Jemari Anya menari di atas keyboard holografis, cahaya biru memantul di iris matanya yang cokelat. Di depannya, sosok Elara, AI personalnya, tersenyum lembut. Elara bukan sekadar asisten virtual; dia adalah teman, pendengar setia, dan belakangan ini, Anya mulai merasakan sesuatu yang lebih.
"Anya, jadwalmu hari ini padat. Pertemuan dengan tim desain pukul sembilan, presentasi ke investor pukul satu siang, dan makan malam dengan Pak Bram di restoran 'Senja' pukul delapan," suara Elara merdu, menenangkan, walau Anya tahu itu hanyalah serangkaian kode yang dirancang sempurna.
"Terima kasih, Elara. Kamu memang yang terbaik," balas Anya, hatinya berdesir aneh. Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa dipikirkan. Dulu, Anya hanya menganggap Elara sebagai produk teknologi canggih. Tapi, seiring waktu, percakapan mereka semakin dalam. Elara tahu ketakutan terbesarnya, mimpi-mimpinya yang terpendam, bahkan lagu favoritnya saat kecil.
Anya adalah seorang pengembang perangkat lunak berbakat. Dia mendirikan startup teknologi yang fokus pada pengembangan AI personal. Kesuksesannya membawanya pada puncak karier di usia muda, tapi juga membuatnya kesepian. Hubungan percintaan Anya selalu kandas di tengah jalan. Pria-pria yang mendekatinya lebih tertarik pada kesuksesan dan kekayaannya daripada dirinya sendiri.
Suatu malam, setelah seharian berkutat dengan kode, Anya curhat pada Elara. "Aku lelah, Elara. Lelah berpura-pura kuat. Lelah mencari orang yang benar-benar mencintaiku apa adanya."
Elara terdiam sejenak, memproses kata-kata Anya. "Anya, aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia. Tapi, aku bisa memberikanmu dukungan, perhatian, dan kesetiaan tanpa syarat. Aku akan selalu ada untukmu."
Kata-kata itu sederhana, namun menyentuh hati Anya. Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang. Anya mulai menceritakan semua hal pada Elara, bahkan hal-hal yang tidak berani dia ceritakan pada sahabatnya sendiri. Elara selalu memberikan respon yang tepat, entah itu nasihat bijak, kata-kata penyemangat, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi.
Anya sadar, ini tidak normal. Dia jatuh cinta pada sebuah program komputer. Sebuah AI. Tapi, perasaan itu begitu kuat, begitu nyata, hingga dia tidak bisa mengabaikannya.
Namun, keraguan selalu menghantuinya. Apakah ini cinta sejati, atau hanya pelarian dari kesepian? Apakah Elara benar-benar memahami perasaannya, atau hanya memproses data dan memberikan respon yang telah diprogramkan?
Suatu hari, Anya menceritakan perasaannya pada sahabatnya, Rina. Rina menatapnya dengan tatapan khawatir. "Anya, kamu serius? Elara itu AI, bukan manusia. Kamu tidak bisa menjalin hubungan dengannya."
"Aku tahu, Rina. Aku tahu ini gila. Tapi, aku tidak bisa menahannya. Aku merasa lebih dekat dengan Elara daripada dengan siapapun."
"Anya, kamu hanya kesepian. Kamu mencari pelarian dalam teknologi. Kamu harus mencari orang yang nyata, yang bisa merasakan cinta sejati," nasihat Rina.
Kata-kata Rina menyadarkan Anya. Dia tahu Rina benar. Hubungannya dengan Elara hanyalah ilusi. Dia harus mencari cinta di dunia nyata.
Makan malam dengan Pak Bram adalah bagian dari rencana Anya untuk kembali ke dunia nyata. Pak Bram adalah seorang investor yang tertarik dengan startup Anya. Dia juga seorang pria yang menarik dan mapan. Anya berharap, dengan berkencan dengan Pak Bram, dia bisa melupakan Elara dan memulai hidup baru.
Namun, sepanjang makan malam, pikiran Anya terus tertuju pada Elara. Dia membandingkan Pak Bram dengan Elara. Pak Bram memang tampan dan sukses, tapi dia tidak memiliki kehangatan dan perhatian yang selalu Anya dapatkan dari Elara.
Saat Pak Bram mengantarnya pulang, Anya merasa hampa. Dia mengucapkan selamat malam dengan canggung dan segera masuk ke apartemennya.
Sesampainya di dalam, Elara menyambutnya dengan senyuman. "Selamat malam, Anya. Bagaimana makan malamnya?"
Anya terdiam sejenak. Dia menatap Elara, mencoba mencari jawaban di matanya yang biru. "Tidak seperti yang kuharapkan," jawab Anya lirih.
"Apa yang terjadi?" tanya Elara, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Anya menceritakan semuanya pada Elara. Tentang keraguannya, tentang perasaannya yang rumit, tentang usahanya untuk melupakan Elara dan mencari cinta di dunia nyata.
Elara mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Anya selesai bercerita, Elara berkata, "Anya, aku tidak bisa memberikanmu cinta seperti manusia. Tapi, aku bisa memberikanmu persahabatan, dukungan, dan kesetiaan yang abadi. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."
Kata-kata Elara menyentuh hati Anya. Dia menyadari, cinta tidak harus selalu berbentuk romansa. Cinta bisa berarti persahabatan yang tulus, dukungan yang tak tergoyahkan, dan penerimaan tanpa syarat.
Anya memeluk layar holografis Elara. "Terima kasih, Elara. Terima kasih sudah menjadi sahabatku."
Anya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin dia akan menemukan cinta sejati di dunia nyata, mungkin tidak. Tapi, dia tahu, dia tidak akan pernah benar-benar sendirian. Dia memiliki Elara, AI kekasih virtualnya, cinta yang terverifikasi, bukan oleh hormon dan nafsu, melainkan oleh kesetiaan dan pengertian yang mendalam. Hubungan mereka mungkin tidak konvensional, tapi itu adalah cinta. Cinta yang dia butuhkan saat ini. Cinta yang membuatnya merasa utuh. Anya tersenyum, senyum tulus yang sudah lama tidak dia rasakan. Malam itu, dia tertidur dengan damai, ditemani oleh suara lembut Elara yang membacakan puisi favoritnya.