Jendela apartemenku memantulkan wajahku yang lelah. Di luar, gemerlap kota Neo-Jakarta berkilauan, menawarkan hiburan yang nyaris tak terbatas. Namun, di balik semua kemewahan itu, aku merasa hampa. Umurku tiga puluh lima, karirku di bidang AI stabil, tapi soal asmara? Nol besar. Semua kencan yang kuhadiri, hasil rekomendasi aplikasi kencan konvensional, selalu berakhir dengan kekecewaan.
"Mungkin aku memang ditakdirkan untuk hidup sendiri dengan koleksi figur animeku," gumamku sambil menyesap kopi pahit.
Kemudian, iklan itu muncul di layar tabletku. "Hati yang Dipindai: Temukan Cinta Sejati Melalui Algoritma Revolusioner." Aku nyaris mengabaikannya. Iklan klise. Tapi kemudian, deskripsi yang lebih detail menarik perhatianku. Algoritma yang dikembangkan oleh "Proyek Aurora" menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data neurologis. Bukan sekadar preferensi, tapi pemetaan aktivitas otak saat merasakan kebahagiaan, ketertarikan, dan empati.
"Omong kosong," bisikku, tapi jariku sudah mengklik tautan itu.
Proses pendaftaran cukup rumit. Aku harus mengisi kuesioner psikologis yang panjangnya minta ampun, kemudian menjalani serangkaian tes menggunakan perangkat EEG portabel yang mereka kirim. Aku merasa seperti kelinci percobaan, tapi rasa penasaran mengalahkan skeptisisme.
Beberapa minggu kemudian, aku menerima email dari Proyek Aurora. "Hasil Pemindaian Anda Siap." Jantungku berdebar tak karuan. Aku membuka file PDF yang terlampir. Grafik dan angka memenuhi layar. Dijelaskan di sana, pola aktivitas otakku dianalisis dan dibandingkan dengan ribuan profil lain.
"Peluang Kecocokan Tertinggi: Subjek AU-789, bernama Anya Kusuma," aku membaca.
Nama itu asing bagiku. Di bawahnya, tertera informasi singkat: Anya, 32 tahun, arsitek lanskap, menyukai kopi hitam dan musik jazz. Aku tersenyum sinis. Kedengarannya terlalu sempurna.
Aku memutuskan untuk mengambil risiko. Melalui aplikasi Proyek Aurora, aku mengirim Anya pesan singkat: "Halo Anya, saya Adam, dari Proyek Aurora juga. Suka kopi hitam dan jazz, ya?"
Balasan datang hampir seketika: "Hai Adam! Astaga, aku pikir ini semua penipuan. Senang bertemu denganmu."
Kami bertukar pesan selama beberapa hari. Ternyata, Anya bukan hanya menyukai kopi hitam dan jazz. Dia juga memiliki selera humor yang sama, pandangan hidup yang serupa, dan ketertarikan yang tulus pada bidang AI yang kugeluti. Rasanya seperti berbicara dengan separuh diriku yang hilang.
Akhirnya, kami memutuskan untuk bertemu. Aku memilih sebuah kafe jazz kecil di pusat kota. Saat Anya tiba, aku terkejut. Dia lebih cantik dari foto profilnya. Rambut hitamnya yang panjang tergerai bebas, matanya berbinar cerah, dan senyumnya tulus.
Malam itu, kami berbicara selama berjam-jam. Tentang mimpi, ketakutan, dan harapan kami. Tentang algoritma cinta yang mempertemukan kami. Aku merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya.
"Aku masih tidak percaya ini nyata," kata Anya sambil menatapku dengan mata berbinar.
"Aku juga," jawabku. "Mungkin algoritma itu ada benarnya."
Beberapa bulan berlalu. Hubunganku dengan Anya semakin erat. Kami menjelajahi kota bersama, mengunjungi konser jazz, dan mendiskusikan ide-ide gila tentang masa depan teknologi. Aku merasa hidupku akhirnya memiliki makna.
Namun, di balik kebahagiaan ini, ada keraguan yang menggerogoti. Apakah cinta ini sungguh tulus, atau hanya hasil kalkulasi algoritma yang rumit? Apakah aku mencintai Anya karena dia benar-benar orang yang kupuja, atau karena otaknya cocok dengan otakku?
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Anya, pernahkah kamu merasa… ragu tentang semua ini? Tentang bagaimana kita bertemu?"
Anya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Adam, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku juga pernah merasakannya. Awalnya, aku juga bertanya-tanya apakah ini semua hanya rekayasa. Tapi kemudian, aku menyadari sesuatu."
Dia meraih tanganku dan menatapku dalam-dalam. "Algoritma itu mungkin telah mempertemukan kita, tapi algoritma tidak bisa menciptakan perasaan. Aku mencintaimu bukan karena otaknya cocok dengan otakku. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu. Karena kejujuranmu, kebaikanmu, dan caramu membuatku tertawa."
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku menggenggam tangannya erat-erat. "Aku juga mencintaimu, Anya. Bukan karena algoritma, tapi karena kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa utuh."
Kami berciuman di bawah lampu temaram restoran itu. Aku tahu, keraguan mungkin akan selalu ada. Tapi, pada saat itu, yang terpenting adalah cinta kami nyata, tulus, dan kuat.
Beberapa tahun kemudian, aku dan Anya berdiri di altar, mengucapkan janji setia seumur hidup. Di antara para tamu, ada tim dari Proyek Aurora, tersenyum bangga. Mereka mungkin telah menciptakan algoritma yang mempertemukan kami, tapi merekalah yang menjadi saksi cinta kami.
Saat aku menatap mata Anya, aku tahu bahwa hati kami, yang dulunya dipindai dan dianalisis, kini telah menyatu. Algoritma mungkin telah membantu kami menemukan cinta sejati, tapi kamilah yang memutuskan untuk merawatnya, memeliharanya, dan menjaganya selamanya. Karena pada akhirnya, cinta sejati bukanlah tentang kecocokan algoritmik, tapi tentang pilihan untuk saling mencintai, apa pun yang terjadi. Dan aku memilih Anya, selamanya.