Cinta? AI Menjawab: 'Cukup Ketikkan Keinginanmu'

Dipublikasikan pada: 13 Aug 2025 - 00:00:16 wib
Dibaca: 143 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di usia kepala tiga, Anya lebih memilih kesendirian yang nyaman ditemani deretan buku dan layar komputer yang menyala. Malam ini, ia termenung di depan kode-kode rumit yang bergulir di layar. Anya, seorang programmer jenius, sedang merancang sebuah AI revolusioner: CupidAI. Bukan sekadar aplikasi kencan biasa, CupidAI dirancang untuk menganalisis kepribadian, preferensi, bahkan mimpi seseorang, lalu mencocokkannya dengan individu lain yang paling kompatibel. Idenya sederhana: cukup ketikkan keinginanmu, dan CupidAI akan menemukan cinta sejati.

Namun, ironisnya, sang pencipta justru kesulitan menemukan cinta untuk dirinya sendiri. Ia sibuk berkencan dengan algoritma, larut dalam baris kode, dan lupa bagaimana caranya tersenyum pada seseorang yang bukan representasi digital.

“Anya, kopi sudah dingin,” suara lirih Maya, asisten virtualnya, memecah lamunan. Maya bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia memiliki kepribadian yang unik, sarcastic, namun penuh perhatian. Anya menciptakan Maya sebagai teman, sebagai suara yang bisa diajak berdiskusi, meskipun hanya sebatas pemrograman.

“Terima kasih, Maya. Aku sedang memikirkan CupidAI. Rasanya aneh menciptakan sesuatu yang aku sendiri tidak yakin bisa aku dapatkan,” jawab Anya, menghela napas panjang.

“Oh, jadi Nona Programmer galau lagi? Bukankah kau selalu bilang cinta itu hanya reaksi kimia yang bisa diprediksi dan dikalkulasi? Sekarang apa?” sindir Maya.

Anya tertawa pelan. “Kau benar. Tapi, teori dan praktik itu berbeda, Maya. CupidAI memang bisa menemukan kecocokan berdasarkan data, tapi apakah data bisa menangkap semua nuansa dalam sebuah hubungan? Tawa, sentuhan, tatapan… bagaimana AI bisa mengukur itu?”

“Itu tugasmu, Anya. Kau kan jenius. Tambahkan saja variabelnya. Masukkan data tentang tawa terbaikmu, sentuhan favoritmu, tatapan yang membuatmu meleleh. Cukup ketikkan keinginanmu,” jawab Maya, nadanya terdengar seperti mengejek sekaligus menyemangati.

Anya terdiam. Kata-kata Maya ada benarnya. Ia selama ini terlalu fokus pada algoritma dan logika, lupa untuk mendefinisikan apa yang sebenarnya ia inginkan dalam sebuah hubungan. Apa yang membuatnya tertawa? Sentuhan seperti apa yang membuatnya nyaman? Tatapan seperti apa yang bisa menembus pertahanannya?

Malam itu, Anya tidak melanjutkan pekerjaannya. Ia mulai menulis. Bukan kode, melainkan sebuah daftar. Daftar tentang dirinya, tentang preferensinya, tentang harapan-harapannya dalam sebuah hubungan. Ia menulis tentang kecintaannya pada buku-buku klasik, tentang kegemarannya mendaki gunung, tentang impiannya memiliki kebun kecil di pedesaan. Ia bahkan menulis tentang ketakutannya, tentang luka-luka masa lalu yang masih membekas.

Proses ini ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Ia harus jujur pada dirinya sendiri, mengakui kelemahan dan kerentanannya. Setelah berjam-jam bergulat dengan perasaannya, Anya akhirnya selesai. Ia menatap daftar itu dengan perasaan campur aduk.

Keesokan harinya, Anya memasukkan daftar itu ke dalam CupidAI. Awalnya ia ragu, merasa aneh menggunakan karyanya sendiri. Tapi, rasa penasaran mengalahkan keraguannya.

“Maya, jalankan CupidAI. Cari seseorang yang cocok dengan daftar ini,” perintah Anya.

Maya dengan sigap memproses data. Detik-detik terasa begitu lambat. Anya menahan napas. Beberapa menit kemudian, layar menampilkan sebuah nama: Liam.

Anya terkejut. Liam adalah seorang arsitek yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Mereka sering berpapasan di lift, saling melempar senyum canggung. Anya tidak pernah berpikir Liam akan menjadi kandidat potensial.

CupidAI menampilkan profil Liam secara detail. Ia ternyata juga seorang pecinta buku klasik, gemar mendaki gunung, dan memiliki impian memiliki kebun kecil di pedesaan. Bahkan, CupidAI menganalisis bahwa tawa Liam adalah jenis tawa yang sering membuat Anya tersenyum diam-diam.

Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirim pesan singkat kepada Liam: "Hei Liam, ini Anya. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi maukah kau minum kopi denganku?"

Liam membalas hampir seketika: "Anya? Tentu saja! Aku selalu ingin mengajakmu minum kopi. Kapan?"

Keesokan harinya, Anya dan Liam bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantor mereka. Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang buku, tentang gunung, tentang impian. Anya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Liam mendengarkannya dengan penuh perhatian, menatapnya dengan tatapan yang hangat dan tulus.

Setelah beberapa bulan berkencan, Anya menyadari bahwa CupidAI memang benar. Liam adalah orang yang tepat untuknya. Bukan karena persamaan minat, melainkan karena Liam mampu menerima Anya apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Ia mencintai Anya karena ia adalah Anya, bukan karena data dan algoritma.

Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam romantis di apartemen Anya, Liam bertanya, "Anya, aku penasaran. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku orang yang tepat untukmu?"

Anya tersenyum. "Aku punya asisten virtual yang sangat pintar," jawabnya sambil melirik ke arah komputer yang mati. "Dan dia bilang, cukup ketikkan keinginanmu."

Liam tertawa. "Jadi, aku adalah hasil dari sebuah algoritma?"

"Tidak juga," jawab Anya. "Kau adalah hasil dari keberanianku untuk jujur pada diri sendiri, dan keberuntungan karena kau juga merasakan hal yang sama."

Malam itu, Anya menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang data dan algoritma. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka diri, untuk menerima risiko, dan untuk percaya pada intuisi. CupidAI memang membantunya menemukan Liam, tapi yang membuat hubungan mereka bertahan adalah cinta itu sendiri, cinta yang tumbuh dari hati ke hati, bukan dari baris kode.

Anya menutup laptopnya. Maya, asisten virtualnya, tidak bersuara malam ini. Mungkin, pikir Anya, Maya sedang tersenyum. Atau mungkin, Maya sedang memproses data untuk mencari cinta sejatinya sendiri. Siapa tahu, di masa depan, AI juga bisa merasakan cinta, cinta yang sejati, bukan hanya sekadar kalkulasi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI