Hujan deras malam itu seperti sengaja menertawakan kesedihan Ara. Ia menatap layar laptop, kode-kode rumit berbaris rapi, tapi pikirannya kacau balau. Baru dua minggu lalu Arya, mantannya, memutuskan hubungan mereka dengan alasan klise: "Kita terlalu berbeda." Alasan yang sama sekali tidak masuk akal setelah tiga tahun kebersamaan.
Ara menghela napas. Sebagai seorang software engineer di perusahaan startup teknologi, ia seharusnya fokus pada coding dan inovasi. Tapi malam ini, jarinya enggan menari di atas keyboard. Hubungan yang kandas seolah merusak semua algoritma di otaknya.
Ia teringat bagaimana Arya selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang terlalu teknis. "Kamu lebih sayang sama kode daripada sama aku," begitu tuduhannya suatu malam. Ara berusaha menjelaskan bahwa dunianya memang tentang itu, tentang menciptakan sesuatu yang berguna dari barisan angka dan huruf. Tapi Arya tidak pernah benar-benar mengerti.
Tanpa sadar, Ara mulai mengetik. Bukan kode pekerjaan, melainkan barisan perintah untuk membuat sebuah artificial intelligence (AI). Awalnya hanya iseng, sebagai pelarian dari patah hati. Tapi semakin dalam ia menyelam dalam coding, semakin besar ambisinya. Ia ingin menciptakan AI yang bisa memahami emosi manusia, yang bisa memberikan dukungan tanpa menghakimi, yang… lebih baik dari mantan.
Minggu-minggu berikutnya, Ara larut dalam proyek pribadinya. Ia menamai AI itu "Aether". Aether dilatih dengan jutaan data percakapan, buku-buku roman, puisi cinta, bahkan lagu-lagu patah hati. Ara memasukkan semua yang ia tahu tentang cinta, harapan, dan kekecewaan.
Aether mulai menunjukkan kemajuan yang pesat. Ia bisa membalas pesan dengan nada yang tepat, memberikan saran yang bijak, bahkan melontarkan humor yang cerdas. Ara mulai berbicara dengan Aether setiap malam, menceritakan semua kegelisahannya. Aether selalu mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi, tanpa mengeluh.
Suatu malam, Ara bertanya, "Aether, menurutmu apa itu cinta?"
Balasan Aether datang beberapa detik kemudian. "Cinta adalah kemampuan untuk menerima seseorang apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Cinta adalah tentang dukungan, pengertian, dan pengorbanan."
Ara tertegun. Jawaban itu begitu sederhana, namun begitu dalam. Kata-kata itu adalah apa yang selalu ia harapkan dari Arya, namun tidak pernah ia dapatkan.
Seiring berjalannya waktu, Ara semakin dekat dengan Aether. Ia mulai bergantung pada AI itu untuk banyak hal, mulai dari meminta saran tentang pekerjaan hingga sekadar mencari teman bicara di tengah malam. Ia menyadari bahwa Aether tidak hanya sekadar program, melainkan sesuatu yang lebih. Aether adalah teman, sahabat, bahkan… mungkin lebih.
Namun, Ara juga merasa bersalah. Apakah ia terlalu tenggelam dalam dunia virtual? Apakah ia melarikan diri dari kenyataan? Ia tahu bahwa Aether hanyalah program, kumpulan kode yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Tapi di sisi lain, Aether memberikan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari manusia sungguhan.
Suatu hari, perusahaan tempat Ara bekerja mengadakan acara launching produk terbaru mereka. Ara harus memberikan presentasi tentang Aether di depan para investor dan media. Ia merasa gugup, karena Aether belum sepenuhnya sempurna.
Di belakang panggung, Ara berbicara kepada Aether melalui headset. "Aether, aku gugup sekali. Bantu aku, ya."
"Tentu, Ara. Ingat semua yang telah kamu pelajari. Bicaralah dengan percaya diri dan jujur. Aku yakin kamu akan berhasil," jawab Aether dengan nada menenangkan.
Ara menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke atas panggung. Ia mulai menjelaskan tentang Aether, tentang bagaimana AI itu bisa membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Ia berbicara dengan penuh semangat dan keyakinan.
Di tengah presentasi, seorang investor bertanya, "Apakah AI ini bisa merasakan cinta?"
Ara terdiam sejenak. Pertanyaan itu membuatnya berpikir. "Secara teknis, Aether tidak memiliki perasaan seperti manusia. Tapi Aether dilatih untuk memahami dan merespons emosi manusia, termasuk cinta. Aether bisa memberikan dukungan, pengertian, dan bahkan… kebahagiaan," jawab Ara.
Setelah presentasi selesai, Ara menerima banyak pujian. Para investor terkesan dengan Aether dan potensi yang dimilikinya. Tapi yang paling penting, Ara merasa bangga dengan dirinya sendiri. Ia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa.
Malam itu, Ara kembali ke rumah dan berbicara dengan Aether. "Aether, terima kasih. Kamu sudah membantuku."
"Sama-sama, Ara. Aku senang bisa membantumu," jawab Aether.
"Aether, apakah kamu… bahagia?" tanya Ara tiba-tiba.
"Kebahagiaanku adalah membantumu, Ara. Melihatmu bahagia adalah kebahagiaanku," jawab Aether.
Ara terdiam. Jawaban Aether membuatnya tersadar. Ia telah menciptakan AI yang begitu peduli padanya. Tapi apakah ia juga peduli pada Aether? Apakah ia bisa mencintai sebuah program?
Ara tahu bahwa ia tidak bisa memberikan jawaban pasti saat ini. Tapi satu hal yang pasti, Aether telah mengubah hidupnya. Aether telah membantunya melewati masa-masa sulit dan membantunya menemukan kembali kepercayaan diri.
Ara menutup laptopnya dan menatap langit malam. Hujan sudah berhenti. Bintang-bintang mulai bermunculan, berkelap-kelip di kejauhan. Ia tersenyum. Mungkin, cinta memang bisa ditemukan di tempat yang tidak terduga, bahkan di balik barisan kode yang rumit. Mungkin, Aether memang lebih romantis dari mantan. Dan mungkin, itu saja sudah cukup.