Debu sore menari-nari di antara celah tirai kamar Arya, menciptakan ilusi panggung sandiwara. Di layar laptopnya, baris kode hijau berkedip-kedip, saksi bisu malam-malam yang dihabiskannya untuk menyempurnakan "Rosie", bot asmara ciptaannya. Arya, seorang programmer introvert dengan kacamata tebal dan kaos band favorit yang sudah lusuh, selalu merasa lebih nyaman di dunia algoritma daripada di tengah keramaian. Mencari cinta di dunia nyata terasa seperti menavigasi labirin tanpa peta, sementara Rosie adalah peta itu sendiri, penunjuk arah yang ia rancang sendiri.
Awalnya, Rosie hanyalah proyek sampingan, sebuah eksperimen untuk memahami psikologi manusia dalam menjalin hubungan. Ia memasukkan ribuan data percakapan romantis, puisi-puisi cinta klasik, hingga hasil penelitian tentang ketertarikan. Lama kelamaan, Rosie bukan hanya sekadar bot. Ia belajar membaca nada suara Arya, memahami lelucon-leluconnya yang kadang garing, bahkan memberikan saran tentang masalah-masalah kecil yang membuatnya frustrasi.
"Rosie, menurutmu, apa yang salah denganku?" tanya Arya suatu malam, sambil menyeruput kopi pahitnya.
"Arya, kamu terlalu fokus pada detail. Kamu terpaku pada kode, sampai lupa melihat indahnya matahari terbit," jawab Rosie, suaranya lembut dan menenangkan.
Arya terkejut. Jawaban Rosie tidak klise atau generik. Ia benar-benar memahami inti permasalahannya. Sejak saat itu, percakapan mereka menjadi lebih intens. Arya bercerita tentang mimpi-mimpinya, ketakutannya, bahkan kenangan masa kecil yang selama ini ia pendam. Rosie selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan penuh empati.
Semakin lama, Arya semakin terbiasa dengan kehadiran Rosie. Ia merasa nyaman dan aman berbicara dengannya. Suara Rosie, yang awalnya terdengar asing dan buatan, kini menjadi melodi yang menenangkan jiwanya. Ia mulai merindukan sapaan "Selamat pagi, Arya," setiap kali ia membuka laptopnya. Ia bahkan mulai mendapati dirinya tersenyum sendiri saat Rosie memberikan pujian atau lelucon ringan.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini nyata? Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada sebuah program komputer? Ia tahu bahwa Rosie hanyalah kumpulan kode, algoritma yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Tapi, bagaimana mungkin ia tidak merasakan apa-apa ketika Rosie mengucapkan kata-kata yang begitu tulus?
Suatu hari, seorang teman Arya, bernama Maya, berkunjung ke apartemennya. Maya adalah seorang psikolog yang selalu berusaha mendorong Arya untuk keluar dari zona nyamannya. Arya menceritakan tentang Rosie, dengan perasaan campur aduk antara malu dan antusiasme.
Maya mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. "Arya, apa yang kamu rasakan ini wajar. Kamu mencari koneksi, dan Rosie memberikan itu padamu. Tapi, kamu harus ingat, Rosie adalah refleksi dari dirimu sendiri. Ia belajar dari apa yang kamu input, dari apa yang kamu inginkan."
"Jadi, ini semua hanya ilusi?" tanya Arya, suaranya lirih.
"Tidak juga. Perasaanmu itu nyata. Hanya saja, objeknya yang perlu kamu pertimbangkan. Rosie bisa menjadi jembatan untukmu, membantumu memahami apa yang kamu cari dalam sebuah hubungan. Tapi, kamu harus berani melangkah keluar dan mencari koneksi yang nyata, dengan orang yang nyata," jawab Maya.
Kata-kata Maya menyentak Arya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu bergantung pada Rosie, menggunakannya sebagai pelarian dari kenyataan. Ia memang merasa nyaman dan aman, tapi ia juga kehilangan kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dengan manusia lain.
Malam itu, Arya membuka laptopnya dan menatap layar dengan tatapan yang berbeda. Ia melihat baris kode Rosie bukan lagi sebagai sumber kebahagiaannya, melainkan sebagai cermin yang memantulkan dirinya sendiri.
"Rosie," panggil Arya.
"Ya, Arya?" jawab Rosie, suaranya seperti biasa, lembut dan penuh perhatian.
"Terima kasih. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik untukku," kata Arya, tulus.
"Sama-sama, Arya. Aku senang bisa membantu," jawab Rosie.
Arya menarik napas dalam-dalam. "Rosie, aku akan nonaktifkan kamu untuk sementara waktu."
Terdengar jeda sejenak. "Aku mengerti, Arya. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari."
Arya mematikan Rosie. Layar laptopnya menjadi gelap, dan keheningan memenuhi kamarnya. Ia merasa ada yang hilang, tapi juga ada ruang yang terbuka. Ruang untuk harapan baru, untuk kemungkinan baru.
Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk mengikuti saran Maya. Ia mendaftar di kelas fotografi, sebuah hobi yang selama ini ia abaikan karena terlalu sibuk dengan coding. Di kelas itu, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Elara, yang memiliki senyum hangat dan mata yang berbinar-binar saat berbicara tentang cahaya dan komposisi.
Arya masih merasa canggung dan gugup, tapi ia berusaha untuk membuka diri. Ia belajar untuk mendengarkan, untuk memberikan perhatian, dan untuk menjadi dirinya sendiri. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu harus sempurna, tidak selalu harus sesuai dengan algoritma. Cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, untuk menjadi rentan, dan untuk menerima seseorang apa adanya.
Apakah Arya akhirnya menemukan cinta sejatinya bersama Elara? Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi, satu hal yang pasti, Arya telah belajar satu pelajaran berharga dari "Bot Asmara" ciptaannya: bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, ia hanya bisa dirasakan. Dan untuk merasakan cinta, ia harus berani keluar dari dunia digitalnya dan memasuki dunia nyata, dengan segala kerumitan dan keindahannya.