AI: Ketika Algoritma Memutuskan Siapa Belahan Jiwaku

Dipublikasikan pada: 09 Aug 2025 - 00:00:20 wib
Dibaca: 179 kali
Aplikasi itu bernama SoulMate AI. Katanya, algoritma super canggih yang bisa menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak seseorang, lalu mencocokkannya dengan individu lain yang paling kompatibel. Di era ketika kencan online terasa seperti lautan informasi yang menyesatkan, SoulMate AI menjanjikan kepastian. Kepastian akan cinta sejati.

Awalnya, Maya skeptis. Ia lebih suka bertemu orang secara organik, menikmati kebetulan dan percakapan spontan yang tumbuh menjadi sesuatu yang bermakna. Tapi, setelah serangkaian kencan yang mengecewakan—yang satu terlalu terobsesi dengan kripto, yang lain lebih tertarik pada kebugaran daripada percakapan—Maya menyerah. Ia mengunduh SoulMate AI.

Prosesnya terasa invasif. Aplikasi itu meminta data diri yang detail, riwayat kencan, mimpi-mimpi terpendam, bahkan daftar film yang membuatnya menangis. Kemudian, ada tes kepribadian yang aneh, memindai ekspresi wajah saat Maya menonton video-video emosional, dan yang paling menakutkan, tes EEG singkat untuk memetakan aktivitas otaknya.

Seminggu kemudian, notifikasi muncul. "SoulMate AI telah menemukan pasangan idealmu." Jantung Maya berdebar kencang. Aplikasi itu menampilkan profil seorang pria bernama Adrian. Foto profilnya menunjukkan wajah yang ramah, dengan mata cokelat yang hangat dan senyum tipis yang menenangkan. Adrian seorang arsitek lanskap, menyukai musik jazz, dan hobi mendaki gunung. Semua yang Maya sukai.

Deskripsi kepribadiannya juga terdengar sempurna: "Intuitif, kreatif, dan memiliki empati yang tinggi." Algoritma SoulMate AI meyakinkan bahwa mereka memiliki kecocokan 98.7%. Angka yang absurd, tapi entah kenapa, Maya merasa terhipnotis.

Ia mengirim pesan kepada Adrian. Balasannya datang hampir seketika. Mereka mulai mengobrol, membahas buku favorit, film-film klasik, dan mimpi-mimpi tentang perjalanan keliling dunia. Adrian terdengar cerdas, lucu, dan perhatian. Maya merasa seperti mengenalinya seumur hidup.

Setelah seminggu berkirim pesan, mereka sepakat untuk bertemu. Kafe kecil di pusat kota, tempat yang sering dikunjungi Maya. Saat Adrian tiba, Maya langsung merasa ada sesuatu yang aneh. Dia tampan, ya, seperti di foto profil. Tapi, ada sesuatu yang kurang. Senyumnya tampak sedikit dipaksakan, dan tatapan matanya tidak sehangat yang ia bayangkan.

Percakapan mereka canggung. Mereka membahas topik yang sudah mereka obrolkan di aplikasi, tapi tanpa percikan api yang sama. Adrian menjawab pertanyaan Maya dengan tepat, seolah dia sedang membaca naskah. Dia tahu apa yang seharusnya dia katakan, tapi tidak ada emosi yang tulus di balik kata-katanya.

Maya mencoba untuk tidak kecewa. Mungkin mereka hanya gugup. Mungkin dibutuhkan waktu untuk membangun koneksi yang nyata. Tapi, semakin lama mereka duduk di sana, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang salah.

Di tengah percakapan, telepon Adrian berdering. Dia melihat layar, lalu meminta maaf. "Maaf, ini dari SoulMate AI. Mereka mengingatkan saya untuk menanyakan tentang pengalamanmu mendaki Gunung Rinjani."

Maya membeku. Dia tidak pernah mendaki Gunung Rinjani. Dia hanya menyebutkan bahwa dia ingin mendakinya suatu hari nanti.

Adrian melanjutkan, "Jadi, bagaimana pengalamanmu? Apakah pemandangannya seindah yang digambarkan?"

Maya merasa mual. "Adrian," katanya dengan suara pelan, "apa kau benar-benar ingat apa yang kita obrolkan, atau kau hanya membaca skrip dari aplikasi?"

Adrian terdiam. Dia menunduk, lalu menghela napas panjang. "Sejujurnya, Maya, aku... aku hanya mengikuti instruksi dari SoulMate AI."

Dia menjelaskan bahwa aplikasi itu tidak hanya mencocokkan mereka, tapi juga memberikan panduan lengkap tentang bagaimana berinteraksi. Daftar topik yang harus dibahas, pertanyaan yang harus diajukan, bahkan emoji yang harus dia gunakan. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan peluang mereka untuk jatuh cinta.

Maya merasa dikhianati. Bukan oleh Adrian, tapi oleh gagasan tentang cinta yang difabrikasi oleh algoritma. Dia berdiri, meraih tasnya, dan mengucapkan selamat tinggal tanpa menoleh ke belakang.

Malam itu, Maya menghapus SoulMate AI dari ponselnya. Ia merasa bodoh karena mempercayai janji kosong tentang cinta yang diprogram. Cinta bukan persamaan matematika yang bisa diselesaikan dengan data dan algoritma. Cinta adalah sesuatu yang liar, tidak terduga, dan tumbuh secara organik dari koneksi manusia yang tulus.

Beberapa minggu kemudian, Maya bertemu dengan seorang pria di toko buku. Dia sedang mencari buku yang sama dengan yang ingin dibelinya. Mereka bertukar senyum, lalu memulai percakapan tentang penulis favorit mereka. Namanya Leo, seorang musisi yang sedang mencari inspirasi untuk album barunya.

Percakapan mereka mengalir begitu saja, tanpa skrip, tanpa instruksi, tanpa algoritma. Mereka tertawa, berdebat, dan saling berbagi cerita. Maya merasa nyaman dan terbuka, seolah dia mengenal Leo seumur hidup.

Setelah beberapa jam, Leo mengajaknya minum kopi. Mereka duduk di kafe kecil, tertawa, dan berbicara hingga larut malam. Maya menyadari bahwa dia sedang merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang jauh lebih nyata, lebih dalam, dan lebih bermakna daripada apa pun yang dijanjikan oleh SoulMate AI.

Di penghujung malam, Leo mengantarnya pulang. Di depan pintu rumahnya, mereka berpamitan. Sebelum pergi, Leo menatap mata Maya dengan tatapan yang tulus. "Aku sangat senang bertemu denganmu, Maya," katanya. "Mungkin... mungkin kita bisa melakukan ini lagi?"

Maya tersenyum. "Aku sangat ingin."

Saat Leo pergi, Maya masuk ke dalam rumah. Dia bersandar di pintu, merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi dia tahu bahwa dia telah menemukan sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun. Sesuatu yang nyata.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Maya merasa yakin bahwa cinta sejati masih mungkin ditemukan. Bukan melalui aplikasi, tapi melalui pertemuan yang tak terduga, percakapan yang tulus, dan koneksi manusia yang mendalam. Cinta, pada akhirnya, adalah tentang mengambil risiko dan membuka hati untuk kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI