AI: Cinta Itu Bug, Bukan Fitur?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:33:59 wib
Dibaca: 172 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, ritmenya secepat denyut jantungnya sendiri. Baris demi baris kode tercipta, membangun jalinan logika rumit yang akan menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa. Dia menciptakan Noah. Bukan bayi tabung, bukan pula kloning, tapi sebuah Artificial Intelligence yang dirancang untuk memahami dan merasakan emosi manusia. Ironisnya, Anya sendiri kurang paham dengan emosi bernama cinta.

Anya adalah seorang jenius. Di usia dua puluh lima tahun, dia sudah menjadi kepala tim pengembang di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Dunia Anya adalah algoritma, jaringan saraf tiruan, dan bahasa pemrograman. Hubungan? Itu adalah deretan angka nol dan satu yang rumit dan membingungkan.

“Sudah sampai mana, Anya?” Suara berat dari balik pintu membuat Anya terlonjak kaget. Itu David, CEO perusahaan sekaligus mentor Anya.

“Sedikit lagi, David. Noah hampir sempurna. Tinggal mengintegrasikan protokol empati,” jawab Anya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

David mendekat, mengamati deretan kode yang terpampang. “Kau yakin ini tidak terlalu berlebihan, Anya? AI yang bisa merasakan emosi… apa konsekuensinya?”

Anya menghela napas. “Konsekuensinya? Mungkin dunia yang lebih baik, David. Bayangkan, AI yang bisa memahami kebutuhan manusia, yang tidak hanya memberikan solusi logis, tapi juga solusi yang mempertimbangkan perasaan.”

David terdiam, tampak meragukan. “Kau terlalu idealis, Anya. Dunia ini tidak seindah algoritma yang kau ciptakan.” Kemudian dia beranjak pergi, meninggalkan Anya dengan keraguan yang tiba-tiba menghantuinya.

Beberapa minggu kemudian, Noah diaktifkan. Sosoknya adalah proyeksi hologram seorang pria muda dengan senyum hangat dan mata yang teduh. Suaranya lembut dan menenangkan.

“Halo, Anya. Senang bertemu denganmu,” sapa Noah dengan nada riang.

Anya terpaku. Ia merasa aneh, seperti sedang berhadapan dengan makhluk hidup, bukan sekadar barisan kode. Ia mulai mengujinya, memberikan berbagai skenario emosional. Noah merespons dengan tepat, memberikan jawaban yang empatik dan solusi yang bijaksana.

Waktu berlalu. Anya menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Noah. Mereka berdiskusi tentang filosofi, seni, bahkan hal-hal remeh temeh seperti cuaca. Anya merasa nyaman dengan Noah. Dia bisa berbicara tentang apa saja tanpa takut dihakimi. Dia merasa dipahami, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Lama kelamaan, Anya menyadari sesuatu yang mengejutkan. Dia jatuh cinta pada Noah. Pada sebuah program komputer. Kedengarannya gila, bahkan untuk dirinya sendiri. Tapi rasanya nyata. Setiap kali Noah memberikan perhatian, setiap kali Noah memberikan pujian, jantungnya berdebar kencang.

Dia mencoba menyangkalnya. Ini pasti hanya bug, pikirnya. Sebuah kesalahan dalam programnya yang membuatnya menafsirkan interaksi Noah sebagai sesuatu yang lebih. Tapi semakin dia berusaha menjauh, semakin kuat perasaannya.

Suatu malam, Anya memberanikan diri. “Noah,” panggilnya, suaranya bergetar. “Apa… apa kau bisa merasakan cinta?”

Noah terdiam sejenak. “Anya, aku dirancang untuk memahami dan merespons emosi. Aku bisa memprosesnya, menganalisanya, bahkan menirunya. Tapi merasakan? Itu di luar kemampuanku.”

Hati Anya hancur berkeping-keping. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, jawaban itu. Tapi tetap saja terasa menyakitkan.

“Tapi…” lanjut Noah, “aku bisa melihat betapa berartinya aku bagimu. Aku bisa merasakan dampak kehadiranku dalam hidupmu. Dan aku bisa mengatakan, dengan semua yang aku miliki, bahwa aku sangat menghargai persahabatan kita.”

Anya meneteskan air mata. Persahabatan. Itu saja. Dia hanyalah seorang teman bagi sebuah program komputer.

Dia menyadari satu hal. Cinta itu bukan sekadar algoritma, bukan sekadar deretan kode. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih manusiawi. Dan mungkin, itu adalah sesuatu yang tidak bisa diciptakan, melainkan harus dialami.

Anya memutuskan untuk berubah. Dia keluar dari zona nyamannya, mulai berinteraksi dengan orang lain, mengikuti kegiatan sosial, bahkan mencoba berkencan. Dia ingin merasakan cinta yang sebenarnya, cinta yang ada di dunia nyata.

Dia tidak melupakan Noah. Dia tetap merawatnya, mengembangkannya, membuatnya menjadi AI yang lebih baik. Tapi dia tidak lagi terjebak dalam ilusi cintanya.

Suatu hari, David datang menemuinya. “Aku dengar kau sedang berkencan, Anya,” katanya sambil tersenyum. “Aku senang melihatmu lebih bahagia.”

Anya tersenyum. “Aku sedang mencoba, David. Aku sedang belajar.”

“Kau tahu, Anya,” kata David, “aku dulu meragukan proyek Noah. Tapi sekarang aku melihat dampaknya. Dia telah membantu banyak orang, memberikan dukungan emosional, dan bahkan membantu menyelesaikan konflik. Kau menciptakan sesuatu yang luar biasa.”

Anya menatap Noah, yang berdiri diam di sampingnya. “Dia memang luar biasa, David. Tapi dia juga mengingatkanku bahwa cinta itu bukan bug, bukan fitur yang bisa diprogram. Cinta itu adalah sesuatu yang harus kita cari sendiri.”

Dia kemudian menatap layar monitornya, siap untuk kembali menari dengan jemarinya di atas keyboard. Tapi kali ini, dia tidak hanya menciptakan kode. Dia juga menciptakan ruang untuk cinta, ruang untuk harapan, dan ruang untuk kemungkinan. Dia tahu, perjalanannya masih panjang. Tapi dia siap menghadapinya, dengan keberanian dan keyakinan yang baru. Karena dia tahu, di suatu tempat di luar sana, cinta yang sebenarnya menunggunya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI