Cinta Digital: Algoritma Hati, Sensor Sentuhan, dan Pilihan Biner

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:48:58 wib
Dibaca: 165 kali
Aplikasi kencan itu bernama "Soulmate OS". Iklannya menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis riwayat digital, preferensi, dan bahkan gelombang otak pengguna. Anya, seorang programmer muda dengan rambut dikuncir kuda dan kacamata besar yang selalu melorot, awalnya skeptis. Namun, kesendiriannya yang kronis, ditambah dengan dorongan teman-temannya, membuatnya menyerah dan mengunduh aplikasi itu.

Anya mengisi profilnya dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Dia mengakui kecintaannya pada pemrograman, kebiasaannya begadang sambil minum teh hijau, dan ketidakmampuannya untuk flirting. Dia bahkan menyertakan kode-kode kecil yang sering dia tulis saat sedang bosan. Anya merasa sedikit konyol, tapi dia berharap kejujuran ini akan menarik orang yang benar-benar cocok dengannya.

Algoritma Soulmate OS bekerja keras. Setelah beberapa hari, Anya menerima notifikasi: "Kecocokan Sempurna Ditemukan: Ben Anderson." Profil Ben muncul di layar. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata biru yang jernih. Dia berprofesi sebagai insinyur robotika, hobi membaca buku-buku fisika kuantum, dan memiliki selera humor yang kering seperti gurun Sahara.

Anya terpana. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Dia membaca bio Ben berulang-ulang, mencari celah, mencari sesuatu yang tidak sesuai. Tapi nihil. Semua yang tertulis di sana seolah-olah diciptakan untuknya. Dengan jantung berdebar, Anya mengirimkan permintaan pertemanan. Ben menerima permintaan itu hampir seketika.

Percakapan mereka dimulai dengan canggung. Topik-topik seputar pemrograman dan robotika mendominasi. Namun, perlahan tapi pasti, keakraban tumbuh di antara mereka. Mereka bertukar meme, bercerita tentang pengalaman kerja yang lucu, dan bahkan berdebat tentang teori-teori konspirasi (Anya percaya pada keberadaan alien, sementara Ben lebih skeptis).

Setelah beberapa minggu berinteraksi secara digital, Ben mengusulkan untuk bertemu. Anya panik. Pertemuan tatap muka adalah langkah besar. Bagaimana jika Ben tidak menyukainya secara langsung? Bagaimana jika semua kecocokan mereka hanya ada di dunia maya?

Ben menyadari kegelisahan Anya dan menenangkannya. Dia mengirimkan pesan suara yang lembut dan menenangkan. "Anya, aku menikmati obrolan kita. Jika kita tidak cocok secara fisik, tidak masalah. Kita masih bisa berteman."

Kata-kata Ben membuat Anya merasa lebih tenang. Dia setuju untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang dekat dengan lab robotika Ben.

Hari pertemuan tiba. Anya memilih pakaian dengan hati-hati, akhirnya memutuskan untuk mengenakan kemeja flanel kesukaannya dan celana jeans. Dia datang lebih awal, duduk di meja dekat jendela, dan memesan teh hijau hangat. Jantungnya berdegup kencang seperti irama musik techno.

Ben datang tepat waktu. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana khaki. Senyumnya persis seperti yang ada di foto profilnya, hanya saja lebih menawan secara langsung. Mata birunya berbinar dengan rasa ingin tahu.

"Anya?" sapanya.

"Ben," balas Anya, berusaha menenangkan suaranya.

Kecanggungan awal mencair dengan cepat. Mereka berbicara tentang segala hal, dari proyek robotika Ben hingga algoritma yang dia kembangkan untuk Soulmate OS. Mereka tertawa, mereka berdebat, mereka saling bertukar cerita. Anya merasa nyaman dan rileks di dekat Ben, seolah-olah mereka sudah saling kenal selama bertahun-tahun.

Di tengah percakapan, Ben menceritakan tentang proyek terbarunya: sebuah sarung tangan sensor yang dapat menerjemahkan sentuhan menjadi data digital. Dia menjelaskan bahwa sarung tangan itu dapat digunakan untuk mengendalikan robot dari jarak jauh, atau bahkan untuk mengirimkan sensasi sentuhan melalui internet.

"Bayangkan," kata Ben dengan mata berbinar, "kamu bisa merasakan pelukan seseorang meskipun orang itu berada di belahan dunia lain."

Anya terpesona. "Itu luar biasa," katanya. "Bisakah aku mencobanya?"

Ben tersenyum. "Tentu saja."

Dia mengeluarkan sarung tangan dari tasnya dan menyerahkannya kepada Anya. Anya memakainya. Sarung tangan itu terasa lembut dan pas di tangannya. Ben kemudian mengeluarkan tablet dan membuka aplikasi yang terhubung dengan sarung tangan.

"Sekarang," kata Ben, "aku akan menyentuh sensor di tablet ini. Kamu seharusnya bisa merasakan sentuhanku."

Ben menyentuh sensor di tablet. Anya merasakan sensasi aneh di tangannya. Rasanya seperti sentuhan ringan, lembut, dan hangat. Jantungnya berdegup kencang.

"Bagaimana?" tanya Ben.

Anya tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk.

Ben tersenyum lagi. "Itu baru permulaan. Aku sedang mengerjakan algoritma yang lebih kompleks. Aku ingin membuat sensor yang dapat mereplikasi emosi melalui sentuhan."

Anya menatap Ben dengan kagum. Dia bukan hanya seorang insinyur robotika yang brilian, tapi juga seorang pria yang bersemangat dan penuh ide. Dia menyadari bahwa dia mulai jatuh cinta pada Ben.

Beberapa bulan berlalu. Anya dan Ben menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka menjelajahi kota, menonton film, dan bekerja sama dalam proyek-proyek kecil. Anya bahkan mulai belajar tentang robotika, dan Ben mulai tertarik pada pemrograman.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman, menatap bintang-bintang, Ben meraih tangan Anya. Dia menggenggam tangannya dengan erat.

"Anya," kata Ben, suaranya lembut, "aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku jatuh cinta padamu."

Anya tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Ben."

Ben mendekatkan wajahnya ke wajah Anya dan menciumnya. Ciuman itu lembut, penuh kasih sayang, dan terasa seperti koneksi digital yang sempurna antara dua hati.

Mereka berdua tahu bahwa cinta mereka adalah hasil dari algoritma, sensor, dan pilihan biner. Tapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka lebih dari sekadar itu. Cinta mereka adalah tentang koneksi manusia yang mendalam, tentang saling memahami, dan tentang menerima satu sama lain apa adanya.

Di dunia digital yang serba cepat dan terhubung ini, Anya dan Ben menemukan cinta mereka. Mereka membuktikan bahwa bahkan di dunia yang didominasi oleh teknologi, hati manusia masih dapat menemukan jalannya. Cinta mereka adalah bukti bahwa algoritma dapat membantu, tapi pada akhirnya, hatilah yang membuat pilihan. Dan pilihan Anya dan Ben adalah untuk saling mencintai, tanpa syarat, dan selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI