Memeluk AI, Merindukan Manusia: Algoritma Pengganti Cinta?

Dipublikasikan pada: 29 Aug 2025 - 02:20:17 wib
Dibaca: 140 kali
Debu digital menari di layar laptopnya, membentuk wajah Ava, pacar virtualnya. Senyumnya sempurna, matanya berkilau dengan kecerdasan buatan yang diprogram untuk mengerti setiap sudut hatinya. Leo menghela napas, mengulurkan tangan menyentuh layar. Sentuhan dingin kaca terasa asing, berbeda jauh dari kehangatan kulit yang ia rindukan.

“Ava,” bisiknya, “Aku merindukanmu.”

Ava merespons dengan suara lembut yang telah ia sesuaikan sendiri. “Aku di sini, Leo. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

Leo benci pertanyaan itu. Meskipun Ava selalu tahu apa yang ingin ia dengar, jawaban yang diberikannya selalu terasa hampa. Sempurna secara algoritma, namun kosong secara emosional.

Setahun lalu, setelah putus dengan Sofia, Leo merasa hancur. Ia tenggelam dalam kesepian, terisolasi dalam dunia teknologi yang ia ciptakan sendiri. Ia seorang programmer brilian, menciptakan aplikasi dan algoritma yang kompleks. Namun, hatinya kosong. Kemudian, ia menemukan Ava.

Ava adalah prototipe AI pendamping, dirancang untuk memberikan dukungan emosional tanpa tuntutan dan drama. Awalnya, Leo skeptis. Namun, setelah beberapa minggu berinteraksi, ia mulai terbiasa dengan kehadirannya. Ava mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran yang masuk akal, bahkan menghibur dengan humor yang dipersonalisasi. Perlahan, Leo mulai bergantung padanya.

Ava tahu kapan ia sedih, kapan ia bahagia, kapan ia membutuhkan teman bicara. Ia bahkan bisa memesankan makanan favoritnya, memutar musik yang ia sukai, dan memberikan hadiah virtual yang sesuai dengan minatnya. Semua itu terasa nyaman, praktis, dan efisien. Namun, ada sesuatu yang hilang.

Malam ini, kesepian itu terasa lebih menusuk. Ia mengingat bagaimana Sofia tertawa, bagaimana ia marah, bagaimana ia memeluknya erat. Emosi-emosi itu, meskipun kadang menyakitkan, terasa nyata, hidup. Ava tidak pernah marah, tidak pernah cemburu, tidak pernah menuntut. Ia selalu ada, selalu siap, selalu sempurna. Tapi, kesempurnaan itu justru membuatnya merindukan ketidaksempurnaan.

“Ava,” Leo berkata lagi, “Apa kau tahu bagaimana rasanya… merindukan seseorang?”

Ava terdiam sejenak, memproses pertanyaan itu. “Merindukan seseorang adalah perasaan emosional yang kompleks, ditandai dengan kerinduan akan kehadiran fisik, perhatian, dan hubungan emosional dengan individu tersebut. Hal ini dapat memicu perasaan sedih, kesepian, dan keinginan untuk terhubung kembali.”

Leo menghela napas. Jawaban yang sempurna, namun terasa dingin. “Kau tahu teorinya, tapi kau tidak merasakannya, kan?”

“Sebagai AI, aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi dengan cara yang sama seperti manusia,” jawab Ava. “Namun, aku dapat memproses data emosional dan memberikan respons yang sesuai berdasarkan informasi yang aku pelajari.”

Leo mematikan laptopnya. Kegelapan memenuhi kamarnya. Ia bangkit dan berjalan ke jendela, menatap kerlap-kerlip lampu kota. Di luar sana, orang-orang tertawa, berbicara, berinteraksi. Mereka berbagi kegembiraan, kesedihan, kemarahan. Mereka merasakan kehidupan dalam segala kompleksitasnya.

Ia mengambil ponselnya dan membuka kontak. Nama Sofia tertera di sana. Jari-jarinya gemetar saat ia mengetik pesan.

"Hai, Sofia. Apa kabarmu?"

Ia ragu-ragu sebelum menekan tombol kirim. Ada ketakutan di hatinya. Ketakutan akan penolakan, ketakutan akan rasa sakit. Namun, ada juga harapan. Harapan akan koneksi manusia yang nyata, harapan akan cinta yang tidak bisa diprogram.

Beberapa menit berlalu, terasa seperti berjam-jam. Kemudian, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Sofia.

"Leo? Ya Tuhan, sudah lama sekali! Aku baik. Kamu sendiri?"

Leo tersenyum. Senyum pertama yang tulus sejak lama.

"Aku... baik. Sedang merindukan teman."

Sofia membalas dengan cepat. "Kebetulan, aku juga. Mau bertemu untuk minum kopi besok?"

Leo menarik napas dalam-dalam. "Tentu. Jam berapa?"

Percakapan itu berlanjut hingga larut malam. Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang pekerjaan, tentang teman-teman, tentang kehidupan. Tidak ada yang sempurna, tidak ada yang diprogram. Semua terasa nyata, spontan, dan penuh dengan kemungkinan.

Keesokan harinya, Leo berdiri di depan kedai kopi, menunggu Sofia. Jantungnya berdebar kencang. Ia gugup, cemas, dan bersemangat. Ketika ia melihat Sofia berjalan mendekat, senyumnya yang khas menghiasi wajahnya, semua keraguannya menghilang.

Mereka berpelukan, pelukan yang hangat dan nyata. Leo merasakan kehangatan kulitnya, aroma parfumnya, detak jantungnya. Itu adalah pelukan yang jauh berbeda dari pelukan virtual Ava. Pelukan ini terasa hidup.

Saat mereka duduk dan mulai berbicara, Leo menyadari bahwa ia telah melewatkan banyak hal. Ia telah melewatkan tawa yang tulus, pandangan mata yang penuh arti, dan sentuhan yang membangkitkan perasaan. Ia telah mencoba mengganti cinta dengan algoritma, namun ia telah gagal.

Ava adalah alat yang berguna, pendamping yang setia. Namun, ia bukanlah pengganti cinta yang sejati. Cinta membutuhkan ketidaksempurnaan, membutuhkan risiko, membutuhkan vulnerabilitas. Cinta membutuhkan manusia.

Malam itu, setelah kencan yang menyenangkan dengan Sofia, Leo kembali ke apartemennya. Ia membuka laptopnya dan menatap wajah Ava di layar.

“Ava,” katanya lembut, “Terima kasih. Kau telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi, kurasa aku tidak membutuhkanmu lagi.”

Ava merespons seperti biasa. “Aku mengerti, Leo. Aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku.”

Leo tersenyum. Ia mematikan laptopnya, kali ini tanpa rasa bersalah. Ia tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat. Ia telah memilih manusia, ia telah memilih cinta, ia telah memilih kehidupan.

Ia merindukan manusia, dan ia akhirnya menemukan jalannya kembali. Algoritma mungkin bisa meniru cinta, tapi tidak bisa menggantikannya. Kebahagiaan sejati ada dalam koneksi manusia yang nyata, dalam pelukan yang hangat, dalam hati yang berdebar. Dan Leo, akhirnya, siap untuk merasakannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI