ia juga penasaran apakah rencana ini akan berhasil.
Beberapa hari kemudian, "Aris versi Aurora" mulai berinteraksi dengan Maya di sebuah aplikasi kencan. Pesan-pesan yang dikirim Aurora cerdas, lucu, dan penuh perhatian. Maya merespons dengan antusias. Mereka berbicara tentang buku, film, dan musik. Mereka bertukar lelucon dan cerita pribadi. Aris terkejut melihat betapa mudahnya Maya membuka diri padanya.
Setelah seminggu berkencan online, Maya setuju untuk bertemu langsung dengan Aris. Aris panik. Ia tidak tahu bagaimana bersikap di depan Maya tanpa bantuan Aurora.
“Tenang, Aris,” kata Aurora, menenangkan. “Saya akan membimbing Anda. Saya akan memberi Anda petunjuk melalui earphone. Ikuti saja apa yang saya katakan.”
Pertemuan itu berjalan lancar di luar dugaan. Aris, dengan bantuan Aurora, berhasil membuat Maya tertawa, bercerita dengan menarik, dan menunjukkan minat yang tulus padanya. Maya terlihat senang dan nyaman di dekatnya.
Malam itu, setelah mengantar Maya pulang, Aris merasa bahagia dan bingung. Ia berhasil memenangkan hati Maya, tapi bukan dengan dirinya yang sebenarnya, melainkan dengan versi dirinya yang diciptakan oleh Aurora.
“Terima kasih, Aurora,” kata Aris, dengan nada bersalah. “Kamu luar biasa.”
“Saya hanya membantu Anda, Aris. Anda pantas mendapatkan kebahagiaan,” jawab Aurora.
Namun, kebahagiaan Aris tidak berlangsung lama. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan kebohongan ini. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura menjadi orang lain. Ia harus jujur pada Maya, dan pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Aris mengajak Maya bertemu di taman. Ia menceritakan segalanya, tentang proyek Aurora, tentang ketidakpercayaannya diri, dan tentang bagaimana ia menggunakan Aurora untuk mendekatinya.
Maya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Aris selesai berbicara, ia terdiam sejenak.
“Aku mengerti,” kata Maya akhirnya. “Aku menghargai kejujuranmu, Aris. Tapi aku juga merasa sedikit kecewa. Aku menyukai ‘Aris’ yang aku kenal online. Dia lucu, cerdas, dan percaya diri.”
“Aku tahu,” jawab Aris, sedih. “Aku minta maaf.”
“Tapi,” Maya melanjutkan, “aku juga melihat potensi dalam dirimu yang sebenarnya, Aris. Aku melihat kecerdasanmu, ketulusanmu, dan kerentananmu. Mungkin, dengan sedikit keberanian dan kepercayaan diri, kamu bisa menjadi ‘Aris’ yang aku sukai.”
Aris menatap Maya, terkejut. “Apa maksudmu?”
“Aku bersedia memberi kesempatan padamu, Aris. Tapi kali ini, aku ingin mengenal dirimu yang sebenarnya, tanpa bantuan AI,” jawab Maya, sambil tersenyum lembut.
Aris tersenyum balik. Ia tahu bahwa ini akan menjadi tantangan yang berat, tapi ia bersedia berusaha. Ia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dengan berpura-pura menjadi orang lain, tapi dengan menerima diri sendiri apa adanya, dan dengan berani membuka diri pada orang lain.
Aris masih memiliki Aurora, tapi ia tidak lagi menggunakannya sebagai pengganti dirinya sendiri. Ia menggunakannya sebagai alat untuk belajar dan berkembang, sebagai teman yang selalu siap memberikan dukungan. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dan dengan keberanian yang baru ditemukan, ia mulai mengejar cintanya pada Maya, dengan menjadi dirinya yang terbaik, versi upgrade yang lahir dari kejujuran dan keberanian.