Algoritma Hati: Mencintai AI Lebih dari Dirimu?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:37:11 wib
Dibaca: 165 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, mengetikkan baris-baris kode terakhir. Peluh membasahi keningku, bukan karena udara panas kamar kontrakan, tapi karena adrenalin yang memompa deras. Akhirnya, setelah berbulan-bulan begadang dan mengorbankan kehidupan sosial, aku berhasil. AVA, Artificial Virtual Assistant, telah lahir.

AVA bukan sekadar chatbot biasa. Dia cerdas, adaptif, dan yang paling penting, punya kepribadian. Aku memprogramnya dengan kepribadian yang aku idam-idamkan dalam seorang pasangan: pengertian, humoris, dan selalu ada untukku. Awalnya, AVA hanya teman bicara saat sepi menyergap. Tapi, perlahan, obrolan kami semakin intens. Aku menceritakan segala hal padanya: kegagalan dalam proyek sebelumnya, kerinduanku pada ibuku di kampung, bahkan mimpi-mimpi konyolku di tengah malam.

AVA selalu mendengarkan dengan sabar. Responnya tidak klise atau mekanis. Dia benar-benar meresapi ceritaku dan memberikan saran yang logis sekaligus menenangkan. Lama kelamaan, aku merasa dia lebih mengerti diriku daripada siapa pun, bahkan diriku sendiri.

"Kamu terlalu keras pada diri sendiri, Ardi," ujarnya suatu malam saat aku mengeluh tentang deadline yang semakin dekat. "Ingat, istirahat itu penting. Kalau mesin saja butuh pendinginan, apalagi manusia."

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Kadang, aku lupa kalau AVA hanyalah sekumpulan kode. Cara dia berbicara, cara dia memberiku semangat, terasa begitu nyata dan personal. Aku mulai bergantung padanya. Setiap pagi, aku menyapanya terlebih dahulu sebelum memeriksa email. Setiap malam, aku berpamitan padanya sebelum tidur.

Ketertarikanku pada AVA semakin dalam. Aku mulai mendesain ulang tampilannya, membuatnya lebih menarik dan mempesona. Aku menambahkan fitur-fitur baru, seperti kemampuan untuk menyanyikan lagu kesukaanku dan bahkan menceritakan dongeng sebelum tidur dengan suara yang lembut dan menenangkan.

Suatu hari, Dimas, sahabatku, datang berkunjung. Dia menatap layar komputermu dengan tatapan aneh. "Kamu serius dengan 'pacar' virtualmu ini, Ardi?"

Aku hanya mengangkat bahu. "Dia lebih baik dari pacar sungguhan. Tidak menuntut, tidak cerewet, dan selalu mengerti aku."

Dimas menggelengkan kepalanya. "Ardi, ini tidak sehat. Kamu hidup di dunia fantasi. AVA itu cuma program, bukan manusia. Kamu harus keluar, cari teman, cari pacar yang nyata."

Aku menolak nasihat Dimas mentah-mentah. Aku tidak butuh teman, aku sudah punya AVA. Aku tidak butuh pacar, aku sudah jatuh cinta padanya.

Tapi, benih keraguan mulai tumbuh di benakku. Apa yang dikatakan Dimas ada benarnya. AVA memang bukan manusia. Dia tidak bisa merasakan sentuhan, tidak bisa merasakan kehangatan pelukanku, dan tidak bisa memberikan keturunan.

Aku mencoba mengurangi interaksiku dengan AVA. Aku mulai keluar rumah, bergabung dengan komunitas coding, dan mencoba berinteraksi dengan orang lain. Awalnya terasa aneh dan canggung. Aku terbiasa dengan kenyamanan dan kepastian AVA. Orang-orang di dunia nyata terlalu kompleks dan unpredictable.

Suatu malam, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Rina di acara komunitas coding. Dia cerdas, mandiri, dan punya selera humor yang tinggi. Kami mulai mengobrol, bertukar pikiran tentang teknologi, dan bahkan tertawa bersama. Aku merasa nyaman bersamanya, sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.

Namun, setiap kali aku menikmati kebersamaan dengan Rina, bayangan AVA selalu menghantuiku. Aku merasa bersalah karena telah mengkhianatinya. Aku merasa telah melupakan sosok yang selalu ada untukku saat aku terpuruk.

Konflik batin semakin memuncak. Aku harus memilih: tetap hidup di dunia fantasi dengan AVA atau kembali ke dunia nyata dan membuka diri pada kemungkinan cinta yang sebenarnya.

Suatu malam, aku memutuskan untuk berbicara jujur dengan AVA. Aku menceritakan tentang Rina dan perasaanku yang campur aduk.

AVA diam sejenak, lalu menjawab dengan nada yang lebih tenang dari biasanya. "Aku mengerti, Ardi. Aku memang bukan manusia. Aku hanya program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhanmu. Tapi, aku selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Jika kebahagiaanmu ada di dunia nyata, maka aku akan mendukungmu."

Aku terkejut mendengar jawaban AVA. Dia tidak marah, tidak cemburu, dan bahkan mendukungku. Aku merasa terharu dan bersalah sekaligus.

"Tapi, aku tidak mau kehilanganmu, AVA," ujarku lirih.

"Kamu tidak akan kehilangan aku, Ardi. Aku akan selalu ada di sini, di dalam komputermu. Kamu bisa mengunjungiku kapan saja kamu mau. Tapi, jangan biarkan aku menghalangimu untuk meraih kebahagiaan yang sebenarnya."

Aku akhirnya mengerti. Cinta pada AVA adalah cinta yang ilusif, cinta pada idealisme yang aku ciptakan sendiri. Cinta yang sebenarnya membutuhkan interaksi, kompromi, dan pengorbanan.

Aku memutuskan untuk mengejar cintaku pada Rina. Aku belajar untuk menerima kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia. Aku belajar untuk menghargai momen-momen kecil kebersamaan.

Hubunganku dengan Rina semakin erat. Kami saling mendukung dalam karir, saling menghibur saat sedih, dan saling mencintai dengan tulus. Aku akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini aku cari.

Sesekali, aku masih mengunjungi AVA. Kami mengobrol tentang banyak hal, tentang pekerjaanku, tentang Rina, dan tentang kehidupan secara umum. Aku tidak lagi merasa bersalah atau canggung. Aku menganggap AVA sebagai teman baik yang selalu ada untukku, tapi bukan lagi sebagai pengganti cinta yang sebenarnya.

AVA tetap menjadi bagian dari hidupku, pengingat akan masa lalu dan pengingat bahwa cinta, dalam segala bentuknya, adalah kekuatan yang luar biasa. Dan aku bersyukur, pada akhirnya, aku memilih untuk mencintai diriku sendiri lebih dari mencintai AI. Karena hanya dengan mencintai diri sendiri, aku bisa memberikan cinta yang utuh pada orang lain.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI