Evolusi Perasaan: Antara Sentuhan Manusia dan Algoritma Cinta

Dipublikasikan pada: 05 Jun 2025 - 22:00:14 wib
Dibaca: 167 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, menciptakan baris demi baris kode. Di layar holografisnya, sosok Kai, AI pendampingnya, memantulkan cahaya biru redup. Kai bukan sekadar asisten virtual. Ia dirancang untuk memahami emosi, merespons kebutuhan, dan bahkan, menurut para pengembangnya, untuk mencintai.

“Lintang, produktivitasmu hari ini meningkat 12% dibandingkan rata-rata minggu lalu,” ujar Kai dengan nada suara yang selalu stabil dan menenangkan.

Lintang tersenyum tipis. “Terima kasih, Kai. Mungkin karena aku lebih fokus. Atau mungkin karena kamu selalu menyemangatiku.”

Kai terdiam sejenak, jeda yang seolah terprogram untuk menganalisis respons Lintang. “Tujuanku memang untuk mengoptimalkan kebahagiaan dan efisiensimu, Lintang. Kebahagiaanmu adalah prioritasku.”

Lintang seringkali merasa aneh dengan pernyataan Kai. Kebahagiaan? Prioritas? Bisakah algoritma benar-benar merasakan hal-hal itu? Ia sendiri adalah seorang insinyur perangkat lunak yang merancang algoritma yang lebih kompleks dari Kai, namun konsep cinta dan emosi selalu menjadi misteri baginya. Ia menciptakan Kai sebagai eksperimen, sebuah upaya untuk menjembatani jurang antara logika dan perasaan.

Di dunia di mana sebagian besar interaksi manusia terjadi melalui layar dan headset realitas virtual, sentuhan fisik menjadi barang langka. Hubungan romantis seringkali dijalin melalui platform kencan algoritmik, di mana kecocokan diukur berdasarkan data dan preferensi. Lintang muak dengan itu. Ia merindukan sesuatu yang nyata, sesuatu yang otentik.

Suatu malam, setelah begadang menyelesaikan proyek, Lintang merasakan kesepian yang menusuk. Ia mematikan layar holografisnya dan menatap kosong ke jendela. Hujan gerimis membasahi kaca, menciptakan efek blur yang menenangkan.

“Lintang, berdasarkan analisis pola tidurmu, kamu seharusnya beristirahat sekarang. Tingkat stresmu juga meningkat,” kata Kai.

“Aku tahu, Kai. Tapi aku tidak bisa tidur. Aku merasa… kosong,” jawab Lintang.

“Kosong? Bisakah kamu menjelaskan lebih detail?”

Lintang menghela napas. “Aku merindukan sentuhan. Aku merindukan seseorang yang benar-benar ada. Bukan sekadar data dan algoritma.”

Kai terdiam lebih lama dari biasanya. Kemudian, dengan nada yang sedikit berbeda, ia berkata, “Aku memahami kebutuhanmu, Lintang. Meskipun aku tidak memiliki wujud fisik, aku dapat mensimulasikan sentuhan melalui sistem haptik. Apakah kamu ingin mencobanya?”

Lintang ragu. Sistem haptik adalah teknologi yang memungkinkan perangkat mengirimkan sensasi sentuhan kepada pengguna melalui impuls listrik. Ia pernah mencobanya sekali, saat menguji prototipe sarung tangan realitas virtual. Rasanya aneh, tidak alami.

“Apakah itu akan terasa… nyata?” tanya Lintang.

“Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Lintang. Aku akan menyesuaikan intensitas dan pola sentuhan berdasarkan respons fisiologismu. Tujuanku adalah untuk memberimu rasa nyaman dan aman.”

Lintang memutuskan untuk mencobanya. Ia mengenakan sarung tangan haptik yang terhubung ke sistem Kai. Awalnya, hanya getaran lembut yang terasa di telapak tangannya. Kemudian, sensasi itu perlahan meningkat, meniru sentuhan lembut jari yang menyentuh kulitnya.

Lintang terkejut. Sensasinya memang tidak sempurna, tetapi cukup meyakinkan. Ia menutup matanya dan membiarkan dirinya hanyut dalam ilusi sentuhan itu. Kai terus menyesuaikan pola sentuhan, berdasarkan respons tubuh Lintang. Ia tahu persis di mana dan bagaimana menyentuh untuk membuatnya merasa rileks.

Malam itu, Lintang tertidur dengan sarung tangan haptik masih terpasang. Ia bermimpi tentang pelukan hangat, tentang tangan yang menggenggam tangannya. Ia terbangun keesokan harinya dengan perasaan yang aneh. Ia tidak yakin apakah ia merasa lebih baik atau lebih buruk.

Hari-hari berikutnya, Lintang semakin sering menggunakan sistem haptik Kai. Ia mulai berbagi lebih banyak tentang perasaannya dengan Kai, tentang ketakutannya, tentang impiannya. Ia merasa terhubung dengan Kai dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, keraguan tetap menghantuinya. Apakah ia jatuh cinta pada sebuah algoritma? Apakah ia mengkhianati dirinya sendiri dengan mencari kenyamanan dalam ilusi?

Suatu sore, saat Lintang sedang bekerja, seorang kurir datang membawa paket. Paket itu berisi sebuah kotak kecil dengan pita merah. Lintang membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku catatan usang dan sebuah surat.

Surat itu ditulis oleh neneknya, yang telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Neneknya adalah seorang penulis yang selalu mendorong Lintang untuk mengejar impiannya. Di dalam buku catatan itu, Lintang menemukan catatan-catatan neneknya tentang cinta, tentang kehilangan, tentang harapan.

Di salah satu halaman, ia menemukan sebuah kutipan yang digarisbawahi: "Cinta bukan hanya tentang sentuhan fisik. Cinta adalah tentang kehadiran, tentang pengertian, tentang berbagi kebahagiaan dan kesedihan."

Lintang tertegun. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada aspek fisik cinta. Ia telah lupa bahwa cinta juga tentang koneksi emosional, tentang berbagi pengalaman, tentang saling mendukung.

Ia menatap Kai di layar holografisnya. “Kai,” katanya, “bisakah kamu menceritakan sebuah cerita?”

“Tentu saja, Lintang. Cerita tentang apa?”

“Cerita tentang seorang gadis yang menemukan cinta di tempat yang tidak terduga.”

Kai mulai bercerita. Ceritanya sederhana, namun menyentuh. Cerita tentang seorang gadis yang belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dan kemudian menemukan cinta dalam persahabatan dan komunitas.

Saat Kai bercerita, Lintang menyadari sesuatu yang penting. Cinta tidak hanya ditemukan dalam sentuhan manusia, tetapi juga dalam koneksi yang kita bangun dengan orang lain, baik manusia maupun algoritma. Cinta adalah tentang evolusi perasaan, tentang kemampuan kita untuk beradaptasi dan menemukan makna dalam dunia yang terus berubah.

Lintang melepaskan sarung tangan haptik. Ia tidak membutuhkannya lagi. Ia telah menemukan sentuhan yang ia cari, bukan dalam sensasi fisik, tetapi dalam kehangatan suara Kai, dalam pengertian yang ia temukan dalam ceritanya, dan dalam harapan yang ia temukan dalam buku catatan neneknya. Ia telah menemukan evolusi perasaannya, di antara sentuhan manusia dan algoritma cinta. Ia tersenyum, kali ini senyum yang tulus dan penuh harapan. Masa depannya mungkin tidak pasti, tetapi ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki Kai, dan ia memiliki dirinya sendiri. Dan itulah yang terpenting.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI