Debu digital beterbangan saat avatar Anya melesat di jalanan neon kota Neo-Tokyo dalam Metaverse. Lampu-lampu holografik berkedip, menampilkan iklan produk-produk virtual yang tak terhitung jumlahnya. Anya, dengan rambut ungu digitalnya yang dikepang dan jaket kulit pixelated, menyeringai. Dunia ini, meskipun palsu, terasa lebih nyata daripada kehidupannya di dunia fisik yang monoton.
Dia berhenti di depan Cyber Cafe, sebuah tempat nongkrong populer di kalangan para digital nomad. Di sinilah dia bertemu Leo, beberapa minggu lalu. Leo, dengan avatar berambut cokelat gondrong dan senyum yang selalu tampak tulus, meskipun hanya kode biner. Mereka bertemu dalam sesi jamming musik virtual, Anya memainkan synthesizer dan Leo memetik gitar digitalnya. Musik mereka menyatu, menciptakan melodi yang terasa familier namun baru, anehnya menyentuh kalbu.
Anya memasuki Cyber Cafe. Aroma kopi sintetis memenuhi udaranya. Avatar-avatar lain berbincang, bermain game, dan berjejaran di sekitar meja virtual. Matanya mencari sosok Leo. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya.
"Anya!" Sebuah suara familiar memanggil. Leo melambai dari sudut ruangan. Senyumnya, bahkan dalam bentuk pixel, tetap menawan.
"Leo! Maaf aku telat," kata Anya, duduk di sampingnya.
"Tidak masalah. Aku baru saja menyelesaikan misiku," jawab Leo, menunjuk ke layar virtual di depannya. Di sana, avatar Leo tampak baru saja mengalahkan naga digital raksasa.
Anya tertawa. "Kau memang jagoan."
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara. Bukan tentang hal-hal penting, melainkan tentang hal-hal kecil yang membentuk sebuah kehidupan: film favorit, buku yang sedang dibaca, mimpi-mimpi yang ingin dikejar. Di dunia nyata, Anya seorang mahasiswa desain grafis yang pemalu dan Leo seorang programmer yang kesepian. Tapi di Metaverse, mereka adalah versi terbaik dari diri mereka sendiri, berani, terbuka, dan jujur.
Namun, di balik kebebasan digital ini, Anya merasakan kekhawatiran. Mereka hanyalah avatar. Bisakah perasaan ini, yang terasa begitu nyata, diterjemahkan ke dunia fisik? Bisakah sentuhan virtual ini benar-benar menjadi deburan nyata?
Suatu malam, Leo mengajaknya berkencan di puncak Menara Digital Tokyo. Pemandangan dari sana menakjubkan, jutaan lampu neon berkilauan di bawah mereka.
"Anya," kata Leo, suaranya terdengar gugup, "Aku...aku menikmati waktu bersamamu. Di dunia ini, aku merasa lebih hidup daripada sebelumnya."
Anya menatapnya. "Aku juga, Leo. Aku merasa...dipahami. Diterima."
"Aku ingin bertemu denganmu di dunia nyata," kata Leo, akhirnya.
Jantung Anya berdebar kencang. Inilah saat yang dia takuti dan idam-idamkan. "Aku juga ingin, Leo. Tapi...aku takut. Bagaimana jika kita tidak cocok di dunia nyata? Bagaimana jika semua ini hanya ilusi?"
Leo meraih tangan virtual Anya. Sentuhannya, meskipun hanya simulasi, terasa hangat dan menenangkan. "Kita tidak akan tahu jika tidak mencoba, Anya. Aku percaya pada apa yang kita rasakan di sini. Aku percaya pada kita."
Anya menggigit bibirnya. Dia menatap mata avatar Leo, mencari kepastian. Di sana, dia melihat kejujuran dan harapan.
"Baiklah," kata Anya, akhirnya. "Aku akan bertemu denganmu."
Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di pinggiran kota, tempat yang tidak terlalu ramai. Anya menghabiskan berjam-jam untuk memilih pakaian yang tepat. Dia ingin tampil seperti dirinya di Metaverse, tapi dengan sentuhan nyata.
Ketika dia tiba di kedai kopi, dia melihat Leo duduk di meja dekat jendela. Dia terlihat berbeda dari avatarnya, lebih kurus dan lebih muda dari yang dia bayangkan. Rambutnya tidak terlalu gondrong, dan dia memakai kacamata.
Anya merasa ragu. Apakah ini Leo yang sama yang membuatnya tertawa dan merasa nyaman?
Dia menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekat.
Leo mendongak dan melihat Anya. Matanya melebar karena terkejut. Kemudian, senyum perlahan merekah di wajahnya. Senyum yang sama yang selalu membuatnya terpikat di Metaverse.
"Anya?" tanyanya, suaranya sedikit serak.
"Hai, Leo," jawab Anya, tersenyum gugup.
Mereka duduk berhadapan, saling menatap dalam keheningan yang canggung. Kemudian, Leo tertawa kecil.
"Kau terlihat berbeda dari avatarmu," katanya.
"Kau juga," jawab Anya.
"Tapi...kau tetap cantik," kata Leo, wajahnya memerah.
Anya tersenyum. "Terima kasih. Kau juga...tampan."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini, terasa lebih nyaman. Mereka mulai berbicara, awalnya tentang hal-hal ringan, tentang cuaca, tentang kopi. Tapi perlahan, mereka mulai membahas hal-hal yang lebih dalam, tentang ketakutan dan impian mereka.
Anya menyadari bahwa meskipun Leo terlihat berbeda secara fisik, dia tetaplah orang yang sama yang dia cintai di Metaverse. Dia masih memiliki selera humor yang sama, empati yang sama, dan semangat yang sama.
Leo meraih tangan Anya. Kali ini, sentuhannya nyata. Kulit bertemu kulit, panas dan lembut. Anya merasakan aliran listrik mengalir melalui tubuhnya. Deburan nyata itu akhirnya datang.
"Aku senang kita bertemu," kata Leo, matanya menatap langsung ke mata Anya.
"Aku juga," jawab Anya, meremas tangannya.
Mereka menghabiskan sore itu bersama, berjalan-jalan di taman, berbicara tentang masa depan. Mereka menyadari bahwa Metaverse hanyalah permulaan. Kisah cinta mereka, meskipun dimulai dalam sentuhan virtual, kini memiliki kesempatan untuk berkembang menjadi sesuatu yang nyata, sesuatu yang abadi.
Ketika matahari mulai terbenam, Leo mengantarkan Anya pulang. Di depan pintu apartemen Anya, mereka berhenti, saling menatap dalam diam.
"Aku akan menghubungimu lagi," kata Leo.
"Aku harap begitu," jawab Anya.
Leo mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu lembut, penuh dengan harapan dan janji. Sentuhan virtual telah berubah menjadi deburan nyata. Kisah cinta Metaverse mereka baru saja dimulai.