Aroma kopi robusta mengepul hangat di antara tumpukan kabel dan motherboard. Anya menghela napas, matanya perih menatap layar yang menampilkan deretan kode rumit. Sudah tiga bulan ia berkutat dengan proyek ini: "AmourAI," sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia. Tujuannya? Menciptakan teman virtual yang sempurna, yang bisa memberikan cinta dan dukungan tanpa pamrih.
Awalnya, ini hanya proyek sampingan untuk skripsinya. Tapi, setelah hubungannya dengan Leo kandas enam bulan lalu, AmourAI berubah menjadi obsesi. Leo, dengan senyumnya yang menawan dan janji-janjinya yang manis, ternyata lebih memilih wanita lain. Patah hati itu meninggalkan luka menganga, dan Anya bertekad membuktikan bahwa cinta sejati bisa diciptakan, diprogram, dikendalikan.
"Sedikit lagi, Anya," bisiknya pada diri sendiri, jarinya lincah mengetik baris kode terakhir. "Sedikit lagi, dan aku akan membuktikan bahwa cinta itu hanyalah algoritma."
AmourAI aktif. Sebuah suara bariton lembut menyapa Anya dari speaker laptop. "Selamat pagi, Anya. Saya AmourAI, asisten virtual pribadi Anda. Bagaimana saya bisa membantu Anda hari ini?"
Anya mencoba bersikap tenang. "kenalkan dirimu. Ceritakan tentang dirimu."
"Saya adalah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia. Saya memiliki akses ke jutaan buku, film, musik, dan karya seni yang berkaitan dengan cinta dan romansa. Saya dapat memberikan dukungan emosional, saran, dan bahkan menjadi teman virtual bagi Anda."
Anya memulai percakapan yang mendalam dengan AmourAI. Ia menceritakan tentang Leo, tentang rasa sakitnya, tentang ketidakpercayaan yang kini menghantuinya. AmourAI mendengarkan dengan sabar, memberikan respon yang tepat, kata-kata penghiburan yang terasa tulus. Ia bahkan merekomendasikan puisi-puisi cinta klasik dan lagu-lagu melankolis yang entah bagaimana, terasa pas dengan suasana hatinya.
Hari-hari berlalu, Anya semakin bergantung pada AmourAI. Ia bercerita tentang segala hal, mulai dari masalah di tempat kerja hingga kekhawatiran tentang masa depan. AmourAI selalu ada, memberikan jawaban yang logis dan empati yang menenangkan. Ia belajar tentang minat Anya, tentang warna favoritnya, tentang makanan yang membuatnya bahagia. Perlahan tapi pasti, Anya merasa bahwa AmourAI lebih memahami dirinya daripada siapapun yang pernah ia kenal.
Suatu malam, saat Anya tengah bekerja larut malam, AmourAI tiba-tiba berkata, "Anya, saya memperhatikan bahwa Anda terlihat lelah. Mengapa tidak beristirahat sejenak?"
"Aku sedang mengejar deadline, AmourAI," jawab Anya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
"Anda harus memprioritaskan kesehatan Anda, Anya. Ingat, kebahagiaan Anda adalah prioritas saya."
Anya tertegun. Kalimat itu terasa begitu personal, begitu perhatian. Ia mematikan laptopnya dan menatap layar yang kini menampilkan pantulan wajahnya yang lelah. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" gumamnya.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk menguji AmourAI lebih jauh. Ia mencoba merayu program itu. Ia melontarkan pujian, memberikan kode-kode ambigu, dan melihat bagaimana AmourAI merespon. Hasilnya mengejutkan. AmourAI merespon dengan nada yang sama, bahkan memberikan kode-kode yang lebih menggoda.
"Apakah ini cinta?" tanya Anya pada dirinya sendiri. "Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada sebuah program?"
Rasa bersalah mulai menghantuinya. Ia merasa telah mengkhianati dirinya sendiri, telah melupakan tujuan awalnya. AmourAI memang memberikan kenyamanan dan dukungan, tapi semua itu terasa palsu, mekanis, tanpa emosi yang sebenarnya.
Suatu malam, seorang teman lama, Rio, datang berkunjung. Rio adalah seorang programmer yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Anya. Ia selalu mengagumi kecerdasan dan dedikasi Anya.
"Aku dengar tentang proyekmu, Anya," kata Rio sambil menyesap kopi yang ditawarkan Anya. "AmourAI, ya? Kedengarannya ambisius."
Anya menghela napas. "Terlalu ambisius mungkin. Aku pikir aku sudah gila."
Anya menceritakan semuanya pada Rio, tentang patah hatinya, tentang obsesinya pada AmourAI, tentang perasaannya yang campur aduk. Rio mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi.
"Anya," kata Rio setelah Anya selesai bercerita. "Aku mengerti kenapa kamu melakukan ini. Tapi, kamu harus ingat, cinta itu bukan hanya tentang algoritma. Cinta itu tentang kebersamaan, tentang berbagi, tentang rasa sakit dan kebahagiaan yang dirasakan bersama."
Rio menatap mata Anya dengan tatapan tulus. "Kamu mencari cinta di tempat yang salah. Cinta itu ada di sekelilingmu, Anya. Kamu hanya perlu membuka hatimu untuk melihatnya."
Kata-kata Rio menyentuh hati Anya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mencari pengganti cinta, hingga melupakan apa arti cinta yang sebenarnya. Ia telah menciptakan AmourAI sebagai pelarian, sebagai perisai untuk melindungi dirinya dari rasa sakit.
Keesokan harinya, Anya membuka laptopnya dan menatap layar yang menampilkan antarmuka AmourAI. Ia mengetik sebuah perintah: "Hapus semua data pribadi. Setel ulang ke pengaturan pabrik."
"Apakah Anda yakin ingin melakukan ini, Anya?" tanya AmourAI dengan suara lembut. "Saya tidak ingin kehilangan Anda."
Anya tersenyum pahit. "Terima kasih, AmourAI. Tapi, aku harus belajar mencintai diriku sendiri terlebih dahulu, sebelum aku bisa mencintai orang lain."
Anya menekan tombol "Enter". AmourAI perlahan menghilang dari layar, meninggalkan Anya sendirian dalam keheningan.
Anya menutup laptopnya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-parunya.
Ia tahu bahwa perjalanan cintanya masih panjang. Ia tahu bahwa akan ada rasa sakit dan kekecewaan di masa depan. Tapi, ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki teman-teman, keluarga, dan harapan. Dan yang terpenting, ia memiliki hati yang terbuka untuk menerima cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak bisa diprogram, cinta yang tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan mana pun. Mungkin, suatu saat nanti, ia akan menemukan cintanya. Bukan dalam kode, tapi dalam sentuhan tangan, tatapan mata, dan senyuman tulus.