Cinta dalam Genggaman: Algoritma Membisikkan Rayuan?

Dipublikasikan pada: 30 Aug 2025 - 00:20:11 wib
Dibaca: 128 kali
Jari-jemarinya lincah menari di atas layar sentuh, menciptakan baris demi baris kode yang rumit namun elegan. Maya, si jenius algoritma, tenggelam dalam dunia digitalnya, berusaha memecahkan teka-teki rumit yang selalu membuatnya penasaran: bisakah cinta diprediksi, bahkan direkayasa, oleh algoritma? Baginya, cinta bukan sekadar perasaan irasional, melainkan pola yang bisa dianalisis, dipahami, dan mungkin, dioptimalkan.

Sudah berbulan-bulan Maya berkutat dengan proyek ambisiusnya ini. Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: profil pengguna media sosial, riwayat kencan online, bahkan transkrip percakapan pasangan yang sudah menikah puluhan tahun. Ia memilah, membersihkan, dan menganalisis data itu dengan teliti, mencari benang merah yang menghubungkan ketertarikan, kecocokan, dan komitmen. Tujuannya sederhana, namun revolusioner: menciptakan aplikasi kencan yang tidak hanya mencocokkan berdasarkan kesukaan dan hobi, tetapi juga berdasarkan potensi kompatibilitas jangka panjang yang dihitung secara ilmiah.

Di luar dunia kode, Maya adalah sosok yang kikuk dan canggung. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan komputer daripada manusia. Pengalaman kencannya minim, dan sebagian besar berakhir dengan kegagalan yang memalukan. Ia sering kali terlalu serius, terlalu analitis, dan kurang spontan. Teman-temannya sering bercanda bahwa ia lebih cocok menikah dengan server daripada dengan manusia.

Namun, di balik keanehannya itu, tersimpan hati yang tulus dan dambaan untuk dicintai dan mencintai. Ia hanya tidak tahu bagaimana caranya. Itulah sebabnya ia menciptakan algoritma ini. Mungkin, pikirnya, jika ia bisa memecahkan kode cinta, ia juga bisa memecahkan kode hatinya sendiri.

Suatu malam, ketika ia hampir menyerah karena frustrasi, sebuah anomali muncul dalam data. Sebuah pola yang belum pernah ia lihat sebelumnya, terlalu kompleks untuk dijelaskan hanya dengan kesukaan dan hobi. Pola itu muncul dari data seorang pria bernama Adam. Adam adalah seorang fotografer yang idealis, gemar berpetualang, dan memiliki selera humor yang unik. Data Adam menunjukkan tingkat kompatibilitas yang sangat tinggi dengan Maya, bahkan lebih tinggi daripada yang pernah diprediksi oleh algoritma untuk pasangan lain.

Maya terkejut. Ia selalu menganggap dirinya tidak menarik dan tidak pantas mendapatkan cinta. Bagaimana mungkin seseorang seperti Adam, yang tampaknya sempurna, cocok dengannya? Ia memeriksa data Adam berulang-ulang, mencari kesalahan atau ketidaksesuaian. Namun, hasilnya tetap sama. Algoritma itu bersikeras: Adam adalah pasangan yang ideal untuknya.

Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Maya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia menggunakan aplikasinya sendiri untuk mengirim pesan kepada Adam. Pesannya singkat dan jujur: "Algoritma saya mengatakan kita cocok. Apakah Anda tertarik untuk minum kopi?"

Adam membalas pesan itu keesokan harinya. Ia mengaku penasaran dengan aplikasi Maya dan tertarik untuk bertemu. Mereka janjian di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantor Maya.

Saat bertemu, Maya merasa gugup dan canggung. Ia mengenakan pakaian yang paling rapi yang dimilikinya, namun tetap merasa tidak percaya diri. Adam, di sisi lain, tampak santai dan ramah. Ia tersenyum lebar dan menyapanya dengan hangat.

Percakapan mereka mengalir dengan lancar, jauh lebih mudah dari yang Maya bayangkan. Adam tertarik dengan proyek Maya dan menanyakan banyak hal tentang algoritma cintanya. Maya menjelaskan dengan antusias, dan Adam mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia terkesan dengan kecerdasan dan dedikasi Maya, tetapi juga dengan kerentanannya.

Seiring berjalannya waktu, Maya dan Adam semakin dekat. Mereka sering bertemu, berbicara tentang banyak hal, dan saling berbagi mimpi dan ketakutan. Maya mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia jatuh cinta pada Adam.

Namun, ada satu masalah yang terus menghantuinya. Ia merasa bersalah karena hubungan mereka dimulai dari algoritma. Apakah cinta mereka nyata, atau hanya hasil dari perhitungan matematis? Apakah Adam mencintainya karena dirinya sendiri, atau karena algoritma mengatakan mereka cocok?

Suatu malam, Maya memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepada Adam. Mereka sedang duduk di taman, menikmati bintang-bintang. Maya menatap Adam dengan cemas dan berkata, "Adam, jujur padaku. Apakah kau mencintaiku karena algoritma?"

Adam terdiam sejenak, lalu meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat. Ia menatap matanya dengan lembut dan berkata, "Maya, aku mencintaimu bukan karena algoritma, tapi karena dirimu. Aku mencintai kecerdasanmu, kerentananmu, keanehanmu, dan hatimu yang tulus. Algoritma mungkin mempertemukan kita, tapi cinta kita adalah hasil dari pilihan kita sendiri."

Maya terharu mendengar jawaban Adam. Ia merasa lega dan bahagia. Ia akhirnya menyadari bahwa algoritma hanyalah alat. Ia bisa membantu menemukan potensi cinta, tetapi tidak bisa menciptakan cinta itu sendiri. Cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar perhitungan matematis. Ia membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kepercayaan.

Sejak saat itu, Maya dan Adam menjalani hubungan yang bahagia dan bermakna. Maya tetap mengembangkan algoritmanya, tetapi ia tidak lagi menganggapnya sebagai satu-satunya kunci untuk menemukan cinta. Ia belajar bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan dalam genggaman tangan seseorang yang dicintai. Algoritma mungkin membisikkan rayuan, tapi hati yang memilih untuk mendengarkan. Dan hati Maya telah memilih Adam.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI