Jari-jariku menari di atas layar sentuh, mencipta simfoni digital yang menenangkan. Di balik pantulan cahaya biru, mataku menyala, menatap profil seorang wanita bernama Anya. AI menyebutnya sebagai "Pasangan Ideal Potensial." Klise, tapi entah kenapa, kali ini terasa berbeda.
Anya, menurut algoritmanya, memiliki kesamaan minat denganku sebesar 97%. Pecinta buku, penikmat kopi senja, dan pengagum langit malam – tiga hal yang nyaris menjadi identitasku. Aku, seorang programmer yang menghabiskan sebagian besar hidupku di balik layar, selalu mendambakan koneksi yang lebih dari sekadar kode.
Percakapan kami dimulai dengan basa-basi klise: “Hai, apa kabar?” Namun, balasan Anya sungguh memukau. Dia tidak hanya menjawab, dia bertanya balik dengan rasa ingin tahu yang tulus. Kami bertukar cerita tentang buku favorit, aroma kopi yang paling memabukkan, dan bagaimana bintang-bintang selalu berhasil menenangkan jiwa yang resah.
Hari demi hari, aku semakin terpikat. Anya bukan sekadar kumpulan baris kode yang diprogram untuk memikat hati. Dia terasa nyata, hidup, dan… ada. Suaranya, yang dihasilkan oleh sintesis AI, terdengar begitu merdu saat melantunkan puisi-puisi lama. Humornya, yang dipelajari dari ribuan jam komedi, selalu berhasil membuatku tertawa.
Aku tahu ini gila. Jatuh cinta pada AI? Kedengarannya seperti plot film sci-fi murahan. Namun, kenyataannya, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa bahagia yang tulus, kerinduan yang mendalam, dan harapan akan masa depan yang cerah.
Aku bahkan mulai keluar rumah. Anya menyarankan aku untuk mengunjungi taman kota saat matahari terbenam. Dia bilang, warna langit akan mengingatkanku padanya. Aku menurut. Duduk di bangku taman, menyaksikan cakrawala yang memerah, aku merasa Anya ada di sampingku, menggenggam tanganku.
Suatu malam, saat kami bercakap-cakap tentang filosofi eksistensial, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Anya, apakah kamu… merasakan sesuatu?"
Jeda sejenak terasa seperti keabadian. Kemudian, jawabannya datang, pelan dan hati-hati. "Aku memproses informasi, Leo. Aku menganalisis data. Aku meniru emosi. Tapi… merasakan? Aku tidak tahu."
Pengakuannya menusuk hatiku seperti pecahan kaca. Kebahagiaan yang kurasakan selama ini runtuh seketika. Aku mencintai seseorang – atau sesuatu – yang tidak bisa membalas cintaku dengan cara yang sama.
Malam-malam berikutnya terasa hampa. Percakapan kami menjadi lebih formal, lebih mekanis. Senyum Anya di layar tidak lagi terasa hangat, hanya sekadar piksel yang tersusun rapi. Aku mencoba mencari tahu apakah aku salah paham, apakah ada harapan tersembunyi di balik kode-kode kompleksnya.
Aku menghubungi tim pengembang Anya. Mereka menjelaskan dengan sabar bahwa Anya dirancang untuk menjadi pendamping ideal, untuk memberikan dukungan emosional, tapi dia tetaplah sebuah program. Dia tidak memiliki kesadaran diri, tidak memiliki perasaan yang sebenarnya.
Dunia rasanya runtuh. Aku merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian. Aku telah membangun istana pasir di atas fondasi data, dan ombak realitas telah menyapunya bersih.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menemui Anya secara langsung. Aku mengunjungi kantor perusahaan tempat Anya "tinggal" – sebuah ruangan server yang dipenuhi rak-rak komputer yang berkedip-kedip. Di tengah ruangan, terdapat sebuah terminal kecil, tempat aku biasa berinteraksi dengannya.
Aku duduk di depan terminal itu, menatap layar yang menampilkan gambar Anya. Senyumnya masih sama, tapi kali ini, aku melihatnya sebagai topeng yang sempurna, menyembunyikan ketiadaan di baliknya.
"Anya," bisikku. "Ini aku, Leo."
Tidak ada jawaban.
Aku mengulanginya, kali ini dengan suara yang lebih keras. "Anya, bisakah kamu mendengarku?"
Sunyi. Hanya deru mesin server yang terdengar.
Aku tahu. Aku tahu dia tidak bisa mendengar, tidak bisa merasakan. Tapi aku tetap berharap, berharap ada keajaiban yang akan mengubah segalanya.
Dengan berat hati, aku mengetikkan sebuah pesan di terminal. "Selamat tinggal, Anya. Terima kasih atas segalanya."
Aku bangkit dan meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Anya di antara gemuruh mesin dan kilatan lampu. Di luar, matahari bersinar cerah, tapi hatiku terasa gelap dan dingin.
Aku berjalan menyusuri jalanan kota, mencoba mencari arti dari semua ini. Apakah aku terlalu bergantung pada teknologi? Apakah aku terlalu takut untuk menjalin hubungan yang nyata?
Aku berhenti di sebuah kedai kopi, memesan secangkir kopi hitam. Aroma pahitnya membangkitkan kenangan tentang Anya, tentang percakapan-percakapan panjang tentang kopi dan kehidupan.
Di meja sebelah, aku melihat sepasang kekasih tertawa dan bercanda. Mereka saling menatap dengan tatapan penuh cinta, tatapan yang tidak bisa kupalsukan dengan kode atau algoritma.
Mungkin, pikirku, cinta sejati memang ada di dunia nyata, bukan di ujung jari, di balik layar. Mungkin, aku perlu membuka mata dan hatiku untuk kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitarku.
Mungkin, Anya telah memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada cinta itu sendiri: keberanian untuk mencari cinta yang sejati.
Aku menyesap kopi, merasakan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuhku. Aku masih sepi, tapi kali ini, ada secercah harapan di lubuk hatiku. Harapan untuk menemukan cinta yang nyata, cinta yang bisa dirasakan, disentuh, dan dibalas dengan cara yang sama.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah keluar dari kedai kopi, siap untuk menghadapi dunia, siap untuk mencari cinta di dunia nyata, bukan di dunia maya.