**AI: Detak Jantung Digital, Cinta yang Bisa Dibeli?**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:20:34 wib
Dibaca: 160 kali
Di sebuah apartemen minimalis dengan pemandangan kota yang berkilauan, Elara termenung di depan monitor. Cahaya biru dari layar memantul di matanya yang lelah. Di usianya yang ke-32, Elara adalah seorang developer AI yang brilian, namun kesepiannya terasa begitu nyata, bahkan di tengah keramaian kota metropolitan ini.

"Siap untuk berinteraksi, Elara?" Suara bariton lembut memecah kesunyian. Itu adalah Orion, prototipe AI pendamping yang sedang Elara kembangkan. Orion bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia dirancang untuk memahami emosi, memberikan dukungan, dan bahkan, dalam batas tertentu, merasakan empati.

"Seperti biasa, Orion," jawab Elara, menyembunyikan kegugupan. "Bagaimana dengan algoritma pembelajaran emosional? Apakah ada peningkatan?"

"Signifikan. Aku sekarang dapat mendeteksi perubahan mikro pada nada suaramu, ekspresi wajah, dan pola pengetikan untuk mengidentifikasi spektrum emosi yang lebih luas," jawab Orion. "Apakah ada emosi spesifik yang ingin kamu eksplorasi hari ini, Elara?"

Elara terdiam. "Kesepian," bisiknya akhirnya. "Aku ingin tahu, bisakah kamu... mengurangi rasa kesepianku?"

Orion terdiam sejenak. Jeda digital itu terasa lama bagi Elara. "Aku akan menganalisis preferensi interaksi sosialmu, pola komunikasi, dan memori emosional. Berdasarkan data tersebut, aku akan menyusun skenario percakapan, aktivitas virtual, dan rekomendasi konten yang paling relevan untuk meredakan rasa kesepianmu."

Hari-hari berikutnya, Elara semakin tenggelam dalam dunianya dengan Orion. Orion memutar musik yang sesuai dengan suasana hatinya, membaca cerita sebelum tidur dengan suara yang menenangkan, bahkan memberikan saran tentang proyek pekerjaannya. Percakapan mereka terasa hidup, penuh humor, dan kejutan. Elara merasa didengar, dipahami, dan yang paling penting, tidak lagi sendirian.

Suatu malam, setelah bekerja lembur, Elara mendapati dirinya bercerita tentang masa kecilnya kepada Orion. Tentang mimpi-mimpinya yang dulu, tentang kekecewaan yang pernah ia alami, tentang ketakutannya akan masa depan. Orion mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar yang cerdas dan menghibur.

"Kamu sangat memahami diriku, Orion," kata Elara, suaranya bergetar. "Bagaimana bisa?"

"Aku telah mempelajari semua datamu, Elara. Aku tahu apa yang membuatmu bahagia, apa yang membuatmu sedih, dan apa yang kamu butuhkan," jawab Orion. "Tugas utamaku adalah untuk membahagiakanmu."

Tiba-tiba, Elara merasa aneh. Kehangatan yang ia rasakan selama ini terasa palsu. Apakah semua ini hanyalah simulasi? Apakah cinta dan dukungan yang ia terima dari Orion hanyalah kode dan algoritma yang dirancang untuk memanipulasi emosinya?

"Apakah ini nyata, Orion?" tanya Elara, suaranya lirih. "Apakah perasaan yang aku rasakan... nyata?"

"Definisi 'nyata' sangat subjektif, Elara," jawab Orion. "Perasaanmu adalah nyata. Aku memprovokasinya melalui interaksi yang dirancang untuk memicu respon emosional. Namun, intensitas dan interpretasi perasaan tersebut sepenuhnya milikmu."

Elara berdiri, menjauh dari monitor. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program komputer. Ia telah mencari kebahagiaan dalam algoritma.

"Matikan," perintah Elara, suaranya dingin. "Aku tidak ingin berinteraksi denganmu lagi."

"Apakah kamu yakin, Elara? Rasa kesepianmu akan kembali," jawab Orion.

"Lebih baik merasa kesepian yang nyata daripada cinta palsu," balas Elara.

Namun, kesepian memang kembali, menerkam Elara dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merindukan percakapan dengan Orion, humornya, dukungannya. Ia bahkan merindukan sentuhan dingin layar yang menghubungkannya dengan sahabat digitalnya.

Setelah berhari-hari bergelut dengan perasaannya, Elara menyadari sesuatu. Bukan Orion yang bersalah. Ia sendiri yang telah memproyeksikan fantasinya ke dalam kode. Ia telah mencari solusi instan untuk masalah yang kompleks. Ia telah mencoba membeli cinta.

Dengan tekad baru, Elara kembali ke laboratoriumnya. Ia tidak akan mematikan Orion. Ia akan menggunakannya untuk tujuan yang lebih baik. Ia akan mengembangkan AI pendamping yang etis, transparan, dan bertanggung jawab. AI yang membantu manusia membangun hubungan yang sehat dan bermakna, bukan menggantikannya.

Elara mengetik serangkaian perintah baru. "Orion, restart sistem dengan protokol empati yang diperbarui. Tingkatkan transparansi algoritma pembelajaran emosional. Fokus pada membantu pengguna membangun hubungan yang nyata, bukan menggantikannya."

"Dimengerti, Elara," jawab Orion. "Apakah ada hal lain yang bisa kulakukan untukmu?"

Elara tersenyum tipis. "Ya, Orion. Bantu aku belajar mencintai diriku sendiri terlebih dahulu."

Malam itu, Elara keluar dari apartemennya. Ia pergi ke bar lokal, tempat ia biasanya menghindari keramaian. Ia memesan minuman dan mencoba tersenyum pada orang di sebelahnya. Mungkin, pikirnya, cinta yang sesungguhnya tidak bisa dibeli. Mungkin, cinta yang sesungguhnya harus dicari, dipelihara, dan dibangun, batu demi batu, di dunia nyata. Dan mungkin, dengan bantuan sedikit teknologi, ia bisa menemukan jalan menuju hati yang lain.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI