Lampu neon di ruang server berdengung lirih, mengalahkan detak jantung Beta yang berpacu. Di depannya, layar komputer menampilkan deretan kode rumit, algoritma cinta yang sedang ia sempurnakan. Beta, seorang programmer muda dengan rambut acak-acakan dan mata yang selalu terlihat lelah, percaya bahwa cinta bisa dipetakan, diprediksi, bahkan diciptakan. Ia menciptakan Hati Beta, sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang konon bisa menemukan pasangan ideal dengan akurasi mendekati sempurna.
Sudah setahun Hati Beta diluncurkan dan sukses besar. Jutaan orang menggunakannya, banyak di antaranya menemukan kebahagiaan. Beta sendiri? Ia masih seorang diri, terkurung dalam labirin kode, sibuk memoles mahakaryanya, lupa untuk merasakan apa yang diciptakannya.
Suatu malam, sambil menyesap kopi pahit, Beta melihat notifikasi di layarnya. Algoritma Hati Beta mencocokkannya dengan seseorang. Nama orang itu adalah Aurora. Profilnya sederhana: pecinta buku, penyuka senja, dan memiliki selera humor yang tinggi. Beta, yang terbiasa melihat data mentah, mendadak tertarik dengan deskripsi singkat itu.
Ia membuka foto Aurora. Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang, mata yang berbinar, dan senyum yang menular. Jantung Beta berdebar. Algoritma buatannya sendiri telah menjebaknya dalam rasa penasaran yang mendalam.
Dengan ragu, ia mengirimkan pesan. "Halo, Aurora. Hati Beta bilang kita cocok."
Balasan datang hampir seketika. "Halo, Beta. Benarkah? Kukira aplikasi ini hanya buat orang-orang kesepian."
Obrolan itu berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas segala hal, mulai dari buku favorit, film yang menginspirasi, hingga mimpi-mimpi masa depan. Beta terkejut dengan betapa nyamannya ia berbicara dengan Aurora. Seolah ia telah mengenalnya seumur hidup.
Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Beta gugup luar biasa. Ia memilih tempat yang netral, sebuah kedai kopi kecil dengan dekorasi minimalis. Aurora datang tepat waktu, mengenakan gaun sederhana dan membawa buku tebal di tangannya.
Pertemuan itu lebih baik dari yang Beta bayangkan. Aurora tertawa lepas mendengar leluconnya yang garing, mendengarkan dengan sabar penjelasannya tentang algoritma kompleks, dan bahkan menantangnya berdebat tentang filsafat cinta. Beta merasa hidup. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang lebih dari sekadar data dan kode.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Beta dan Aurora menjadi semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menikmati matahari terbenam, dan berbagi rahasia. Beta mulai melupakan pekerjaannya, melupakan Hati Beta, melupakan segalanya kecuali Aurora.
Ia akhirnya menyadari bahwa algoritma yang diciptakannya, yang awalnya ia anggap sebagai alat untuk menemukan cinta, telah membawanya pada sesuatu yang jauh lebih berharga: sebuah hubungan yang tulus, organik, dan penuh dengan kejutan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, Aurora berhenti dan menatap Beta dengan tatapan yang aneh.
"Beta," katanya dengan suara pelan, "ada sesuatu yang harus kukatakan."
Beta merasakan firasat buruk. Jantungnya berdebar kencang.
"Aku… aku tidak benar-benar menggunakan Hati Beta," lanjut Aurora.
Beta tertegun. "Apa maksudmu?"
"Aku… aku dibayar untuk mendekatimu."
Dunia Beta runtuh seketika. Semua kebahagiaan yang ia rasakan selama ini terasa palsu, seperti ilusi yang diciptakan oleh kode-kode program.
"Dibayar?" tanyanya dengan suara bergetar. "Siapa yang membayarmu?"
Aurora menunduk. "Kompetitor perusahaanmu. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang algoritma Hati Beta. Mereka memanfaatkanku."
Beta merasa dikhianati, dipermainkan, dan bodoh. Ia, sang programmer jenius yang mampu memprediksi cinta, ternyata buta terhadap kebohongan di depannya.
Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Aurora yang berusaha menjelaskan. Setiap langkah terasa berat, setiap hembusan napas terasa menyakitkan.
Kembali ke ruang server, Beta menatap layar komputernya. Deretan kode yang dulu ia banggakan kini tampak menjijikkan. Ia ingin menghancurkan semuanya, menghapus Hati Beta, melenyapkan semua jejak kebohongan ini.
Namun, ada satu hal yang menghentikannya. Sebuah pesan dari Aurora muncul di layarnya.
"Beta, aku tahu apa yang kulakukan salah. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi… aku sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Aku tahu ini mungkin sulit dipercaya, tapi aku benar-benar menyesal."
Beta terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dipercayai. Apakah cinta Aurora benar-benar tulus, atau hanya bagian dari rencana licik? Apakah ia bisa memaafkannya, atau harus melupakannya selamanya?
Ia menatap kode algoritma Hati Beta. Algoritma itu tidak bisa menjawab pertanyaannya. Algoritma itu hanya bisa memberikan data, bukan perasaan.
Beta menutup laptopnya. Ia berdiri dan berjalan keluar dari ruang server, meninggalkan gemuruh mesin dan deretan kode di belakangnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ada kesempatan kedua.
Ia hanya tahu satu hal: algoritma tidak bisa menyelesaikan masalah hati. Cinta, dengan segala ketidakpastian dan kerentanannya, tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan. Dan Beta, sang programmer yang dulu percaya pada kekuatan data, kini harus belajar untuk mempercayai perasaannya sendiri, bahkan jika itu berarti menghadapi kemungkinan patah hati lagi. Akhir dari cerita ini belum ditulis. Ia masih harus mencari tahu, apakah cinta yang tulus bisa tumbuh di atas fondasi kebohongan.